Heiran termangu di saat mengambil jeda sejenak dalam pekerjaan. Entah sudah terhitung berapa hari, atau bahkan sepertinya sudah tiga minggu terlewat, firasatnya seolah mampu memilin perutnya. Menghadirkan desir resah hingga hatinya terbalut gamang. Aneh, tidak biasanya Hoseok akan menolak semua panggilannya. Meski tidak dalam berkirim pesan. Ya, bahkan frekuensinya bisa juga dibilang jarang. Hanya satu atau dua kali. Sisanya, tidak ada.
Perlahan, Heiran yang semula masih berdiri di dekat manekin menata kain dengan menyelipkan beberapa jarum guna membentuk gaun mentahnya pun memilih duduk. Lalu melirik ke arah arlojinya di mana perbedaan waktu sedang dia perhitungkan antara Paris dan Korea Selatan.
“Mungkin di sana sore menjelang malam.”
Heiran pun mengeluarkan ponselnya dari mantel yang dia kenakan hari ini. Lalu mencoba untuk kembali menghubungi sang kekasih. Dering pertama terlewat sampai dering ke tiga panggilan itu baru tersambung di mana Heiran menyapa lebih dulu.
“Halo,” ucap Heiran dengan panas dingin. Sampai beberapa detik berikutnya, Heiran hanya mendengar suara riuh dan ... Heiran mengerjap. Ada suara gumaman anak kecil yang tidak begitu jelas.
Sampai panggilan pun terputus. Namun, sebelum panggilan itu berakhir, Heiran menangkap jelas ucapan seseorang di akhir.
“Jangan sentuh ponsel Daddy, mengerti?”
Isi perut Heiran serasa teraduk. Dadanya sontak bergemuruh. Lalu mengulang kembali panggilan tersebut. Tak sampai dering kedua, lagi panggilan itu tersambung. Akan tetapi sang pemilik ponsel menyambut lebih dulu.
[Hei, kau di sana?]
“Hobie,” Heiran berusaha menguasai diri. Namun, dunianya seolah menyempit. Akan tetapi, Heiran tidak ingin berasumsi lebih. Sehingga ucapannya mengalir meski sekujur tubuhnya panas dingin. “Apa kau sedang sibuk? Tadi sepertinya, aku mendengar suara anak kecil dan ....”
Di seberang sana, Hoseok yang telah keluar dari ruang tamu dan beralih ke taman di mana kini dirinya berada di rumah orang tuanya pun menegang. Tidak menyangka akan kelancangan makhluk kecil yang semakin mempersulit posisinya.
[Aku sedang berada di rumah orang tuaku. Dan tetangga sedang berkunjung kemari.]
“Tapi ... kenapa seseorang menyebutmu Daddy?” respons yang diberikan Heiran secara refleks pun membuat Hoseok mengumpat dalam batin.
Hingga pria itu pun beralasan lain. [Abaikan saja Hei. Ada kalanya seseorang lupa akan suatu hal. Mungkin dia mau menyebut yang lain. Hanya saja teringat akan suaminya yang beberapa bulan ini memang belum kembali dari luar kota. Bagaimana pekerjaanmu? Apa makanmu baik? Jaga kesehatanmu karena aku tidak ingin kau sakit.]
Mendengar penekanan Hoseok di akhir, sedikit menenangkan perasaan Heiran. Tanpa tahu bahwa prianya kini sedang berada dalam jurang di mana dasarnya begitu gelap dan dipenuhi tombak yang runcing. Cukup mampu membunuhnya sewaktu-waktu terlebih setelah apa yang didiskusikan.
Masih menempelkan ponselnya di telinga, Hoseok berusaha menekan batinnya di mana nyaris dirinya menghadirkan derai gerimis. Sampai suara lembut Heiran sedikit mengusap rasa sakitnya.
“Aku merindukanmu. Kau selalu menolak panggilanku. Apa nanti malam ... kau ada waktu? Bisa kita melakukan panggilan video?”
Keheningan pun hadir sejenak. Sungguh, Hoseok tidak bisa menjanjikan apa pun. Teringat akan apa yang diucapkan kedua orang tuanya di mana segala putusan dibuat begitu cepat. Sampai-sampai Hoseok jauh memilih ingin gantung diri ketimbang harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai.
Hoseok membekap mulutnya. Benar-benar tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Sampai suara Heiran kembali menggema dalam rungunya.
“Hobie?”
Hoseok yang memejamkan mata pun menengadah menatap langit. Menahan seluruh denyut nyeri yang terus menggigit hingga ke sendi terdalam. Dan dengan senyum hambar, dia pun menimpali.
[Akan aku usahakan] yakinnya meski sejujurnya Hoseok tidak akan melakukannya.
Heiran pun tersenyum. Lalu mengakhiri panggilan tersebut.“Baiklah. Aku ingin melanjutkan gaun yang sedang kubuat. Lusa akan ada acara peragaan busana. Aku sungguh antusias mengenai hal itu ....”
Entah bagaimana, sampai panggilan itu benar-benar terputus, suara Heiran sisanya hanya timbul tenggelam, menggema di antara penatnya pikiran Hoseok yang sedikit pun tiada menyisakan celah.
Lalu pria itu pun berjongkok. Kembali menenggelamkan wajahnya di dalam pelukan. Lagi, di dalam kesendiriannya, pria yang semenjak tadi telah berkaca-kaca mendengar setiap ucapan wanitanya pun meluruhkan derai gerimis. Menyesali kebodohannya hanya untuk hal yang ternyata sedikit pun Hoseok tiada pernah menempati posisi spesial di hati seorang Vivian Jung. Namun, di saat dia berpikir mampu meraih hidupnya kembali dengan cinta di mana dirinya benar-benar menjatuhkan hatinya pada Im Heiran, lagi badai besar menuntut pertanggungjawabannya di mana Hoseok seolah tidak diberikan pilihan.
Padahal dalam perdebatan keluarga itu Hoseok telah beberapa kali menekankan tetap akan bertanggung jawab tanpa adanya ikatan pernikahan. Namun, kerasnya Amber dan ibunya yang turut memberikan pembelaan di mana sang ayah hanya terdiam akan tetapi tetap menuntut Hobie untuk menempuh jalur itu dengan keengganan, akhirnya Hoseok yang ditekan dengan sedemikian rupa tak sanggup membela diri.
Meski makian dari sang ayah setelah menghakimi kebodohannya benar-benar tak mampu membuat Hoseok berkutik. Bahkan di saat perdebatan itu terjadi, Hoseok dengan lantang telah menyampaikan keinginannya di mana dirinya memang telah menjadi seorang ayah dari darah dagingnya bersama Heiran. Dan tentu, sorot mata nanar yang terbalut dengan keterkejutan semakin membuat Tuan Seong dan ibunya semakin naik pitam. Lagi-lagi menimbang perihal pertanggungjawaban dan keberadaan anaknya yang masih hidup membuat posisi Hoseok semakin berat.
Lagi, dalam kesunyian itu, Hoseok hanya bisa berharap.
“Maafkan aku Hei. Maafkan aku. Maafkan ayah yang tidak bisa memperjuangkan ibumu.”
Hoseok pun terisak. Menjadikan bibirnya sebagai korban dari gigitan giginya yang tajam. Tanpa tahu, di balik jendela, Amber hanya mengamati. Tahu benar siapa yang baru saja menelepon Hoseok, calon suaminya.
***
Dari balik ruang khusus di mana para perancang busana tampak menunggu dengan tenang terlihat begitu tegang dengan acara yang mulai berjalan. Hanya melihat bagaimana para model tampak berjalan di atas cat Walk melalui layar televisi digital yang ukurannya nyaris menghabiskan setengah dinding.
Sesekali ketenangan mereka berganti dengan tugas yang tak kalah pentingnya yaitu membantu para model yang memeragakan busana dari tiap-tiap perancang yang saling berkolaborasi. Menyelaraskan dari atas ke bawah apa yang mereka kenakan. Tak ayal suara gemerisik gaun yang menyapu lantai atau sedikit bergeser dari tempatnya kala ditata berbaur di antara keriuhan yang berkutat pada fokus masing-masing di mana tidak hanya melibatkan para desainer tetapi juga penata rias yang turut menjalankan tugasnya.
Begitu para model yang telah berganti busana dengan tema yang lain keluar dari ruang ganti, para desainer pun menempati kembali ruang pengawasan di mana mereka hanya akan mengamati dari sana.
Dalam cemas, Heiran yang kala itu setia mengawasi setiap peragaan hanya bisa berdoa. Berharap acara yang selalu menempati titik terpenting dalam dunianya berkarier dapat berjalan lancar.
Bila disimpulkan, acara fashion show hari itu hanya berdurasi selama dua jam. Dan seperti biasa, Vincente tidak pernah absen sebagai penanti yang selalu setia memberikan bunga sebagai ucapan selamat.
Dan Heiran dengan tangan terbuka akan selalu menyambut pria bersurai gelap bergelombang itu yang selalu memberikan senyum kotaknya yang begitu khas. Meraih sebukat bunga babybirth dengan mawar putih dan juga lili yang tampak menyatu. Menguarkan aroma lembut yang menenangkan.
“Selamat atas peragaan busana yang melibatkanmu. Saat aku duduk di antara para penikmat fashion, begitu banyak yang ingin membeli gaun rancanganmu. Desain yang unik dengan sentuhan tipis dan selalu menekankan aksen elegan. Terlebih kain yang dipilih dan warna yang menurutku begitu lembut. Tidak terlalu mencolok dan sangat proporsional. Kau luar biasa Hei.”
VIncente tiada hentinya memuji, sampai-sampai Heiran semakin tersipu. “Kau terlalu memuji Vin.”
Saat bibir Vincente nyaris terbuka, dering ponsel yang menggema pun menginterupsi di tengah interaksi keduanya. Heiran pun memberi isyarat. Meminta rentang waktu sejenak untuk menerima panggilan tersebut.
Dan dengan pengertian, Vincente pun tersenyum simpul memberi ruang. Di mana dengan segera, Heiran pun memanfaatkan waktunya dengan memilih menepi di sudut lorong gedung tersebut.
Di awal, Heiran dengan ekspresi cerianya tampak terpancar jelas. Sampai perlahan, mimik wajah yang merefleksikan keindahan warna pelangi pun beringsut muram. Menghadirkan awan kelabu yang seketika itu membaut Vincente mengerutkan dahi. Meski tidak tahu sepenuhnya atau bahkan mendengar. Namun, Vincente dapat menangkap penggalan dari respons yang disampaikan Heiran. Hingga wanita itu seolah mendadak pucat dan terlampau bingung.
“Benarkah?” tekan Heiran bila Vincente tidak salah mendengar. Sampai sepuluh detik berikutnya, sebelum panggilan berakhir, Heiran mengangguk lemas sampai sambungan pun terputus.
Dan dengan langkah perlahan, Vincente mencoba mengikis jarak. “Ada apa Hei? Kenapa wajahmu tiba-tiba menjadi sekusut itu?”
Heiran masih enggan menjawab. Justru sekujur tubuhnya yang melemas seolah berusaha untuk menginterpretasikan segalanya. Sampai tatapan Heiran tampak bergetar memandang Vincente. Tanpa adanya senyum bahagia seperti keduanya pertama kali bertemu, Heiran pun menjawab lemah.
“Hobie ... Daddy bilang Hobie memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerja sama dengan Brand milik Daddy. Menurutmu ... apa ini baik-baik saja?”
Pias, bahkan Vincente bisa melihat bagaimana paras sahabatnya yang tampak memucat. Sampai-sampai mendengar pernyataan itu pun dirinya juga berusaha mencerna. Ada apa? Tanyanya dalam hati. Namun, refleks, dari pada berucap, dengan segera Vincente meraih Heiran dalam pelukannya. Sembari mengusap punggung Heiran dengan lembut.
“Tidak apa-apa. Nanti kau bisa mengonfirmasi ini dengan Hoseok-mu itu.”
Hening. Keduanya pun terselimuti dalam kesunyian di mana kala itu baik Heiran maupun Vincente hanya larut dalam pikiran masing-masing. Akan tetapi mempertanyakan perihal yang sama yaitu alasan dibalik pemutusan kerja sama antara Hoseok dengan Brand milik ayah Heiran.Huhuhu... finally bisa update...
Btw maaf yag chapter kali ini pendek sangat,
Wkwkkw tp next semoga besok bisa panjang...Btw spilll yuks part ini gmna...
Jangan lupa voment...
Yuks ramein😃😃😃See u next part
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Misteri / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...