Tentu, dari pada galeri yang selama ini menjadi salah satu tempat yang cukup menjadi sumber penyembuhan baginya, untuk membicarakan hal yang sifatnya pribadi, Heiran pun memutuskan untuk membicarakannya di tempat lain. Meski keengganan masih melekat kuat dan kebencian yang ditimbulkan dari kekecewaan tetap bertahan di sana. Namun, sisi rasional Heiran masih mengizinkan untuk bicara.
Semula, Heiran berpikir, pergi merupakan salah satu cara untuk meneruskan hidup tanpa terjebak dari masa lalu. Walau terkadang adalah hal yang mustahil bila masa lalu itu tidak turut berkelebat meski untuk sesaat. Dan tentu, tidak ada jaminan bagi seseorang untuk tidak melupakannya. Hanya mengantisipasinya, bila hal yang menempel bagai bayang itu hadir sewaktu-waktu.
Setelah menutupinya begitu rapat selama dua tahun, di mana untuk pertama kalinya Heiran juga melihat betapa Hoseok juga begitu menyesal karena telah kehilangan apa yang selama ini menekan dan menghantui batinnya, akhirnya, Heiran memberikan kesempatan bagi keduanya untuk bicara.
Paling tidak, bila harus berakhir, Heiran ingin mengakhirinya tanpa meninggalkan kejanggalan di dalam hati keduanya. Atau lebih tepatnya bagi Hoseok sendiri yang terlihat begitu terpukul atas apa yang terjadi.
Sehingga, karena tidak memiliki tempat untuk bicara, di sinilah dia. Mengikuti saran Hoseok yang menawarkan kamar hotelnya yang sepi dan begitu mewah. Tepat di bagian ruang tamu di mana Heiran duduk di salah satu sofa panjang di tengah ruang yang tak jauh dari ruang tidur. Menunggu sang pemilik kamar menyuguhkan minuman untuknya.
Di antara kegamangan yang masih bergelayut, Heiran hanya menatap kosong ke arah meja. Meneliti ukiran yang tercetak di sana, meski tidak benar-benar menjatuhkan atensinya. Hanya, berusaha mencari pengalihan di kala dadanya masih terasa sempit dan sakit. Tidak menyangka akan datangnya hari ini yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan dan pikirkan sebelumnya. Hanya yakin, mungkin kepergiannya tidak akan berujung pada pertemuan dengan Hoseok kembali.
Namun, semesta, di saat pikiran dan hati yang berpikir bisa berencana, tapi takdir tidak akan berjalan demikian.
Hingga tanpa diduga, selang beberapa saat di mana Heiran mulai terbiasa dengan ketenangan yang ada, Hoseok menyematkan selimut tebalnya tepat di kedua sisi bahu Heiran. Menyadari, bahwa tubuh mungil wanitanya masih menggigil samar. Reaksi dari tekanan yang selama ini menjadi trauma bagi Heiran.
Bahkan Heiran sendiri, dengan segera wanita tersebut menarik selimut yang menutupi bahunya agar semakin rapat. Menghalau rasa yang terus menusuk berulang kali hingga menusuk ke tiap titik persendian. Sungguh, meski penghangat ruangan bekerja sangat baik. Namun, bayangan akan dinginnya malam itu tetap membuatnya tersiksa. Tak terkecuali rasa sakit yang memilin perutnya perih.
Sedangkan Hoseok, di kala dirinya telah mengambil tempat di sisi Heiran agar dapat melihat lebih dekat, Heiran pun bergeser. Sehingga dalam diamnya sembari menghela napas samar, Hoseok mengerti, wanitanya membutuhkan sedikit ruang untuk dirinya sendiri. Tanpa ingin mengusik dan membebani Heiran, Hoseok yang memilih mengalah pun duduk tepat di depannya. Mengamati setiap tingkah laku Heiran yang masih berusaha menenangkan diri.
Hening, kala itu hanya embusan napas Heiran yang terdengar jelas di tengah kepulan asap kecil dari minuman cokelat yang baru Hoseok suguhkan. Sampai-sampai Hoseok hanya terfokus pada deru napas itu dan juga pergerakan Heiran yang mencoba mencari kehangatan di antara genggaman tangannya yang menangkup minuman tersebut. Lalu menunduk sejenak, sebelum memilih untuk menyingkap kesunyian yang semakin menjerumuskannya dalam rasa pilu.
“Aku,” Hoseok mengawali dengan menelan salivanya yang tercekat, “sungguh minta maaf bila kala itu aku berada di tengah hubunganmu dan Vincente. Aku benar-benar tidak mengetahuinya sampai Vincente yang memberitahuku sendiri. Ternyata ....” Hoseok tersenyum miris. “Aku terlalu percaya diri bahwa hanya ada diriku. Tapi ... kenapa kau tidak memberitahuku, Heiran-ie? Paling tidak, mungkin segalanya tidak akan seperti ini.”
Tanpa sepengetahuan Hoseok dan entah pria itu menyadarinya atau tidak, Heiran tersenyum tipis. Di antara hening sejenak, pikiran Heiran seolah menjawab. Tentu dalam ruang kepalanya yang aman. Bisakah dia melakukan hal itu waktu itu? Di kala binar matanya hanya dipenuhi oleh harapannya untuk bertemu, berbincang dan menatap Hoseok secara langsung. Lalu menjadi kekasihnya? Tentu, Heiran yang sama sekali tidak menampik sifat serakahnya tetap menginginkan dirinya yang berada di sisi Hoseok.
Meski sifat naifnya, dengan mudah terpatahkan begitu saja akan kenyataan semu yang ternyata sengaja diciptakan oleh Hoseok. Sampai-sampai pikiran bahwa memang hanya ada dirinya dalam fatamorgana itu, ternyata hanya sebatas alat balas dendam untuk sebuah nyawa meski raganya tiada tetapi dalam diri Hoseok, sosok itu terus hidup.
Heiran justru menyunggingkan senyum miris tanpa sadar. Bila mengingat hal itu, di waktu bersamaan, Heiran sama sekali tidak bisa menyembunyikan kebenciannya akan hal itu.
“Bila aku mengatakannya sekalipun, apa kau mau mendengarkanku? Sepertinya ... waktumu yang sibuk terlalu senggang hanya untuk mendengarkan kejujuranku yang tidak penting. Karena di matamu saat itu hanya ada balas dendam, karier, Viona,” Heiran menarik napas panjang. Sengaja menghadirkan jeda sejenak karena sesak itu semakin mengimpit dan menggerus batin. Walaupun, bibirnya terus berkata jujur. “Dan ... Vivian.” Lalu Heiran menatap ke arah lain tertawa remeh. Ada satu hal yang sama sekali tidak ingin dia kecualikan. “Oh, satu lagi ... wanita-wanitamu itu. Jadi aku cukup sadar diri ... bahwa sejak saat itu, aku hanyalah seorang penggemar. Ya, seorang penggemar dengan keberuntungan dan pikiran yang naif. Bagiku itu penyesalan terbesarku. Ternyata sosok yang kukagumi tidak mampu meletakkan kepercayaanku dengan baik.”
Hoseok yang merasa tertampar, dengan kalimat penghakiman Heiran pun membantah. Meski tak ada yang salah dari ucapan Heiran dan memang dirinya tidak pantas membela diri.
“Hei ... bukan seperti itu. Aku tahu aku bersalah. Dan aku sama sekali tidak menampik akan apa yang kau ucapkan. Tapi mengenai kau hanya sebatas penggemar dan alat balas dendam ... kumohon,” Hoseok ingin mengoreksi, “aku tahu seharusnya aku tidak melibatkanmu dalam hal ini yang begitu mencintaiku begitu tulus. Tapi setelahnya ... aku ....”
Heiran dengan segera menyela. Walau saat itu, wanita tersebut bisa melihat napas Hoseok yang naik turun. “Hobie,” netra kecokelatannya pun mendapati iris gelap milik Hoseok yang gelisah. Tidak tahu bagaimana menyikapi hal ini dan membuat Heiran percaya. “Bagiku ... kau yang dulu dan sekarang ... adalah sama. Akan tetap seperti itu sampai kapan pun.”
Heiran menekankan dalam ucapannya dengan penuh keyakinan dan tidak terbantahkan. Hoseok yang kehilangan kepercayaan diri dan kata-katanya pun menyugar surainya frustrasi. Tidak bisa, tidak bisa bila konversasi ini hanya berakhir begitu saja di kala hatinya masih begitu gelisah dan belum menemukan ketenangan.
“Hei ... aku tahu aku tidak pantas dan tidak akan memaksamu untuk mendapat maaf darimu. Aku menghormati penilaianmu mengenai diriku yang memang ... begitu buruk. Tapi ... aku bersungguh-sungguh dengan perasaanku. Dan aku membuktikannya padamu pada ....”
“Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa malam itu sama sekali tiada berarti apa pun bagimu?” Heiran yang dapat membaca kalimat selanjutnya dari sang pria sama sekali tidak memberi waktu bagi Hoseok untuk menjelaskan. “Bahkan kau tidak menjelaskan padaku tentang wanita-wanita itu! Lalu setelah kau balas dendam pada Yoongi Oppa. Kau menghilang! Kau tidak memberiku kabar! Bahkan aku tidak bisa menghubungimu! Sampai aku tahu ... bukankah tempat yang kita kunjungi kala itu adalah tempat berharga bagimu dan Vivian?! Kau sematkan perasaanmu di sana!”
Sontak Hoseok terenyak. Ternyata Heiran telah mengawasinya selama itu. Dan Heiran dengan angkuh mengangguk. Membenarkan tatapan keterkejutan Hoseok yang begitu jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...