Dalam suasana yang begitu santai dan intens, menikmati udara pagi tepat di pekarangan belakang rumah, pemuda yang usianya masih terbilang muda tampak duduk dengan tenang di depan seorang pria paruh baya. Bila dilihat dari usianya, mungkin usianya masih sekitar lima puluhan. Tidak terlalu jauh berbeda dengan ayahnya sendiri yang usianya mungkin setara.
Hanya dengan meja bundar berukuran kecil dengan permukaan yang berlapis kaca, keduanya terpisahkan dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Hari itu, sembari menikmati secangkir teh kamomil yang disuguhkan padanya, pemuda bersurai gelap dengan sedikit bergelombang dengan garis rahang yang tampak begitu tegas dengan sorot matanya yang tak jauh berbeda, memenuhi undangan sang pemilik rumah.
Dengan helaan napas berat, sang pemilik rumah pun angkat bicara begitu sempat menciptakan jeda sejenak selama beberapa detik.
“Maaf telah membuatmu mau tak mau harus menunggu. Aku jadi merasa tidak enak hati akan sikap putriku yang seperti ini.”
Dengan perasaan yang tidak enak dan rendah hati, sang pemilik rumah tampak meminta maaf akan sikap putrinya yang jujur patut disayangkan. Harusnya putrinya yang begitu ia kenali perangainya tidak mungkin bersikap seperti ini. Namun, apa boleh buat, sang ayah sama sekali tidak pernah bisa menduga apa yang dipikirkan oleh putrinya, sehingga tetap saja tidak bisa mencegah putrinya agar tetap menerima pernikahan tersebut.
Benar. Bahkan dalam hati, tanpa ingin menyuarakannya, pemuda yang diajak bicara pun membenarkan. Namun, pikiran objektifnya yang masih begitu tenang tetap mendominasi pikiran rasionalnya. Menuntunnya agar tetap bersikap bijak tanpa ingin menyalahkan salah satu pihak. Bagaimanapun, ia juga sadar diri bahwa dirinya tidak bisa menyalahkan sikap wanitanya yang bisa dibilang tidak siap.
“Seharusnya Paman tidak perlu merasa begitu sungkan ataupun merasa tidak enak hati mengenai hal ini. Bagaimana pun, usianya masih 23 tahun. Usia yang masih terbilang muda untuk memikirkan pernikahan di tengah kondisi psikis yang menurutku belum stabil untuk ukuran seusianya dan memahami tanggung jawab tersebut. Terlebih, pernikahan merupakan suatu komitmen yang membutuhkan tanggung jawab besar. Bahkan diriku yang hanya terpaut satu tahun dengannya ... sungguh, aku tidak terlalu mempermasalahkan hal ini,” ujar Vincente Fellix dengan penuh pengertian.
Sosok berdarah Korea Selatan dan Inggris yang perangainya begitu sopan sangat disukai oleh Tuan Sargas. Bagaimana pun, Vincente memang begitu paham bagaimana ketidaksiapan akan adanya pernikahan yang bukan hanya menyangkut mengenai status, tetapi juga perasaan. Terlebih di usia keduanya yang masih terbilang muda. Tentu perihal ini masih begitu menyulitkan. Dan Vincente, bukanlah tipikal pria yang memaksakan kehendak. Meski bisa saja ia berbuat seperti itu demi egonya.
Akan tetapi, ketimbang perihal pernikahan, ia masih lebih suka mengejar kariernya yang seorang model. Walaupun, ia juga tidak mempermasalahkan adanya pendamping yang sudah ada.
Tuan Sargas hanya menganggukkan kepalanya paham, bersyukur akan pemikiran pemuda yang kelak akan menjadi menantunya.“Kau benar. Tidak ada seorang gadis mana pun yang tidak terkejut bila sudah harus di hadapkan dalam pernikahan. Padahal, bila ia bisa melihat sisi baiknya dari pernikahan tersebut, mungkin ia tidak akan merasa terbebani seperti sekarang.”
“Dan sialnya, harapan itu tidak semudah dengan yang Anda harapkan, Tuan Sargas. Jadi, tidak perlu mempermasalahkannya. Lagi pula, mungkin ia masih ingin mengembangkan potensi dirinya. Cepat atau lambat, ia pasti kembali.”
“Terima kasih atas pengertianmu. Tapi kau tidak perlu cemas, aku sudah menyuruh orang untuk mencarinya,” yakinnya untuk tetap menepati janji yang sudah disetujui oleh kedua keluarga.
Dalam diam, di balik cangkir tehnya yang sedang ia seduh isinya, Vincente hanya tersenyum. Masih percaya, cepat atau lambat, keduanya akan segera bertemu. Terlebih, semalam, setelah usaha kerja kerasnya, ia menemukan sesuatu yang akan menuntunnya dengan segera.
Pemuda itu pun membatin. “Aku akan segera menemukanmu, sayang.”
***
“Wah, benarkah?”
Kedua netra Aeri membulat sempurna. Aeri kala itu memandang layar laptopnya dan mendapati kabar mengenai brand Phoenix Alteir yang akan meluncurkan koleksi terbarunya minggu depan. Namun, kali ini perhatiannya sebenarnya bukan tertuju pada koleksi yang hendak diluncurkan. Meski memang, ia mengakui bahwa desainer yang bekerja sama dengan brand tersebut memang tidak pernah gagal dalam memenuhi konsumen pasar. Begitu ingin memanjakan para konsumernya agar tetap berpenampilan trendi. Namun, kali ini perhatiannya tidak tertuju pada hal tersebut.
Melainkan sesuatu hal yang lain yang pasti, teman satu apartemennya akan menyukainya. Bahkan ia berani bertaruh, setelah ini wanita tersebut pasti akan menguras seluruh isi tabungannya hanya untuk hal ini.
Mendengar monolog Aeri yang begitu keras hingga Heiran yang berada di dapur turut menoleh, akhirnya bertanya. Sembari menuangkan bumbu mie instan yang akan mereka lahap pagi itu. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 waktu KST. Masih ada satu jam lagi sebelum keduanya berangkat bekerja di sisa akhir pekan.
“Wae? Kenapa kau mendesah seperti itu?” tanya Heiran yang segera menutup penutup mie instan yang masih melekat, lalu menindihnya dengan sendok di atasnya. Menunggu, hingga mie instan tersebut siap untuk dinikmati.
Sontak Aeri pun menoleh, “Eoh. Aku yakin setelah ini kau akan bekerja bagai kuda hanya untuk ini,” yakinnya begitu percaya diri. Kembali menjatuhkan atensinya pada layar laptopnya. Mengingat hal ini tidak biasanya dilakukan oleh brand tersebut.
Memang, di antara banyak brand yang berkecimpung dalam dunia Fashion, tanpa harus melakukan cara tersebut, Phoenix Alteir masih menempati posisi nomor satu dalam penjualan di dalam negara tersebut. Bukan hanya mengedepankan kualitas, tetapi model dan juga motif pakaian yang mereka luncurkan memang begitu khas dan juga unik. Maka tak heran bila keluaran dari brand tersebut masih begitu diminati.
Dengan segera, Heiran pun keluar dari dapur sembari membawa dua cup mie instan, lalu meletakkannya tepat di atas meja ruang tamu. Turut duduk di atas sofa tepat di belakang Aeri yang sedang terduduk di atas karpet lembut berbulu itu. Memandang ke arah layar laptop milik Aera yang seketika itu, Heiran membenarkan ucapan gadis tersebut.
“Wah, benarkah? Phoenix Alteir akan mengadakan fansign dengan model yang menjadi Brand Ambassador-nya? Itu artinya benar-benar bisa bertemu Seong Hoseok Oppa, ya?”
“Dilihat juga tahu ‘kan, Eonnie. Nah, bila sudah seperti ini bagaimana? Kau benar-benar ingin menguras tabunganmu?” tanya gadis itu dan beralih duduk di sisi Heiran yang sepertinya tampak sedang berpikir. Termangu dan masih terfokus pada sosok tersebut yang berhasil menarik seluruh perhatiannya.
Seketika itu Heiran hanya menyunggingkan senyum anehnya. Ingin mengelak. Namun, hatinya mengakui ia begitu ingin mengikuti acara tersebut. Meski tidak bisa hanya mengandalkan faktor keberuntungan, akan tetapi juga agar memiliki kesempatan yang besar, jelas ia harus merogoh kantongnya yang pasti jumlahnya tidak sedikit.
Lagi, Heiran berpikir. Bagaimana caranya ia bisa memenangkan tiket tersebut bila menggunakan sistem raffle? Itu artinya ia harus memberi barang-barang tertentu yang telah ditentukan untuk mendapat tiket tersebut yang nantinya akan diundi. Jelas dalam hal ini, ia tidak hanya membutuhkan satu tiket. Namun, beberapa tiket agar kesempatan menangnya lebih tinggi.
Seketika itu Heiran bergeming. Dalam diamnya, jujur Heiran pada akhirnya memikirkan hal tersebut. Betapa hatinya begitu ingin menemui sosok tersebut secara nyata. Bukan hanya sekadar gambar yang sering ia pandangi pada layar lockscreen-nya. Sampai-sampai, Aeri yang menyadari perubahan tersebut segera menutup layar laptopnya sehingga Heiran seketika itu tersentak. Sengaja Aeri ingin segera membuyarkan lamunan penuh harap seorang Heiran.
“Aku tidak melarang Eonnie bila memang harus menguras tabungan yang Eonnie miliki. Tapi, dari pada akhirnya akan menyakiti diri sendiri, lebih baik pertimbangkan lagi, ya. Karena, kau tahu ‘kan bagaimana pun lawanmu nantinya bukanlah orang yang biasa-biasa saja. Pasti mereka yang memang ditakdirkan hidup layaknya sultan juga tidak akan melewatkan hal yang begitu langka ini. Satu berbanding beberapa juta orang. Lebih baik pikirkan baik-baik.” Aeri memberi saran. Menyingkirkan laptopnya dan beralih pada sarapan paginya yang terlihat sudah masak.
Heiran yang masih membungkam bibirnya dan memikirkan saran dari Aeri hanya turut meraih cup mie instannya dan mulai menyantapnya.
***
“Ada apa? Kenapa kau terlihat terbebani begitu?”
Hyeri yang sedari tadi mendampingi Hoseok dalam setiap rutinitasnya tampak melihat perubahan ekspresi rekan kerjanya tersebut yang begitu kentara. Entah masalah apa yang membebani pria tersebut, sampai-sampai ia harus melihat wajah lelahnya yang begitu enggan menghadiri sesi syutingnya yang terakhir.
Di mana kali ini, ia diminta untuk mempromosikan salah satu jenis minuman beralkohol milik brand yang cukup terkenal dan yah, sebenarnya cukup bertentangan dengan Hoseok yang nyaris begitu jarang menenggak minuman berjenis tersebut. Jika bukan karena suasana hatinya yang mempengaruhi atau pikirannya yang sedang jenuh, ia tidak akan menyentuhnya. Nyaris bahkan tidak akan meminumnya.
Namun kali ini, Hoseok yang tampak menekan bagian sisi lehernya seraya mendongakkan kepalanya tampak begitu lelah. Bahkan sesekali, ia mengerlingkan netranya hanya untuk melihat jam digital pada dasbor mobilnya di mana waktu telah menunjukkan pukul 20.00 malam. Entah apa yang menghinggapi perasaannya, Hoseok hanya ingin segera menyelesaikan pekerjaannya hari itu.
“Tidak ada. Hanya benar-benar lelah. Bahkan nyaris seharian. Sepertinya lagi-lagi aku harus mengingkari janji padanya.”
Ya, tidak ada sosok yang lebih baik yang kini hanya sosok itu yang memenuhi kepalanya. Memenuhinya dengan cinta dan perasaan tulusnya. Bisa dibilang, sosok itu adalah wujud dari obat terbaik yang ia miliki.
Tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia lewati, Hyeri menanggapi perbincangan tersebut. Di mana, kedua netranya masih harus terfokus di saat beberapa sorot lampu mobil yang turut melintas di jalannya menyapa kedua lensanya.
“Kau bahkan selalu memikirkannya, dua puluh empat jam. Padahal kalian selalu bertemu di akhir pekan.”
Hoseok menyunggingkan senyum simpul. Kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku di mana kini ia duduk di samping Hyeri. Turut mengamati jalan yang cukup padat. Namun, begitu lancar tanpa adanya kemacetan.
“Dia seperti morfin bagiku. Lelahku yang selama ini memenjarakanku seakan sirna begitu aku bertemu dengannya dan menghabiskan waktu bersama. Lalu,” Hoseok menjeda tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. “Apa ada informasi lebih lanjut mengenai hal itu?”
Meski waktu telah lama berlalu, Hoseok sedikit pun tidak pernah melupakan kejadian hari itu. Hari di mana sekujur tubuhnya mendadak membeku tanpa bisa bergerak sedikit pun. Otaknya dipaksa menyaksikan sesuatu yang sampai detik ini, masih terus membayangi pikirannya dan menggerus emosinya. Nyaris mencekik lehernya dan memutus aliran napasnya.
Sampai-sampai ia tidak tahu, bagaimana ia bisa terlepas dari hal ini yang secara jujur begitu membebaninya. Masih tidak menyangka, hari itu turut meloloskan sesuatu dalam dirinya dan menciptakan ruang hampa di sudut ruang sana.
Hyeri hanya menggelengkan kepalanya. Tahu benar, bila sudah membahas masalah ini, entah bagaimana, ia merasa keduanya kini selalu dirundung awan kelabu. Begitu mengerti secara pasti bagaimana perasaan Hoseok sejak saat itu hingga detik ini.
Begitu beruntung sosok ini memiliki seorang Hoseok yang notabene begitu perhatian. Hanya kurang mampu mengekspresikan bagaimana perasaannya secara jujur pada sosok tersebut. Ya, bila dipikirkan kembali, tidak ada seorang pun yang benar-benar siap menghadapi hal tersebut. Termasuk Hyeri sekali pun bila berada di posisi Hoseok.
“Tidak ada. Masih belum ada perubahan mengenai hal tersebut. Mungkin sikapmu yang menutupi satu ‘itu’ memang bisa menutup kasus ini. Tapi, bukankah bila begini, lebih baik menunjukkan hal tersebut dan mulai bekerja sama dengan pihak kepolisian?”
Benar. Beberapa kali Hyeri selalu memikirkan hal ini. Berusaha menimbangnya antara baik buruknya akan hasil yang didapat bagi Hoseok. Menjadikannya pilihan sebagai bantuan dengan acuan, bagaimana bila Hoseok menunjukkan surat tersebut yang disinyalir merupakan suatu petunjuk yang bisa membantu Hoseok untuk menemukan alasan di balik kejadian tersebut. Dari pada menelusurinya sendiri yang semakin menjebak pria tersebut pada jalan buntu yang pada akhirnya menghantui pikirannya hingga terbebani.
Tapi, di waktu bersamaan, Hyeri juga tidak bisa memaksakan hal tersebut bila melihat dari alasan lain yang pernah diceritakan oleh Hoseok pada dirinya. Hyeri mengakui bila mengacu pada alasan tersebut, keputusan Hoseok termasuk bijaksana mengingat dia tidak ingin memvisualkan citra buruk yang selama ini menjadi alasan mengapa begitu sulit bagi sosok tersebut dalam menjalani mimpinya.
Sehingga dari pertanyaan tersebut, Hyeri menyadari bahwa sarannya sepertinya salah. Di mana hal tersebut dibuktikan dengan adanya jeda yang begitu panjang hingga menciptakan keheningan. Mengubah suasana santai nan serius itu menjadi ketegangan yang begitu panas.
Hoseok pun menghela napas berat. Sepertinya ia benar-benar mempertimbangkan pilihan tersebut. “Lalu bila orang tuanya bertanya, sedangkan kita masih tidak memiliki cukup bukti untuk menjadikannya alasan dan memberikannya sebagai penjelasan sekaligus sebuah jawaban agar mereka mengerti, apa yang harus aku katakan? Bukankah dengan begini, mereka justru semakin merasa kecewa bila mengetahui kebenaran? Bahkan diriku sekalipun pun secara jujur masih belum siap akan kebenaran tersebut. Membayangkannya saja ... apa yang akan terjadi padaku bila aku mengetahui kebenaran yang selama ini dia sembunyikan ....” Hoseok menggelengkan kepalanya. Menyugar surainya dengan frustrasi. “Tidak. Aku hanya ingin diriku yang menjadi orang pertama yang mengetahui fakta itu lebih dulu.”
Dengan berat hati, Hoseok pada akhirnya masih memilih untuk bersabar. Menunggu hasil selanjutnya dari secarik kertas yang telah ia tunjukkan pada seorang detektif yang ia sewa secara khusus untuk menyelidiki kasus yang selama ini mungkin bisa dibilang, turut membesarkan namanya. Sungguh, suatu keuntungan yang saling tumpang tindih di antara kebingungan yang begitu memuakkan. Begitu ironi dan begitu miris bagi Hoseok.Hai....
Selamat malam...
Akhirnya mendekati liburan...
Btw thanks udah mampir. Jangan lupa tinggalin jejak yag...
See u on next chapter😀😀😀
![](https://img.wattpad.com/cover/358240372-288-k614934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...