😃😃😃😃😃👀👀👀👀
Ada yang masih nungguin....
Dan ....
3 hari kemudian.
Pulang. Hoseok sama sekali tidak mengerti atau pun mampu mendefinisikan dengan tepat satu kata yang sederhana ini. Benar-benar tidak menemukan gairahnya dalam hidup seperti tempo lalu yang pernah dia alami. Mungkin, lain halnya dengan insiden Vivian kala itu. Hoseok tahu dan harus menerima bahwa sahabatnya telah berpulang ke tempat yang lebih baik.
Akan tetapi kali ini, mau ditampik seperti apa pun, Hoseok tahu bahwa dirinya masih bernapas dalam bumi yang sama dengan wanita yang dia cintai. Bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang Heiran lakukan atau bahkan pikirkan. Begitu penasaran, walau tahu cintanya telah memilih untuk pergi dengan pria yang jauh lebih baik.
Sehingga, dalam tiga hari itu dia begitu hanyut dalam kesibukan agar batinnya yang tersiksa sedikit melonggar. Walau tak heran, untuk kali ini pun, lagi dan lagi dia harus memainkan perannya dengan apik. Memandang kamera dengan senyum palsunya guna menyapa publik meski di dalam sana begitu kosong dan rentan bak jaring lab-laba yang akan begitu mudahnya untuk disingkap. Hanya dirinya sendiri yang tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Bahkan di dalam keramaian di mana saat ini dia sedang menghadiri undangan Fashion yang sangat penting, dirinya merasa sepi dan sendiri. Tidak terlalu menaruh fokus pada para model yang sedang berjalan di atas catwalk. Hoseok membiarkan pikirannya melalang buana bebas. Begitu takut akan kesepian yang dulu pernah menjeratnya, masih berpikir, bisakah dia bertahan untuk satu hari lagi?
Di tengah lamunannya di mana di dalam sana Hoseok memperoleh privasinya dalam keramaian, Hyeri mencoba menghibur Hoseok. Meski hal itu terbilang percuma.“Mau sampai kapan kau terus seperti ini dan menghukum dirimu? Aku akui, kau begitu pandai bersandiwara di depan kamera. Tapi aku sama sekali tidak menutup mata, Hoseok-ah.”
Entah harus berapa kali lagi Hyeri harus berusaha. Sungguh, membangunkan jiwa yang lelah dan memberikan dukungan agar tidak terlalu larut dalam kesedihan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan ini, bahkan guna mengalihkan perhatian Hoseok, entah mengapa, apa pun yang Hyeri lakukan sama sekali tidak memberikan efek yang signifikan.
Pria itu hanya bergerak layaknya raga yang kosong sedangkan jiwanya berada di tempat lain. Ya, walaupun tanpa bertanya pun, Hyeri tahu apa yang dipikirkan oleh pria tersebut. Hanya seorang wanita yang telah menjadi istri orang lain. Dan bagusnya, Hoseok masih bisa bersikap tenang di depan umum. Meski setelahnya, pria itu lebih banyak memejamkan mata seperti dulu. Hanya ingin melihat sosok yang dirindunya di tinggal di dalam bayangnya.
Hoseok menghela napas kasar. Menyibakkan surainya ke belakang dengan enggan. “Mau bagaimana lagi. Sama seperti dulu. Aku hanya sedang mencoba menjalani dan menata hidupku kembali. Mungkin dulu berbeda, karena masih ada seseorang yang bergantung padaku. Tapi ini ... kau tahu kan, aku kehilangan seseorang yang sangat berarti. Ah ralat,” Hoseok mengoreksi. “Bukan hanya dia, tetapi juga ....”
Bayiku. Hoseok meneruskannya dalam hati. Tidak berani membahas hal yang sifatnya sepribadi ini di tempat umum.
“Sudahlah. Mengucapkannya pun tidak akan kembali.”
Ingar bingar peralihan lagu pun kini dipenuhi dan berbaur dengan sorak gembira dari lautan orang yang menikmati acara tersebut. Begitu selesai dengan acara utama, kini pesta pun digelar dengan iringan musik dari seorang Dj.
Dan Hoseok, tetap memilih untuk stay di tempat dari pada melibatkan diri dengan seseorang. Hanya menanggapi beberapa yang duduk di dekatnya dan mengajaknya bicara. Setelahnya, Hoseok hanya meminum sampanye dengan tenang dan berpura-pura menikmati pesta.
Hingga suara teriakan dari para tamu menggema tak wajar, barulah Hoseok menjatuhkan atensi. Mengarahkan netranya pada apa yang menyebabkan para hadirin bersorak antusias.
Tidak perlu mendekat dan turut berbaur dalam kerumunan. Dari tempatnya dia duduk, Hoseok bisa melihat apa yang terjadi di sana. Seorang model yang tampak menari di sisi seorang penari tepat di tiang pole dance. Meliuk mengikuti pergerakan sang penari seolah mengimbangi.
Akan tetapi, yang membuat Hoseok seketika itu bergeming bukanlah sang penari. Melainkan sosok yang tampak beradu dengan wanita yang sedang menjalankan pekerjaannya itu. Sontak pun Hoseok menolehkan pandangannya mencari seseorang.
Apa sosok ini datang seorang diri? Tapi, mau dilihat dari mana pun, sepertinya memang demikian. Hingga tak lama berselang, suara yang begitu enggan Hoseok dengar pun menyapanya. Di mana sebelumnya, suaranya yang bukan ditujukan untuk Hoseok pun terdengar dalam beberapa penggalan.
“Tidak lagi. Itu tadi cukup. Jika kau mau, kau saja. Aku ingin duduk.”
Pria itu pun sembari menarik sebuah kursi. Lalu kali ini benar-benar menjatuhkan atensi. “Kau tampak gelisah. Apa kau mencari istriku?”
“Apa pantas seorang pria beristri melakukan hal seperti itu?”
Pria itu tertawa, menatap Hoseok yang begitu serius. “Kenapa kau begitu tegang? Kali ini apa kau sedang mencoba menceramahiku? Tidak perlu semunafik itu. Bukankah kau juga pernah melakukannya di depan Heiran? Jadi bukan tempatmu untuk mengoceh padaku.”
“Kau!” Hoseok yang geram hendak memberikan pelajaran pada pria yang menyebalkan itu. Tapi sadar diri di mana dirinya saat ini. Sehingga Hoseok pun menahan diri. Tetap bersikap tenang walau pria itu mencoba memancing emosinya.
“Tenanglah. Bukankah dari pada kau, harusnya aku yang marah? Mengajak bertemu istri orang dengan gigih. Sampai hotel lagi. Ya, walaupun Heiran telah menjelaskan segalanya, tapi berduaan di dalam kamar itu tidak sopan. Bukankah seharusnya kau minta maaf?”
Hoseok terdiam. Tidak membalas akan poin itu. Pria itu benar, seharusnya Hoseok tidak menyudutkan Heiran hingga wanita tersebut berada di dalam huniannya. Seharusnya Hoseok bisa bersikap bijak. Akan tetapi, hatinya tidak bisa demikian. Bagaimana pun, dia tetap menginginkan Heiran.
Karena tak kunjung menerima jawaban, pria itu pun melanjutkan. “Terkadang penyesalan tiba begitu kau kehilangan segalanya. Entah hari ini atau besok, kuharap kau belajar dari pengalaman. Jika suatu saat, ada seseorang yang memutuskan untuk berada di sisimu, bersikaplah untuk menjaganya. Karena jika sudah seperti ini, pemiliknya sama sekali tidak akan melepaskan sahabat kecilnya. Aku tidak ingin menceramahimu, tapi ambillah ucapanku sebagai sikap agar tidak ada lagi seseorang yang kau kecewakan.”
Saat itu Hoseok hanya melirik muak. Memilih bungkam dan kembali meneguk sampanyenya tanpa ingin memedulikan.
Begitu Hoseok meninggalkan acara tersebut, dengan lelah dan langkah enggan, Hoseok mencoba menenangkan diri seraya membuka kancing kemejanya begitu menanggalkan jas yang melekat sejak acara.
Berjalan melewati ruang tamu, hingga dirinya tiba di kamar. Sekilas Hoseok melirik, waktu telah menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Dengan mengingat setiap ucapan Vincente yang semakin menampar hatinya, suara itu seolah tiada henti menggema. Terus mengusik hingga batinnya menjadi kesal.
Tanpa menanggalkan kemejanya meski seluruh kancing yang menyatu telah dia buka secara sempurna, dengan segera, pria itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Akhirnya, setelah tempat yang dia harap dapat menghindarkannya dari rasa kesepian, kini dirinya benar-benar mengurung diri dalam sunyi.
Hening, tidak ada yang lain selain embusan napasnya sendiri. Menatap kosong pada langit-langit yang membisu. Akan tetapi, di saat Hoseok termenung, pria itu pun tersentak. Merasakan sesuatu di belakang kepalanya yang serasa mengganjal dan membuatnya tak nyaman.
Dalam kegelapan, Hoseok pun menyalakan lampu tidurnya guna memberi penerangan. Begitu dirinya menyibakkan selimut dengan benda yang dikiranya guling, Hoseok pun terdiam. Mendapati seseorang sedang terlelap di atas ranjangnya.
Entah apa yang sedang bergemuruh di dalam dadanya. Hoseok seolah merasakan ketenangan, meski di waktu bersamaan dia juga merasakan hal lain. Menatap teduh sosok yang sedang berbaring miring dan menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal dengan deru napasnya yang teratur.
Tanpa sadar, pria itu pun tersenyum. Gelenyar aneh seolah perlahan mulai meluncur melewati dadanya. Hangat, hingga pria itu pun memutuskan untuk berbaring tepat di belakang sosok tersebut. Memandangi parasnya dari jarak sedekat itu dan menjadikan salah satu tangannya sebagai tumpuan.
Awalnya pria itu mencoba menyadari tempatnya. Namun, hatinya menginginkan hal yang lebih. Sehingga tanpa meminta izin, pria itu meletakkan kepalanya tepat di sisi kepala sosok tersebut. Sembari mengusap lembut permukaan tangannya dengan sentuhan kecil.
Merasakan sentuhan itu secara konstan dan berulang-ulang, semula sosok itu sama sekali tidak merasa terusik, akhirnya pun turut terjaga. Masih merasakan kantuknya yang begitu berat.
“Hobie,” suara khas bangun tidur pun terdengar. Namun, Hoseok masih dalam posisinya. “Aku mau tidur. Apa aku tidak boleh beristirahat?”
Ya, tentu sosok ini tahu siapa yang mengganggu tidurnya. Hingga pria itu pun tersenyum. Berbisik tepat di telinga sosok yang kini berada dalam rengkuhannya.
“Kenapa tidur diranjangku, hm? Apa kau tidak takut sesuatu terjadi padamu? Aku tidak akan menjamin apa yang terjadi setelahnya antara kau dan suamimu.”
Wanita itu masih berada dalam posisinya. Dan tentu masih dengan mata terpejam. Begitu enggan menanggapi.
“Memang apa yang akan terjadi padaku? Kau sudah pulang? Kenapa baru kembali?”
Hoseok mengerutkan dahi, menggarisbawahi. “Bagaimana kau tahu aku baru kembali, Hei?”
Ya, wanita yang kini sedang berbaring diranjang berukuran king size itu adalah Heiran. Sehingga dengan, menarik napas dan masih dalam posisinya, di mana Hoseok tiada henti mengusap permukaan tulang hasta Heira pun menjawab. Kali ini seraya membuka matanya. Sadar, dada yang bidang itu menempel lekat dengan punggungnya dan memberikan sensasi hangat. Dan dari jarak sedekat itu, Hoseok bisa mendengar tarikan napas sang wanita. Menunggu jawaban dari pertanyaannya.
“Tiga hari ... kau tidak kembali ke sini?”
Hoseok terdiam. Bagaimana Heiran tahu dirinya tidak kembali selama tiga hari. Lalu, Hoseok yang menyadari sesuatu pun menimpali. “Kau ....”
“Setelah kau pergi, aku menyusulmu dengan penerbangan selanjutnya. Padahal aku berharap ingin bertemu denganmu segera setelah aku tiba. Tapi kau, tiga hari tidak kembali. Tadinya aku mau pulang ke apartemenku. Tapi ....”
Saat itu Hoseok pun dengan pergerakannya yang tiba-tiba membuat Heiran berada dalam posisi terlentang. Memeluk sosok itu dengan erat. Sampai eratnya, pria itu menenggelamkan wajahnya tepat di dada Heiran. Menghidu dalam aroma khas seorang Heiran dalam rasa syukur seolah ini mimpi.
“Hei ... terima kasih.”
Heiran pun mengusap surai Hoseok dengan lembut seraya tersenyum. Membiarkan prianya tetap seperti ini. “Aku pulang, Oppa.”
Ada sepuluh menit keduanya masih dalam posisi tersebut. Heiran pun melirik sekilas ke arah jam kecil yang berada di atas nakas. Sudah pukul 02.00. Ternyata, sudah pagi.
“Hobie. Bisa longgarkan sedikit? Aku merasa sesak.”
Hoseok pun menjatuhkan pandangannya pada Heiran. Masih menindih wanitanya tepat di bawahnya seraya mengusap surai Heiran. Masih tidak menyangka, wanita ini kini berada di depan matanya. Memberikan kembali hawa kehidupan bagi Hoseok yang merasa berat.
“Kenapa kau kembali, Hei? Apa kau bertengkar dengan suamimu? Meski tadi aku bertemu dengannya. Dan dia mengingatkan aku pada masa lalu. Apa kau tahu kelakuannya bila tidak bersamamu?”
Serentetan pertanyaan itu membuat Heiran bergeming. Meski kegelisahan Hoseok jauh lebih ingin membuatnya tertawa. Heiran pun membalas sentuhan Hoseok dengan membelai pipi prianya. Memberikan senyum hangat dengan netra yang teduh.
“Masa bodoh dia mau melakukan apa. Apa urusannya denganku, Hobie?”
Bukannya menjelaskan, Heiran justru balik bertanya. Membuat Hoseok memandang bingung ke arah Heiran.
“Bukankah dia ....”
Heiran pun menyergah. Memotong ucapan Hoseok yang belum selesai. “Suamiku? Benar suamiku. Tapi hanya di depan publik. Yang sesungguhnya, tidak demikian.”
“Bukankah kau mengatakan kau sedang hamil. Kenapa sekarang bisa bicara begitu?”
Entah bagaimana, Hoseok merasakan perasaannya yang bercampur aduk. Antara perasaan senang, bingung, gelisah, lalu tidka mengerti dengan sikap Heiran.
Yang ditatap hanya tersenyum. Tetap mengusap lembut pipi Hoseok. “Benar kau bisa menerima bila aku menikah dengannya?”
Hoseok menggelengkan kepalanya menanggapi dengan respons non verbal. Lalu Heiran meneruskan. “Tadinya aku berpikir, dua tahun setelah pergi darimu, hidupku menjadi lebih baik. Ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Setiap saat di saat kesepian menangkupku, aku selalu memikirkanmu. Terlebih anak kita ... aku sungguh menyesal kehilangannya Hobie. Hingga aku berpikir, apakah sikapku sudah benar? Aku tidak menyangka kau sampai bertemu dengan Daddy. Lalu saat kau terluka, katakan ... apa kau selalu melakukan harmself seperti itu?”
“Hanya hari itu untuk pertama kalinya. Dan aku masih menjaga lukaku dengan berhati. Apa kau takut aku pergi?”
“Bisa aku membaliknya untukmu? Bagaimana jika kau tahu bila kecelakaan hari itu merenggut nyawaku, apa kau akan baik-baik saja?”
“Jangan bertanya hal yang kau sudah tahu jawabannya Hei. Aku bisa mati jika tidak ada kau.”
“Benar begitu?” Heiran memicingkan netranya menggoda. Meski dia juga thau jawabannya.
“Kau bisa membuktikannya padaku bila kau mau, Hei.”
Hoseok mendekatkan wajahnya. Namun, Heiran justru menjadikan pipinya sebagai landasan dari ciuman sang pria. Berada di sini bukan berati dia melupakan segalanya.
“Maaf Hobie. Aku belum bisa.”
Baru saja Heiran membuat Hoseok melayang tinggi dalam kebahagiaan. Namun, kali ini, pernyataannya benar-benar membuat Hoseok terempas. Tidak memahami wanitanya yang ternyata masih belum melunakkan hal tertentu.
“Hei ... apa kau masih tidak mempercayaiku?”
Heiran menggelengkan kepalanya. Terlalu bingung dengan perasaannya yang sejujurnya masih sama. Begitu ragu.
![](https://img.wattpad.com/cover/358240372-288-k614934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mistério / SuspenseSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...