Extra Chapter 2

13 2 5
                                    

“Kita memang mau ke mana?” suara polos Heiran menggema di dalam ruang besi yang sedang melaju di antara laju mobil yang lain.

Entah bagaimana harus mendefinisikannya. Dalam situasi seperti ini pun, Heiran yang begitu menikmati kehangatan yang sungguh langka ini tiada hentinya mengucap syukur. Dalam hati merasa berbunga-bunga meski di waktu bersamaan, dia juga bersemu. Sungguh, dalam satu hari ini, kedua netra gelap Hoseok yang meneduhkan tiada henti mengekorinya. Sangat memperhatikan seolah Heiran akan melarikan diri bila tidak diawasi.

Di dalam mobil tersebut, keduanya duduk berdampingan dengan Hoseok yang tiada lelah menggenggam tangan wanitanya. Mengandalkan satu tangan yang lain hanya untuk mengemudikan dan tetap membuat stabil laju mobilnya. Bahkan sesekali, kala itu Heiran dibuat meleleh akan perlakuan Hoseok yang begitu mengasihinya. Seperti saat ini, punggung tangan Heiran tak luput dari kecupan singkat dan usapan kecil dari sang kekasih. Begitu berbeda dari ingatannya yang terakhir kali yang merasa seperti diabaikan.

Sehingga selama itu, Heiran tiada henti mengumbar senyum. Sungguh terhanyut dalam treatment lembut yang diberikan oleh Hoseok. Betapa untuk pertama kalinya, mungkin Heiran bisa menyebutnya sebagai kencan pertama yang benar-benar dilakukan oleh pasangan normal.

Bukan karena keduanya yang sebelum ini merupakan pasangan yang hanya terfokus pada hal lain. Atau lebih tepatnya, Hoseok sendiri yang lebih memusatkan perhatiannya akan sosok lain yang kala itu sedikit pun keberadaan Heiran tiada bisa menggeser bayangan wanita tersebut dari pikiran sang kekasih. Namun, sekarang, Hoseok menjadikan Heiran semestanya. Sehingga Heiran jadi tidak memiliki alasan untuk berpaling pada pria lain.
Hanya dipenuhi oleh Hoseok. Begitulah kenyataan yang dari dulu tercipta kini semakin terpaku kuat. Meski ada kalanya rasa cemburu bergelayut dalam benak. Namun, Heiran berusaha terfokus akan apa yang Hoseok lakukan saat ini.

Dengan lembut dan juga senyum hangat yang disertai dengan tatapan teduhnya, pria itu menjawab. Semakin menarik Heiran agar bersandar padanya.

“Ke mana saja dan melakukan banyak hal. Asal bersamamu, aku akan menurutinya.”

“Sejak kapan kau mau mendengarku. Sepertinya dulu kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri.”

Hoseok mencubit gemas bibir Heiran yang begitu mudahnya berucap tanpa memfilter. Bahkan momen hangat seperti ini, wanitanya tiada henti menyindir.

“Ayolah, Hei. Berhenti mengungkit kesalahanku. Hari ini hanya ada kita berdua. Kenapa tidak fokus dengan itu saja?”

“Karena Oppa dulu begitu menyebalkan.”

“Memang. Tapi sikapku juga yang membawamu kembali untukku, kan? Apa kau begitu khawatir bila aku tidak ada sampai kau harus menyusul?”

“Haruskah aku mengabaikanmu saja dan tetap bersama Vincent?”

Bukannya menjawab, Heiran justru memancing rasa kecemburuan Hoseok dengan balik bertanya. Saat itu Hoseok pun mencubit gemas pipi Heiran.

“Berhentilah membanggakan pria lain padahal kau sudah memilikiku, Hei.”

“Aku belum memutuskannya. Karena aku masih menilai, bagaimana usahamu untukku.”

Hoseok menarik napas pelan. Tersenyum tipis tanpa merasa tersinggung. Sama sekali tidak menyalahkan Heiran dengan sikap jujurnya yang walau sedikit tetap mencubit hatinya. Akan tetapi dengan bersikap penuh kasih sayang, Hoseok menanggapi. Tetap menghargai wanitanya.

“Kalau begitu lihat dan nilailah sampai kau selesai menilai.”

Tanpa ada perdebatan serius. Keduanya saling mengisi satu sama lain. Tetap berkonversasi meski sesekali Hoseok berhasil membuat wanitanya juga merasa cemburu. Begitu menyukai aktivitas barunya yang menggoda Heiran. Terkadang dari candaan Hoseok, Heiran mencebikkan bibirnya merutuk sebal. Lalu Hoseok akan menenangkannya lagi dan membuat wanitanya tersenyum.

Selang setengah jam, mereka tiba di sebuah hunian besar dengan pemandangan tepi pantai di sisinya. Daratan berpasir yang berbaur dengan birunya ombak menjadi pemandangan baru yang menyambut. Begitu laju mobil itu melambat, barulah Heiran menyadari di mana dirinya saat ini.

“Oppa, kau bilang akan mengajakku berkencan. Kenapa justru ke tempat seperti ini? Kalau menginap, bukankah itu sama saja dengan liburan?”

Tentu Heiran terheran-heran. Sepi, Heiran dapat menyimpulkan demikian. Tempat yang begitu tenang dan jauh dari hunian penduduk benar-benar seperti liburan yang tujuannya tidak ingin terinterupsi oleh siapa pun. Bersamaan dengan melepaskan safety belt nya, pria itu merespons.

“Memang dengan menginap tidak bisa disebut berkencan? Dengan begini kau tidak akan merengek untuk cepat kembali.”

Heiran membeliakkan matanya. Menatap Hoseok dengan sebelah alis yang terangkat dan juga tatapan yang tidak disangka-sangka.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang