“Bukankah bila begini kau terbilang terlalu senggang hanya untuk menemuiku secara langsung? Atau kau menemuiku secara langsung karena tidak percaya padaku?”
Kala itu bukannya langsung menjawab, Hoseok yang berdiri di balik kaca jendela berukuran besar dan sengaja membukanya justru menarik napas pelan. Membiarkan kesunyian tersebut menginterupsi sejenak, walaupun sejujurnya ia merasa begitu frustrasi. Tetap menghisap satu batang rokoknya yang masih menyala dan terselip di antara jari telunjuk serta tengahnya sembari menyibakkan surainya ke belakang dengan tangan yang lain.
Entah bagaimana harus menanggapi. Pandangan lurusnya masih tertuju pada pemandangan kota dari atas sana yang tampak menampilkan mendung di sore hari. Mengembuskan desiran angin sejuk yang rasanya seperti berbanding terbalik dengan apa yang Hoseok rasakan kali ini.
Yang jelas, Hoseok memiliki alasannya sendiri untuk datang kemari seraya menekan apa yang sebenarnya masih bergemuruh sejak tadi di dalam sana. Datang berkunjung ke sebuah hunian yang tak lain dan tak bukan adalah apartemen temannya sendiri. Teman yang sudah sangat ingin ia kunjungi dalam sepekan ini di tengah rutinitas jadwal yang padat. Tidak pernah merasa puas meski hanya melalui sambungan telepon.
Sedangkan seorang pria bermata sipit itu tetap bergeming dan terus mengawasi setiap pergerakan tamunya yang masih memilih diam dari tempatnya duduk. Seolah zat nikotin yang kini sedang Hoseok hisap sepertinya berhasil menjadi sebuah alat yang sanggup menenangkan pria tersebut. Ya, walaupun untuk sebentar, mau yang mana pun tidak masalah. Karena ia tahu benar bagaimana Hoseok bila sudah berada di titik terendahnya. Rokok, alkohol, bahkan wanita. Sungguh ia tahu benar bagaimana kelakuan sahabatnya itu semenjak sosok yang berarti dalam hidupnya telah menghilang. Mengalihkan porosnya dan sanggup menghancurkan Hoseok hingga kehilangan kendalinya sendiri.
Hoseok yang telah menenangkan dirinya semenjak tadi, akhirnya pun memilih berbalik. Kali ini menanggapi sang pemilik rumah yang ternyata telah menjatuhkan atensinya padanya.“Bukannya tidak percaya. Apa aku salah datang menemuimu secara pribadi untuk membahasnya secara langsung? Bagaimana perkembangan kasusnya? Apa kau sudah menemukan alasan di balik keputusannya untuk mengakhiri hidup? Atau kau menemukan suatu petunjuk yang lain, Jim, yang bisa menjelaskan ini?”
Ya, yang Hoseok datangi kala itu adalah sahabatnya yang berprofesi sebagai salah seorang detektif yang bekerja di bawah naungan pihak departemen kepolisian, Huang Jimin. Saat itu, dengan segera, bukannya langsung menanggapi, Jimin justru mengalihkan atensi diiringi dengan kedua bahunya yang turut merosot.
Pria tersebut memilih mengubah posisi duduknya guna bersandar pada sandaran sofa yang ia duduki. Walaupun keduanya saling mengenal karena rumah mereka dulu yang saling bersebelahan, tetap saja, banyak sedikitnya, Jimin tahu akan kehidupan pribadi Hoseok mengingat keduanya bersahabat.
Saat itu Jimin masih terdiam. Terlalu bingung bagaimana harus menjelaskan akan perkembangan kasus yang selama ini ia selidiki. Berbekal dengan apa yang diketahuinya sendiri tanpa menyinggung dan tetap memilih untuk menyembunyikannya dari rekan kerjanya yang justru masih menemukan potongan puzzle yang terbilang rumpang.
Setelah menghadirkan jeda sejenak, barulah Jimin menjawab pertanyaan Hoseok yang terdengar menuntut.
“Sebenarnya aku juga ingin membahas ini denganmu. Tapi, aku juga tahu, kau tidak akan mengizinkanku untuk membawanya.”
“Tepat. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun selain diriku menyentuhnya. Jadi tidak perlu meminta sesuatu yang kau tahu benar akan jawabannya. Mungkin dia bisa menjadi salah satu alasannya. Tapi aku tidak semudah itu percaya. Aku membutuhkan jawaban lain, Jim. Aku yakin tanpa melibatkannya, kau bisa menyelesaikan ini,” tandas Hoseok dengan langsung mematahkan opsi yang selalu bisa dielu-elukan sebagai sebuah jawaban sekaligus jalan keluar.Meski bisa pun tetap saja harus ada pembanding untuk membuktikannya hingga mereka memperoleh hasil yang lebih akurat.
Bila alasannya dengan menunjukkannya pada keluarga Vivian, keluarga mereka akan mau bekerja sama, sepertinya hal tersebut terlalu sederhana dan terbilang mustahil. Yang ada justru karena hal tersebut, faktanya mampu semakin melukai perasaan kedua orang tua Vivian Jung serta pihak lain. Dan itu, sama sekali Hoseok tidak mau hal itu terjadi. Bahkan hanya untuk membayangkannya, tidak, Hoseok segera menggelengkan kepalanya. Menolak akan bayangan yang selalu mampu menjadi mimpi buruk dalam hidupnya, sama sekali tidak bisa.
Saat itu Jimin hanya mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, pening. Lelah. Bila dirunut dari hasil penyelidikan, sebenarnya masih ada sesuatu yang aneh. Terlebih setelah ia mendapatkan sebuah informasi penting dari Hoseok yang dokumen aslinya pun memang benar adanya. Mengenai hak cipta akan desain suatu barang yang jumlahnya memang hanya ada satu di dunia dan tidak mungkin ada duplikatnya.
Setelah menarik napas panjang, Jimin pun menimpali.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Bí ẩn / Giật gânSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...