Chapter 36

8 3 4
                                    

“Hari ini kita mau ke mana?” binar mata yang begitu polos dan tulus penuh antusias tiada bisa menutupi kesenangannya yang terpancar jelas.

Sembari melewati jalanan yang berliku serta pepohonan yang masih berbaris dengan rindang di mana kabut tipis terlihat perlahan mulai turun, mobil yang melaju di tengah derasnya guyuran hujan masih dalam kecepatan normal. Membawa beberapa penumpang dengan keceriaan yang tiada ternilai di tengah hawa dingin yang meringkuk.

Sampai-sampai, pria yang kini surainya telah berganti warna dengan blonde putih terangnya tiada surut menyunggingkan senyum. Mengecup punggung tangan mungil seorang gadis kecil yang duduk tepat di sampingnya lalu mengusapnya pelan.
Tiada lupa sepasang mata lagi dengan iris kecokelatan yang turut duduk di bangku penumpang. Hanya memperhatikan interaksi yang terlihat hangat dan mengundang haru tersebut.

“Suatu tempat, Daddy yakin kau akan suka.”

Tanpa memberikan petunjuk, pria itu menimpali dengan jawaban yang ingin didengar putrinya. Kembali menjatuhkan fokusnya pada jalanan yang telah basah dengan kegelapan yang perlahan mulai menyingkap sore. Mengandalkan lampu kabut jarak jauh guna membaca tanda. Mulai dari sini, sepertinya pria tersebut harus berhati-hati karena melalui jalanan dua arah yang berliku nan licin agar tidak tergelincir. Sehingga, kedua netranya harus awas melihat badan jalan dan juga rambu bahaya yang sedari tadi ia lewati.

“Daddy menyebalkan. Viona kan hanya bertanya. Kenapa justru rahasia?”

Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya seraya melipat kedua tangannya di dada. Tidak puas akan jawaban sang ayah yang sama sekali tidak menyenangkan.

Pria tersebut pun mengusap puncak kepala gadisnya dengan sayang. Tetap menatap lurus ke depan dan kembali merespons.

“Jangan cemberut begitu. Nanti cantiknya hilang, lho ....”

Berusaha meredakan kekesalan putrinya, pria tersebut berusaha merayu agar gadis kecilnya tidak lagi merajuk dan mau mendengar. Meski sejujurnya ia juga tidak terlalu serius menanggapi emosi anak-anak. Hanya suka melihat kelucuannya di saat ia menggodanya.

Saat itu dengan jujur, Viona pun kembali menimpali sang ayah.

“Kalau begitu beritahu. Hari ini Daddy akan membawa Viona ke mana? Mengapa Bibi Heiran tidak boleh juga memberitahu?”

Kedua bola mata kecilnya turut mengerling ke arah belakang. Berusaha mencari pembelaan atas ucapannya yang beralasan. Heiran yang mendengarnya dari bangku penumpang di belakangnya pun turut terkekeh. Melihat kelucuan balita berusia lima tahun tersebut yang selalu memberikan jawaban dengan wajah polosnya. Tidak tahan akan sikap kekasihnya yang sama sekali tidak mau mengalah.

Guna membantu meredakan emosi Viona yang semakin meluap, Heiran pun sedikit memajukan duduknya. Mengusap kedua lengan Viona dari kedua sisi celah yang tercipta lalu mengelusnya lembut dari belakang dan memberikan pengertian.

“Kalau diberitahu nanti tidak lagi jadi kejutan. Viona apa tidak mau diberi Daddy hadiah, hm?”

“Benar. Apa Viona tidak mau hadiah dari Daddy, hm?” pria itu menimpali. Membenarkan dukungan sang kekasih yang lebih memihaknya.

Dalam sekejap, rasa jengkel yang sempat terlihat pun menguap. Berganti dengan binar mata yang kembali ceria.

“Hm. Viona suka hadiah. Apa Daddy juga akan memberikan Bibi Heiran hadiah? Tidak adil kan jika hanya Viona yang mendapatkannya.”

Pria itu hanya tersenyum simpul. Kembali membelai surai indah putrinya dengan pelan. “Kita pikirkan itu nanti. Sekarang Viona duduk dengan tenang dulu, Ne?”

Gadis kecil itu mengangguk dengan patuh. Beralih mengalihkan atensinya ke arah jendela yang telah mengembun dengan bulir derai hujan. Menembus bayangan tipis dirinya yang terefleksi samar ke arah ranting dan juga dedaunan pohon yang turut lembab. Bersabar menunggu hingga mobil tersebut membawanya ke tempat tujuan.

Sedangkan Heiran, wanita itu tertunduk sejenak lalu tersenyum tipis. Turut mengamati Viona yang menuruti ucapan sang ayah. Lalu memecah keheningan yang sempat tercipta beberapa detik. Kali ini terfokus pada paras kekasihnya yang masih sibuk menyetir.

Menanyakan hal yang sama di mana Heiran sendiri merasa heran. Tidak biasanya sang kekasih mengajaknya untuk piknik keluarga. Entah, Heiran bisa menyebutnya seperti itu atau tidak. Kenyataannya, keluarga yang bisa ia sebut mungkin hanya sebatas Viona dan prianya di dalamnya. Masih begitu ragu akan posisinya yang hanya seorang kekasih. Tentu tidak sama dengan maksud dari kata keluarga itu sendiri.

Entahlah, Heiran tidak ingin memikirkannya terlalu serius.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang