Chapter 31

8 3 13
                                    

Sepasang suara entakkan langkah kaki yang mengetuk lantai berkeramik itu pun memecah keheningan dalam sebuah lorong apartemen tempat Heiran menginap. Sesuai janjinya, Vincente dengan sabar menunggu Heiran hingga wanita tersebut selesai bekerja, walaupun waktu telah menunjukkan pukul 22.00 malam.

Dan dalam waktu setengah jam, lalu ditambah lima belas menit ekstra waktu yang sengaja Vincente ciptakan sepanjang perjalanan pulang, akhirnya barulah mereka tiba dalam gedung unit apartemen tersebut. Tetap memperlambat langkah dengan menciptakan suasana santai, akan tetapi dengan perbincangan yang begitu serius. Seolah Vincente memprediksi, bahwa yang ia sampaikan mungkin saja akan mengalami interupsi.

Ya, walaupun 90%-nya pria tersebut begitu yakin, bahwa seorang pria yang begitu posesif tidak akan membiarkan sahabatnya menikmati waktu berdua dengannya. Hal yang selalu berhasil membuat Vincente bersungut lelah, dengan suasana hati yang muak. Dan dengan kesempatan sekaligus prediksinya yang mungkin 10%-nya salah, Vincente tetap menyampaikan apa yang terjadi dengan memanfaatkan apa yang bisa ia manfaatkan untuk saat ini.

“Ya, meski ayahmu menyempatkan diri hanya mengunjungiku untuk satu jam, akan tetapi ... beliau mengatakan telah berada di negara ini selama tiga hari. Seperti biasa,” Vincente mengedikkan kedua bahunya singkat bersamaan dengan kedua tangannya yang terselip di dalam saku. Sangat ingat bagaimana ekspresi pria yang usianya sudah mendekati kepala lima itu menemuinya.

Kantung mata yang menggantung tepat di bawah lipatan kelopak matanya yang sedikit menghitam telah menjelaskan segalanya. Mungkin tidak hanya dengan kondisi fisik, akan tetapi juga dengan psikisnya yang beberapa tahun ini didera masalah.

Di samping kurang tidur akibat padatnya pekerjaan sebagai seorang pebisnis, tergurat rasa lelah akan kekhawatiran terhadap putri kesayangannya. Bila teringat akan hal itu, Vincente merasa iba dan tak tega. Namun, ia juga tahu betapa keras kepalanya Heiran. Sehingga ia hanya bisa menutupi dengan ucapan bijaknya yang benar-benar apa adanya. Lalu melanjutkan hanya untuk menyampaikan apa yang harus Heiran dengar.

“Perjalanan bisnis. Dan sisanya ... kau tahu, kan? Tanpa aku harus menjelaskannya, aku yakin kau mengerti maksudku.”
Vincente yang berjalan beriringan bersama Heiran tampak begitu gusar. Meski sejujurnya, ia memang begitu khawatir setelah kunjungan yang tak terduga  tersebut.

Dengan mengangguk paham, Heiran yang terus memfokuskan rungunya mendengarkan Vincente, menimpali.

“Tapi ... kau tidak memberitahu ayah bahwa kau sudah bertemu denganku, kan?” Heiran menoleh, ragu. Bersamaan dengan mencari kepastian dari air muka pria tersebut yang tengah berjalan di sisinya. Tidak begitu yakin akan sikap Vincente yang sejujurnya Heiran tahu benar akan sifat sahabatnya. Bukan tipikal yang akan membocorkan rahasia bila bukan dalam keadaan terdesak.

Sedangkan yang dipandang, tidak langsung menjawab dan masih terfokus dengan langkahnya ke depan. Tidak tahu juga akan sikapnya yang kali ini memang tidak begitu jujur. Terkesan menipu dengan kamuflase yang ia ciptakan secara sadar.

Bukan terhadap Heiran, melainkan pada ayah Heiran sendiri yang begitu menjatuhkan harapannya pada Vincente di mana hubungan keduanya selama ini begitu baik. Mungkin bila Vincente bisa mengartikan, dirinya layaknya seorang putra di dalam keluarga Heiran. Namun, sayang, Vincente hanya bisa berada di titik ini. Menghormati dan meletakkan hubungan persahabatan keduanya di atas apa pun.

Sungguh, bisa bertemu Heiran dan berbincang santai seperti ini saja sudah membuatnya bersyukur.

“Apa aku pernah mengingkari janjiku padamu? Dari cara bicaramu, kau sepertinya meragukanku.”

“Bukan begitu, aku hanya ....”

Heiran yang mendengar ucapan Vincente yang seolah tersindir pun tiba-tiba merasa tak enak hati. Sama sekali tidak ada niatan ingin meragukan atau pun menyinggung. Hanya saja, bila membahas mengenai keluarga, sebenarnya Heiran begitu menghindari topik tersebut.

Namun, sejak pertemuannya dengan Vincente, Heiran tahu, bahwa mungkin orang suruhan ayahnya turut bergerak. Sehingga ada kemungkinan sang ayah mungkin telah menemukannya hanya berpura-pura tidak tahu untuk menangkapnya di waktu yang tepat. Mengulur waktu, walaupun Heiran juga tahu, sang ayah bukan tipikal pria yang akan menunda sesuatu. Termasuk alasan di balik kepergiannya hingga berada di sini.

“Tenanglah,” Vincente dengan segera menyela. “Aku sama sekali tidak membocorkan informasi apa pun termasuk aku yang telah bertemu denganmu. Dan sisanya, Seong Hoseok. Aku yakin, kau tidak ingin ayahmu menyentuh dan mendekatinya, bukan? Terlebih dari bagaimana sikap ayahmu yang bisa dibilang sedikit mirip dengan Hoseok kekasihmu itu dalam hal posesif. Aku yakin, bisa-bisa ayahmu membunuhnya dan berusaha menyingkirkannya darimu atas apa yang telah ditetapkan.”

Tanpa sadar di saat mengucapkannya, ada nada remeh dan hal itu diiringi dengan senyum miring. Entah apa yang Vincente pikirkan. Namun, dalam ruang berpikirnya yang aman, Vincente seolah mendukung bayangan tersebut. Akan tetapi, tetap, bagi Vincente kebahagiaan Heiran adalah segalanya. Sehingga, selama perbincangan tersebut, tak terasa keduanya pun tiba di depan pintu unit tempat apartemen Heiran menginap.

Meski di waktu bersamaan, Heiran pun turut mengambil hati ucapan Vincente tersebut.  Tahu benar akan perwatakan sang ayah yang sama sekali tidak akan bergeser dari tempatnya. Seketika itu Heiran bergidik. Terlampau takut membayangkan hal yang buruk yang mungkin saja bisa terjadi. Melihat ekspresi Heiran yang tiba-tiba terdiam serta memucat di depan pintu, Vincente yang menoleh pun mengulurkan tangan seraya mengusap puncak kepala Heiran dengan sayang. Ingin menyalurkan rasa kepeduliannya agar Heiran tidak perlu merasa khawatir.

“Tenanglah. Kau tidak perlu berpikir berlebihan. Hanya perlu percaya padaku dan semua akan beres. Lagi pula ... aku tahu, ketimbang kau mengkhawatirkan dirimu yang berada di bawah naungan sikap posesif ayahmu, kau lebih mengkhawatirkan hal buruk yang bisa saja menimpa Seong Hoseok bila ayahmu tahu akan hubungan kalian, kan? Tapi terlepas dari hal itu, aku hanya ingin kau memaklumi sikap ayahmu. Baginya, kau adalah putri semata wayangnya yang sama sekali tidak tergantikan oleh apa pun. Terlebih sejak kepergian ibumu, kau melebihi apa pun dalam hidupnya sekarang karena kau satu-satunya yang beliau miliki. Walaupun sikapnya terbilang mengekang, akan tetapi bentuk rasa cinta seseorang berbeda-beda. Dan itulah yang terjadi antara kau dan ayahmu. Jadi, percayalah padaku. You are safe now.”

Heiran menarik napas dalam sembari mengangguk. Berusaha mempercayai kata-kata Vincente yang menenangkan. Bersamaan dengan itu, Heiran juga menekan nomor kode apartemennya sebelum berbunyi tanda klik dan melangkah masuk.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang