Waktu menunjukkan pukul 02.30. Derai gerimis yang menyapa permukaan jendela berderu bersamaan desauan angin di luar sana. Suara derit getar antara ponsel yang menyapa permukaan nakas berdengung membangunkan eksistensi seseorang di dalam ruang tidurnya yang nyaman. Ya, entah sejak kapan terakhir kali dirinya mendapatkan tidur yang berkualitas, beberapa hari sejak perubahan sikap yang dirasanya, sejak hari itu tidurnya begitu mudah terdistraksi.
Begitu mudah terbangun di tengah malam padahal dirinya baru tertidur dua jam. Dan selalu berulang hingga menjelang pagi. Tepat dini hari dalam balutan keresahan, mau tak mau dirinya pun terbangun. Meraih benda pipih itu dalam genggaman. Bersamaan dengan pergerakannya yang semula berbaring untuk beralih duduk. Segera menggeser simbol terima panggilan ke kanan lalu menanggapinya.
“Hobie,” sambut Heiran dengan deru napas yang sedikit memburu tak sabar. Bersyukur, akhirnya, sosok tersebut menghubunginya dengan panggilan suara.
Kala itu di seberang sana, sang pria memilih untuk berdiam diri di dalam ruang yang berada di salah satu hotel. Hanya di sana dirinya yakin kali ini dirinya benar-benar mendapatkan privasinya. Menjadi dirinya sendiri tanpa adanya tekanan dari yang lain. Meski perasaannya pagi itu, di mana dirinya sadar bahwa mentari belum menyapa di negara wanitanya, sosok itu telah memilih waktu yang salah. Dan tanpa bisa berpikir apa pun, Hobie yang telah duduk di sisi meja tersenyum getir. Seraya menggenggam sebuah benda yang mau dilihat berapa kali pun semakin menggerus perasaan pria tersebut.
Dengan lemah, pria itu pun menjawab. “Bagaimana kabarmu, Hei? Maaf telah membangunkanmu malam-malam begini. Apa istirahatmu cukup? Apa makanmu baik? Aku harap pekerjaan tidak melelahkanmu, Hei.”
Heiran yang mendengar suara berat prianya menyapa rungu pun refleks melipat bibirnya ke dalam. Menunduk, menyugar surai kecokelatannya dengan hati yang berdesir. Entah, kali ini bagi Heiran panggilan tersebut terasa canggung tidak seintens biasanya. Bahkan, panggilan sayang untuknya, bolehkah Heiran hanya berpikir bahwa mungkin Hobie lupa memberikannya.
Masih dengan debar jantung yang tak menentu, sebisa mungkin Heiran menanggapi. Terbilang tidak ada kejujuran di sana mengingat telap kakinya kini terasa dingin dan perutnya serasa terpilin.
“Aku harap bisa memberikan jawaban yang ingin kau dengar, Hobie. Apa ada masalah? Kau selalu mengabaikanku perihal Daddy. Katakan, apa Daddy membuatmu menyesali sesuatu sehingga kau memutuskan untuk berhenti menjadi BA untuk Brand milik Daddy?”
Hoseok yang berusaha mengisi paru-parunya yang menyempit dengan oksigen tampak merunduk di mana awan kelabu seolah menaungi tepat di atasnya. Semakin mengeratkan genggaman pada sebuah kotak kecil yang pada akhirnya dia lempar di atas sofa. Beberapa kali mengumpat merutuki kebodohannya di dalam hati. Sampai-sampai kabut tipis yang mendesak terus menutupi permukaan bola matanya. Panas, Hoseok sampai tercekat berusaha menahan bobot tubuhnya.
“Ti-“ suara Hoseok tersendat. Berusaha menstabilkan suaranya yang sedikit bergetar. Akan tetapi di seberang sana, Heiran hanya tahu bahwa jeda waktu yang tercipta membuat atmosfer di sekitarnya terasa berat. Sampai-sampai Heiran tanpa sadar menggigit kuku ibu jarinya was-was.
Berusaha memastikan, Heiran mencoba memahami situasinya. ”Hobie”
Sontak Hoseok yang menunduk menarik napas berat di mana satu tarikan itu semakin mendekap Heiran dalam rasa yang begitu dingin. Kali ini sungai kecil turut meluruh di kala sang pria mendongak seraya sedikit membuka mulutnya. Sungguh, Hoseok merasakan denyut nyeri menjalari sekujur tubuhnya. Bahkan membayangkannya visual wanitanya saja, Hoseok tidak mampu.
Dan dengan susah payah, Hoseok berusaha bersuara.“Tidak Hei. Ayahmu ... sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Masalahnya, memang ada padaku.”
Heiran sontak bangkit berdiri. Tidak mengerti dengan ucapan Hoseok. Hanya bisa menyebut namanya secara refleks.“Hobie,”
Belum Heiran ingin menyela mencari tahu lebih dalam, dalam balutan jas berwarna hitam di mana korsase bunga berwarna putih telah terpasang tepat di dada kirinya pun Hoseok menyela. Berusaha mengucapkan apa pun yang bisa menyelesaikan hal tersebut dengan segera. Dan dalam waktu singkat, di mana hari itu untuk pertama kalinya Hoseok menjatuhkan dan mematahkan hatinya, pria itu dalam isaknya pun berucap. Sadar benar malam itu wanitanya akan remuk di mana Hoseok sendiri telah mencapai titik terendahnya.
“Mari akhiri ini, Hei. Sungguh suatu kesalahan di mana priamu ini benar-benar merasa tidak pantas untukmu. Maafkan aku yang telah menarikmu untuk masuk ke dalam kehidupanku. Dan maafkan aku yang telah membuatmu kehilangan anak kita. Tapi sungguh Hei, terlepas dari apa pun, apa yang terjadi hari ini adalah murni kesalahanku. Kau benar, aku pantas menerima hukuman selama dua tahun itu tanpa kehadiranmu. Namun, sedikit pun aku tidak berbohong atas perasaanku terhadapmu. Untuk itu, agar aku tidak lebih menyakitimu, maka aku melepasmu, Hei. Aku tidak menjadi pria yang baik untukmu. Bahkan aku yakin anak kita akan menaruh dendam padaku.”
Heiran yang seketika itu bak tersambar petir berusaha memahami ucapan Hoseok yang terdengar sangat menyesakkan. Termasuk bagaimana dirinya yang seketika itu bergeming dalam remang yang memilukan. Masih dengan denyut nadi yang kian semakin berdesir deras, dengan kepala yang pening, Heiran berusaha mencari tahu.
“Hobie, kenapa kau berucap seperti itu? Ada apa? Apa aku melakukan suatu kesalahan sampai-sampai kau merasa seperti ini.”
Hoseok yang terisak pun berlutut. Semakin menundukkan kepalanya ke lantai. Bahkan dinginnya permukaan benda keras itu telah menyapa bak pisau yang menembus kepala. Dan dengan berat hati Hoseok semakin menekankan.
“Aku mencintaimu Hei. Aku yang bersalah. Aku yang berengsek. Maafkan aku.”
“Ha-halo,”
Panggilan pun terputus di mana kini derai gerimis telah memenuhi kedua bola mata seorang Heiran. Dengan tatapan linglung seolah masih ada rasa tidak terima di sana, dengan segera Heiran beralih ke arah ruang ganti. Menarik koper dari dalam bilik lemari yang terbuka dan mengambil pakaian secara acak. Entah apa yang barusan didengarnya, suara isak tangis kekasihnya semakin menyentak batinnya. Tidak mungkin bila tidak ada yang terjadi. Tanpa peduli langit gelap di luar sana, Heiran dengan pemikiran gilanya hanya berpikir ingin ke Korea Selatan dengan penerbangan paginya.
Di lain tempat, Hoseok yang berusaha menguasai diri hanya bisa menarik surainya dalam satu genggaman. Sampai suara di luar sana seolah mengingatkannya.
“Hoseok-ah. Upacara pernikahan akan segera dimulai. Sudah waktunya untukmu bersiap.”
Hoseok yang terlampau sesak pun dengan limbung berusaha bangkit berdiri. Sengaja menggulung ujung kemeja dan menyingkap jas bagian kirinya untuk melihat luka yang dulu pernah dia buat sewaktu mengunjungi Tuan Sargas. Dan lagi, tepat hari itu, hanya untuk sedikit melegakan rasa sakitnya, pria itu mengulang kegiatannya lagi. Menciptakan luka dan dengan pandangan dingin berusaha mengalihkan perasaan sakit itu. Membebat lukanya sal sebelum benar-benar dirinya menampilkan sosok sempurnanya.
Begitu prosesi pernikahan berlangsung dan sumpah sakral telah diikrarkan, orang tua Hoseok yang mengawasi dengan penuh harap agar putranya kali ini tidak mempermalukannya pun bertemu pandang dengan Hoseok.
Mau tak mau Hoseok pun hanya menghadiahi Amber dengan kecupan sekilas di kening sampai ujung bibirnya berada tepat di telinga kiri si wanita. Dan dengan seringai sinis tanpa di ketahui oleh siapa pun, Hoseok pun berbisik.
“Welcome to the Hell, Baeb.”
Amber pun menegang, mendapati tatapan Hoseok yang begitu menusuk. Entah apa yang dimaksudkan oleh sang pria, dirinya hanya tahu bahwa hanya ada penolakan di sana.
Di lain pihak, Heiran yang malam itu berusaha mengikuti kata hatinya, tidak sadar bahwa dirinya telah memacu laju mobilnya sampai melebihi batas kecepatan normal. Dengan perasaan yang kalang kabut, di mana emosi akan rasa tidak terima dalam pemutusan sepihak itu membuat pikirannya sama sekali tiada berdiri di tempatnya, wanita itu berusaha memikirkan banyak kemungkinan.
Tidak sadar di mana pikirannya yang kalut melanglang buana, sebuah truk besar telah melintas tepat di jalur laju mobilnya. Sorot cahaya lampu yang menusuk pun seketika membutakan penglihatan Heiran yang refleks turut membanting setirnya menghantam badan jalan hingga mobil yang dikendarainya pun terbalik. Terperorsok hingga lima meter jauhnya.
Pening, Heiran kala itu hanya merasakan sekujur tubuhnya begitu sakit. Terlebih di bagian kepalanya. Samar-samar pandangannya masih bisa melihat trotoar dengan aroma yang begitu khas. Heiran kenal benar aroma bahan bakar mobilnya itu bersamaan dengan aroma besi berkarat yang membanjiri kepalanya. Sampai perlahan kegelapan pun menelan kesadarannya secara sempurna di tengah mobilnya yang tampak mengeluarkan asap dengan tetesan bensin yang bocor.😭😭😭😭😭
Aku gak bisa berword2 untuk part ini...
Maaf gak akan bikin Heira baik-baik aja bang... hiks...See u next part yag...
Jangan lupa voment.Mari berdoa yang terbaik buat mbak Hei
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...