Semalaman setelah mengetahui dan perjumpaan yang tiada diduga itu, Hoseok terjaga di dalam kamar hotelnya. Memandang ke arah langit gelap yang kini berganti subuh dan menjadikan ujung kaki ranjang sebagai sandaran terbaik.
Berusaha mencerna kembali apa yang dia dapati kemarin. Bahkan dalam ruang sepi yang seperti ini pun, suara berat dengan penuh penekanan yang begitu emosional dari sosok Vincente masih terus terngiang. Apa lagi benda yang melingkar sempurna sebagai bukti nyata atas hubungan keduanya, seketika itu membuat Hoseok menyibakkan surainya ke belakang, frustrasi. Benar-benar menyesal dan menyadari segalanya.
Hingga Hoseok pun menertawakan dirinya sendiri. Tertawa miris dalam kesunyian semakin mengiris batin. “Jadi di waktu bersamaan, kita sama-sama mempermainkan, ya? Tapi kendati demikian, apa perasaanmu benar-benar telah berubah Heiran-ie? Apakah kau masih menganggap penuh kejadian malam itu sama sekali tidak memiliki arti bagimu?”
Bimbang, Hoseok dalam kegetirannya sama sekali tidak menemukan apa pun. Hanya bisa menerka yang dirinya sendiri tidak tahu akan bagaimana bentuk pastinya dari perasaan Heiran. Apa ucapannya terakhir kali benar-benar telah membelokkan poros hatinya? Tapi, yang paling menyesakkan, ucapan Vincente yang mengatakan bahwa keduanya telah menikah.
Bukankah harusnya Hoseok merasa lega? Bila masih ada pria baik yang mau menerima wanitanya yang telah dia rusak. Memberikan noda masa lalu yang pasti juga sulit diterima oleh Vincente sebagai pasangannya.
Hoseok kali ini menekuk kedua lututnya dan memeluk dirinya sendiri. Merasa bodoh untuk kedua kalinya dirinya terjebak dalam hal yang sama. Selang beberapa menit terdiam, wajah yang dia tenggelamkan dalam pelukan beringsut kembali menatap pemandangan di luar sana. Meski sebatas celah sempit yang masih menampilkan langit subuh yang perlahan mulai berbaur dengan mentari samar dengan cahaya memucat.
Bagaimanapun, dirinya baru mendengar dari satu pihak. Hoseok hanya ingin mendengar kejelasan dari Heiran secara langsung. Meski sadar, mungkin kedatangannya akan kembali mendapatkan penolakan. Tapi, untuk menenangkan gemuruh batinnya, Hoseok harus melakukan ini. Ya, Heiran harus menjelaskan ini.
***
Vincente berpikir, mungkin setelah kejadian kemarin Heiran memilih untuk beristirahat sejenak tanpa menghadirkan presensinya di galeri. Tapi siapa sangka, pagi-pagi sekali wanitanya telah menghilang dan kini dia dapati di dalam sana. Tepat di hari minggu yang sama sekali tidak akan ada yang datang hari ini.
Faktanya, tujuan Heiran ke sana bukan untuk mengerjakan rancangan baru dengan ide cemerlangnya. Lebih ke arah ingin menenangkan diri di tengah kesunyian yang jauh lebih dia butuhkan saat ini.
Bahkan dalam jarak sedekat ini, di mana Vincente hanya mengawasi dari jendela luar ruang tersebut, pria itu sama sekali tidak ingin mengganggu Heiran. Tetap ingin seperti ini dengan memberi ruang sejenak.
Kala itu suara langkah kaki berhasil mengusik Vincente. Dan lagi, pagi harinya harus diawali dengan ketegangan yang sepertinya kemarin hanya untuk dijeda. Lalu sekarang, entah apa lagi yang akan terjadi.
“Kau masih belum puas?” suara lirih Vincente masih bisa cukup didengar oleh Hoseok. Sehingga dari bagaimana pria itu memelankan suaranya, Hoseok mengerti bahwa di dalam sana, ada orang yang dijaga oleh Vincente.
Begitu Hoseok berhasil mempersempit jarak, pria itu pun menoleh untuk melihat ke dalam. Dan sesuai dugaan, Heiran berada di sana.
“Aku tidak bisa hanya mengandalkan dari penjelasanmu. Aku tetap harus mengonfirmasinya secara langsung dari bibir Heiran sendiri. Bukankah itu bijak?”
“Kau ingin mempertanyakan pernikahan kami?” kedengarannya begitu memprovokasi.
Namun, Hoseok tetap pada tujuannya. Tidak ingin terpancing untuk kedua kalinya dan tetap berusaha mengendalikan diri. Meski saat mendengarnya, Hoseok sendiri rasanya begitu remuk dan lumpuh. Miris, bila itu adalah fakta yang ada.
“Aku sama sekali tidak meragukan bila itu kenyataannya. Tapi ada hal lain yang ingin kupastikan. Dan hal ini, aku yakin sama sekali tidak ada hubungannya denganmu.”
“Tapi kedatanganmu kemari, hanya akan melukai istriku. Kupikir kau telah mendapatkan jawabannya kemarin. Dari pada Heiran, kenapa kau tidak kembali fokus terhadap Vivian? Bukankah kau mencintainya?”
Hoseok tersenyum simpul. Mengakui hal itu di masa lalu. Tapi masa sekarang, tidak bisa. Dua tahunnya berlalu dengan begitu menyedihkan. Dan selama itu, Hoseok hanya bisa melihat bayangan Heiran di dalam mimpinya. Meski yang terjadi persis sama dengan apa yang dia alami saat ini.
“Bukankah kau juga begitu memedulikannya? Meski sedikit, alangkah baiknya kau menghormati Vivian dengan segala kenangannya. Tidak perlu melibatkannya untuk saat ini di mana kedatanganku sama sekali tidak berhubungan dengan sahabatku itu. Aku hanya ingin mendengar kenyataan dari Heiran. Dan setelahnya, bila memang aku harus pergi, dan aku telah memastikan apa yang aku cari, maka aku akan meninggalkannya.”
“Kalau begitu, apa yang ingin kau dengar dariku?”
Di balik dinding yang memisahkan keduanya, Heiran yang menyadari perdebatan itu pun kali ini memberikan afeksi. Hanya bisa menghadapi Hoseok dengan cara seperti ini. Saat Hoseok ingin melangkah di mana ketukan sepatunya terdengar, Heiran pun meneruskan.
“Tetaplah di sana. Aku ingin kita berbicara dengan seperti ini. Hanya sebatas dinding. Aku sama sekali tidak ingin melihatmu. Jadi kuharap .., kau mengerti, Oppa.”
Entah mengapa, kala itu Heiran berusaha menguasai dirinya. Tidak menampik akan denyut nyeri yang berhasil memupus seluruh fungsi persendiannya. Kala itu, Hoseok menoleh. Memandang Vincente dan berharap pria itu akan menyingkir. Namun, tanpa Hoseok memohon, Vincente telah berlalu lebih dulu. Dan saat itu, Hoseok pun menjawab.
“Bagaimana kabarmu, Heiran-ie? Apa kau baik-baik saja? Mengingat kemarin kau menghindariku. Bahkan sampai saat ini. Kau hanya mengizinkanku sampai sebatas ini.”
Hoseok menyentuh dinding yang menjadi pembatas itu. Berusaha membayangkan sosok Heiran yang berada di depannya tanpa adanya yang membatasi. Meski kenyataannya, hanya dinginnya dinding itu yang menyapa permukaan telapak tangannya.
Dan dengan lemah juga, di mana Heiran berusaha menekan perasaannya, Heiran pun menjawab.
“Jika kabarku yang kau tanyakan ... sungguh, aku tidak pernah merasa sebaik ini sebelumnya. Sampai kemarin aku melihatmu lagi. Apa itu cukup?”
Ngilu, kali ini Hoseok hanya bisa menunduk. Menjatuhkan keningnya pada dinding di depannya. Miris, bahkan kehadirannya pun, Heiran telah menolaknya. Dengan berusaha menumpuk kembali ketegarannya, Hoseok dengan suara bergetar pun kembali bersuara.
“Maaf, Heiran-ie. Aku tahu ... di masa lalu aku telah melukaimu. Maaf telah menyia-nyiakan perasaanmu yang tulus. Dan maaf ... secara tidak sengaja, aku menjadi penengah di antara hubunganmu dengan Vincente.”
Heiran masih terdiam dan tetap bersandar di sana. Menunggu, begitu yakin masih ada yang ingin disampaikan oleh Hoseok.
“Aku ....” dengan mata terpejam, Hoseok berusaha merasakan kehadiran Heiran. Ya, dia yakin, apa yang Hoseok rasakan saat ini sama dengan perasaan Heiran di dalam sana yang juga terasa dingin. Tidak mampu menghadirkan kehangatan yang intens seperti dulu di mana untuk kali ini, Hoseok hadir dengan perasannya yang merendah dan tulus. Begitu ragu bahwa Heiran masih memiliki sedikit perasaan untuknya.
Dengan tersenyum miris, Hoseok melanjutkan. Meski dadanya terasa sesak dan punggungnya seperti ditikam. “Aku sudah mendengarnya kemarin dari suamimu. Aku dengar kalian telah menikah. Aku ucapkan selamat, untuk itu. Aku ... juga merasa bahagia.”
Entah mengapa, saat mendengarnya Heiran juga merasa miris. Betapa situasinya kali ini benar-benar berbeda. Namun, apa yang terjadi benar-benar melukainya. Hoseok bahkan tidak bisa meletakkan kepercayaan yang begitu tulus secara baik. Sehingga dengan tersenyum getir, Heiran menjawab.
“Baguslah bila kau bahagia mendengarnya. Dengan begitu ... aku tidak memiliki beban lagi padamu.”
Hoseok menelan salivanya yang terasa tercekat. Bukan ini yang ingin dengarnya. Tapi, sedikit kalimat itu, berhasil membuat Hoseok berlutut. Tetap menjadikan dinding itu sebagai tumpuan. Ternyata pernikahan itu benar adanya. Dan Heiran benar-benar telah membuangnya.
“Heiran ... benarkah kau sedingin ini? Bila kau merasa bahagia, maka aku bersedia melepasmu. Tapi, untuk menenangkan perasaanku sendiri, sebelum aku pergi, bisakah kau secara jujur menjawab pertanyaanku? Dengan begitu aku akan merasa tenang.”
Heiran memejamkan matanya. Menepuk dadanya yang terasa sesak. Kenapa seperti ini? Mengapa rasa sakitnya seperti ini.
Dengan tatapan kosongnya, Heiran menjawab lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...