Chapter 38

8 3 8
                                    

“Bibi, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

Di dalam selimut yang sama di mana di luar sana hujan masih terus berderai berpadu dengan gemuruh petir di bawah pekatnya malam serta kencangnya desiran angin, gadis kecil itu tampak nyaman berada di dekat seorang wanita yang eksistensinya sudah tidak asing baginya. Tepat di salah satu ruang tidur vila yang mereka inapi. Sangat nyaman, sampai-sampai ia merasakan sesuatu yang belum pernah didapatkan. Mungkin perasaan inilah yang sangat makhluk kecil bak malaikat itu dambakan, meski tetap, eksistensi akan ibunya sama sekali tiada pernah tergantikan.

Melihat bagaimana binar mata yang tulus terpancar dari gadis kecil yang masih polos tersebut, wanita itu sedikit menimbang. Terdiam beberapa detik seraya menutup buku cerita yang baru saja dibacakan dan ia hadiahkan untuk Viona sebelum memilih untuk memiringkan tubuhnya, menjatuhkan atensi. Menahan berat kepalanya di atas tangan kiri yang menjadi tumpuan dengan tangan yang lain mengusap pipi sang gadis pelan. Bertanya-tanya, ada apa sesungguhnya yang membuat gadis kecil itu menatapnya dengan lekat? Begitu serius meski di dalamnya penuh kehati-hatian.

Sungguh, dipandang seperti itu, ada getaran penuh arti yang tampak tak begitu asing dan juga sangat familier yang turut membuat hatinya mencelus. Tatapannya tampak lain, akan tetapi wanita ini tahu benar makna di dalamnya walaupun gadis kecil ini masih menahannya. Hal yang sering kali ia lihat di dalam bayangannya sendiri di kala termenung dalam ruang sepi memandangi sebuah bingkai yang hanya bisa ia pandang sosoknya. Namun, tidak dapat ia peluk raganya.

Deru napas pelan dari keduanya saling berembus. Kali ini sama, bayangan samar yang masih berenang bebas di dalam manik bulat berwarna amber itu tampak sedang menunggu. Menunggu sang wanita bereaksi menanggapi dirinya penuh harap.
Meski tatapan teduh dari iris mata kecokelatan yang tampak menenangkan itu juga menjadi salah satu hal yang diam-diam membuat malaikat kecil itu terbiasa. Sangat terbiasa seolah kekosongan yang ia rasakan selama ini dalam diam sedikit terisi karena kehadiran sosok yang beberapa bulan ini memenuhi harinya.

Di bawah cahaya lampu tidur yang temaram dan hangat, akhirnya suara wanita tersebut menyela di antara kesunyian yang menyelimuti. Tidak ingin lagi membuat gadis kecil ini menunggu.

“Ada apa, hm? Kenapa Viona terlihat seserius itu? Apa ada yang mengganggumu?”

Seulas senyum simpul dengan segera menggantung di kedua sudut bibir Viona diiringi dengan gelengan kepala pelan. Hal yang sedari tadi ia tunggu akhirnya tiba.

“Tidak ada yang mengganggu.” Suara lembutnya yang khas seorang anak-anak berhasil membuat sang wanita turut menghangat. Sampai-sampai, kedekatan keduanya benar-benar tidak memiliki batas. Hubungan yang terajut layaknya perasaan tulus seorang ibu terhadap putrinya atau pun sebaliknya.

Yang jelas, bila harus dikatakan secara jujur, Viona sangat menyukai kehadiran sosok ini. Sosok yang benar-benar mampu menyentuh hatinya hingga sisi terdalam. Meski semula, Viona bahkan tidak pernah membayangkan akan merasakan hal ini sebelumnya. Namun, di antara pertemuan itu, gadis kecil itu merasa bersyukur akan hal sederhana yang hadir dalam hidupnya.

Sehingga tanpa permisi, gadis kecil itu semakin merapatkan dirinya pada sang wanita. Membuat wanita tersebut tersentak kaget. Namun, dengan sikap yang tenang. Sedikit canggung di kala salah satu tangan mungil gadis kecil itu telah mendekapnya sempurna. Sampai-sampai jarak sejengkal yang sempat tercipta kini terkikis tiada bersisa.

Selama beberapa detik, Viona dalam posisi tersebut memejamkan mata. Membiarkan rungunya berkonsentrasi menyambut suara debaran jantung yang terdengar teratur tersebut. Hangat dan menenangkan. Sedikit menenggelamkannya pada rasa rindu yang benar-benar membuncah.

Sebelum detik berikutnya, ia pun kembali berucap dengan polosnya. Seraya menghidu aroma khas yang dimiliki wanita tersebut. Aroma kamomil yang menyegarkan.

“Hanya saja ... Viona juga ingin ditemani seperti teman Viona yang lainnya. Mereka selalu diantar ke sekolah oleh ibunya. Apa Viona berperilaku buruk? Hingga Tuhan lebih menginginkan ibu berada di sisinya daripada bersama Viona.”

Suasana yang semula sempat terasa ceria kini beralih suram. Hingga begitu mendengarnya, Heiran yang sempat terenyak hanya bisa menghela napas samar. Sembari mengusap punggung Viona pelan seolah melalui sentuhan itu, Heiran juga berusaha menenangkan gadis kecil tersebut.

Entah bagaimana harus menjawabnya, Heiran sendiri tidak tahu bagaimana bentuk pasti atas perasaan rapuh malaikat kecil tersebut. Bingung bagaimana harus menanggapi perasaan tulus gadis kecil ini yang memang terkesan jujur.

Bila diingat, mungkin posisi keduanya memiliki persamaan takdir yang dimiliki. Hanya saja, di antara kondisi yang terbilang tidak menguntungkan sekaligus mengecewakan di mana emosi pertama yang hadir kala itu hanyalah marah, Heiran berusaha memahami. Bahwa gadis kecil ini jauh lebih melewati masa sulit ketimbang dirinya. Paling tidak, Heiran masih bisa melewati beberapa tahun bersama ibunya. Sedangkan Viona? Mungkin beberapa jam, atau bahkan beberapa hari.

Bahkan Hoseok tidak tahu berapa lama Viona telah hidup bersama ibunya. Bila Heiran mempercayai ingatan Hoseok di mana pria tersebut pernah menceritakan mengenai sosok wanita yang menjadi ibu bagi Viona, mungkin hanya hitungan hari. Karena Hoseok melihat bayi tersebut masih seukuran bayi yang baru beberapa hari dilahirkan.

Tentu, siapa pun yang berdiri menyaksikan kejadian nahas hari itu, tidak ada yang sanggup membayangkannya. Bahkan Heiran kembali memejamkan mata di kala mengingatnya. Bergidik ngeri akan peristiwa yang diceritakan padanya di mana suasana malam itu turut menggetarkan jiwa dan memantik rasa iba.

Walau begitu sulit, tanpa diketahui oleh gadis kecil ini di mana Viona lebih memilih menyembunyikan wajahnya dalam dekapan tersebut, Heiran menarik seulas senyum getir. Turut teriris merasakan perasaan gadis kecil ini. Namun, dengan pelan dan penuh perhatian, Heiran berucap dengan lembut. Berusaha memberikan pengertian yang bertujuan membesarkan hati gadis kecil tersebut.

“Mungkin ada kalanya manusia berencana begitu sempurna. Atau bahkan, berpikir bahwa hidup akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Akan tetapi, ada baiknya Viona tidak boleh berprasangka buruk terhadap Tuhan. Boleh jadi, meski menyakitkan, mungkin Tuhan memiliki rencana dan alasan terbaik di balik kepergian ibumu. Selama ini, bagi Bibi, Viona adalah anak yang baik. Dan ....”

Heiran menarik napas dalam menghadirkan jeda sejenak. Meski di waktu bersamaan, ia juga menahan sesak dan nyeri di sana. Bahkan bola matanya yang telah bergetar dan berkabut sama sekali tidak bisa menutupi bagaimana sakitnya pesakitan yang ia rasakan. Tidak ada, bahkan bila Heiran berharap akan hari itu agar tidak pernah terjadi, tentu, dirinya sendiri juga tidak memiliki kuasa untuk membalik waktu agar segalanya kembali seperti sedia kala.

Heiran tercekat. Sampai-sampai ia membiarkan bibirnya sedikit terbuka. Berharap dalam celah sempit tersebut dapat mengurangi rasa sakitnya. Tentu, tidak ada yang sanggup berada di posisi ini. Posisi yang akan selalu berhasil membuat hatinya bergemuruh.
Dengan semakin meraih Viona dalam dekapan, Heiran berusaha memberi penguatan. Tidak hanya untuk Viona, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

“Jangan pernah membuat ibumu di sana menangis, Ne? Karena ... walaupun dia tidak ada di sini, tapi dia menyaksikanmu dari sisinya di mana pun Viona berada. Aku yakin, sebenarnya ... ibumu juga pasti sangat merindukan dan ingin sekali mendekapmu. Membelaimu dan menemanimu hingga terlelap. Tapi yang hanya bisa ia lakukan hanya melihatmu dari kejauhan. Jadi jangan membuatnya kecewa. Viona anak baik, kan?”

Kala itu hanya jawaban non verbal yang Heiran rasakan di mana dalam dekapan tersebut, Viona mengangguk pelan. Meski ada getaran kecil dari gadis kecil tersebut yang mulai terisak.
Heiran tahu seberapa sakit menahan rasa rindu pada sosok yang kehadirannya telah berbeda ruang dan waktu. Sehingga, Heiran sama sekali tidak menyalahkan sikap Viona yang terbilang wajar. Turut merasa mengasihani dengan berbagi sentuhan. Paling tidak, mengurangi jerit batin yang pasti sangat menekan.

Sampai-sampai, dalam rutinitas di setiap hela napasnya, Heiran  berusaha mengisi kekosongan itu. Terus mensyukuri kehadiran orang-orang yang berada di sekitarnya. Walaupun tentu, tetap tidak akan ada yang bisa menggantikan bagaimana kehadiran sosok yang sangat penting itu dalam hidupnya. Mewarnai dan memberikan makna hidup begitu dirinya hadir pertama kali ke dunia.

Sungguh, tidak ada satu orang pun yang mampu melupakan bagaimana awal pertemuan. Kisah yang terajut di dalamnya walau berbatas dalam setiap penantian. Waktu, Heiran tersenyum miris dan meraup napas dalam. Lagi-lagi Heiran menyayangkan waktu yang pernah ia alami dalam hidup. Bukan pada waktunya, melainkan pada kenangan yang tertoreh di dalamnya.

Hingga selang beberapa jam, di mana keduanya berakhir terdiam tanpa mampu berucap, Heiran membiarkan dirinya tetap dalam posisi tersebut. Sebelum pada akhirnya, Viona yang telah merasa lelah karena menangis, pada akhirnya tenggelam dalam tidurnya. Dengan lembut Heiran mengusap kepala gadis kecil tersebut dan memberikan kecupan sekilas. Turut mendoakan dalam diamnya dengan harapan tulus. Berharap Viona dapat melalui ini dengan tegar. Ya, walaupun Heiran tahu, dalam praktiknya tidak ada yang berjalan dengan mudah.

Begitu memastikan Viona terlelap, Heiran pun bergeser perlahan beranjak dari posisinya. Membenarkan selimut yang Viona kenakan hingga menutupi bahu agar tetap dalam posisi sebagaimana mestinya dan memilih beralih ruang. Namun, sebelum itu, untuk beberapa detik, Heiran sempat terpaku memandangi wajah Viona sejenak. Entah apa yang ia pikirkan, Heiran benar-benar berharap akan adanya pelangi bagi Viona setelah datangnya hujan.

Perlahan Heiran menarik kenop pintu dan menutupnya. Begitu keluar dari ruang tersebut, Heiran pun melirik ke arah arloji yang melingkar di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 00.00 dini hari. Dan hujan di luar sana pun tiada menunjukkan tanda-tanda agar segera berhenti.

Dalam satu embusan, Heiran menghela napas. Perlahan menepuk dadanya yang masih terasa terimpit. Guna memperbaiki suasana hati dan mengalihkan pikiran yang sempat menyesakkan dadanya, Heiran pun memutuskan untuk berkeliling vila yang luasnya hampir menyamai rumah Vincente walaupun masih terhitung setengahnya.

Tentu, Heiran ingat benar bagaimana ukuran rumah Vincente yang besarnya layaknya sebuah istana. Namun yang membedakan adalah, vila tersebut amat sangat terbuka. Terdapat beberapa jendela berukuran besar di mana begitu sekali Heiran menjatuhkan pandangan, panorama pepohonan pinus telah berdiri tegak memenuhi iris bola matanya.

Tak lupa dengan dedaunan gugur beserta ranting yang telah patah turut memenuhi pekarangan. Tak luput aroma petrichor  yang turut terhirup kuat. Lembab sekaligus basah.

Untuk sejenak, Heiran sedikit melupakan apa yang sempat terjadi sebelumnya di mana langkah kaki wanita tersebut masih terus menyusuri. Menjadikan pegangan pada tangga yang melingkar menjadi tumpuan dan membiarkan dirinya tetap berkeliling.
Entah berapa jumlah anak tangga yang ia turuni. Hingga begitu kakinya mencapai dasar, Heiran pun beralih berbelok ke sisi kiri dari bangunan tersebut. Kembali melewati beberapa ruang dengan sebuah lorong yang telah menyambut. Dalam diamnya, kedua netra Heiran tiada henti berlarian memandangi dengan detail setiap ornamen yang menghiasi dinding dengan nuansa peach dan putih tersebut.

Mulai dari lukisan abstrak yang menempel di dinding milik pelukis terkenal dengan berbagai makna yang terkandung di dalamnya, berikut dengan tanaman hias yang berdiri tepat di setiap sisi pilar yang menyangga.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang