Chapter 16 (2)

24 4 8
                                    

Tentu Heiran tidak mengerti akan makna ambigu yang tersirat di dalam setiap ucapan Hoseok yang baru diutarakan. Namun, melihat keseriusan dalam sorot mata itu, Heiran hanya tahu, Hoseok ingin menyampaikan suatu yang penting padanya.

Mengingat, seharusnya, untuk kali ini sepertinya Hoseok perlu turut mempertimbangkan perbedaan usia di antara keduanya.
Heiran dengan usia 23 tahunnya dan Hoseok yang berusia 28 tahun. Dilihat dari tingkat kematangan pun, sudah sangat terlihat jelas bahwa Hoseok telah lebih banyak menikmati asam garamnya kehidupan. Namun, tidak ada yang bisa menyalahkan Hoseok juga mengingat dalam situasi yang seperti ini, tidak ada jaminan yang bisa mengendalikan emosi Hoseok akan perasaannya.

Dengan polosnya, tanpa peduli apa yang akan dikatakan oleh pujaan hatinya, Heiran mengangguk pelan. Meski di dalam sana ia merasa bingung.

“Te-tentu. Oppa bisa mengatakan apa pun yang Oppa mau.”
Kala itu Hoseok mengulum kedua belahan bibirnya ke dalam. Sekali lagi memantapkan hatinya untuk membagi apa yang tersimpan dan telah usang di sudut lain ruang hatinya. Begitu ia merasa siap setelah menghadirkan jeda sejenak, barulah ia menceritakan segalanya.

“Heiran. Apakah pernah walau sekali saja dalam hidupmu ... kau mencintai seseorang?”

Di saat kedua manik matanya yang berwarna kecokelatan bertemu dengan manik mata milik Hoseok, Heiran sempat merasakan pikirannya kosong. Bagaimana harus mengatakannya. Di tengah kesunyian yang seolah sesuatu yang bisa diibaratkan sebagai benang tipis tak kasat mata mulai terajut perlahan, menarik akan suatu atensi, di saat itulah otak Heiran dipaksa berpikir akan suatu asumsi yang merupakan sebuah pengakuan. Kenyataannya, entah bisa dipercayai atau tidak, sosok yang pertama kali mampu merebut dan menggerakkan hati hingga merasakan indahnya jatuh cinta secara sepihak adalah Hoseok.
Bukan pada visualnya yang biasa dielu-elukan dan dijadikan acuan bagaimana seseorang dalam perihal menyukai, melainkan hanya sebatas rambut ungunya yang dulu pernah Heiran lihat. Hingga tanpa sadar, perhatian penuhnya terus mendorong lebih jauh dan berakhir dengan Heiran yang pada akhirnya mengetahui segalanya tentang Hoseok. Nama, sifatnya, hingga menjurus pada visualnya yang sedikit pun tak mampu ia tolak.

Benar. Di antara beberapa pendapat publik yang membicarakannya, Heiran menemukan sisi lain di mana ia merasa pria ini memiliki daya tarik yang berbeda dan begitu unik, sulit untuk dijelaskan. Namun, dari keseluruhan, Heiran juga mengakui bahwa Hoseok begitu pantas untuk dicintai. Akan bersinar dengan caranya sendiri walaupun jalan takdir yang dilalui harus berliku.

Di tatap seintens itu, membuat Heiran tercekat. Sampai-sampai dengan susah payah, ia pun berusaha menelan salivanya. Dengan berusaha mengatur jalur napasnya yang terasa terganggu dan tetap menstabilkan suaranya, Heiran tetap berusaha terlihat setenang mungkin. Meski berakhir ia tidak mampu menatap Hoseok yang masih memberikan atensi penuhnya.

Dengan perlahan, Heiran pun menjawab. “A-aku,” Bingung. Pada akhirnya suara Heiran justru terbata karena gugup. Akan tetapi dalam situasi seperti ini, ia harus melawannya, bukan? Sehingga mau terdengar seperti apa pun, Heiran tetap harus memberi Hoseok jawaban.

“Bila mengenai seseorang yang aku cintai ... mungkin aku bisa memilahnya sebagai ranah pribadi yang tak bisa aku katakan. Namun, apa bila hal ini berkaitan dengan cara pandangku terhadapmu nantinya, maka ... Asalkan aku mendengarnya darimu. Sepertinya tidak ada hal lain yang perlu aku ragukan. Karena ... di antara banyaknya asumsi yang berada di masyarakat, yang mengetahui kebenaran tetaplah satu orang, yaitu dirimu. Terlepas dari jujur atau tidaknya. Yang mengetahui secara pasti ... tetaplah dirimu, Oppa.”

Dalam dua detik, Hoseok dibuat mencerna. Betapa sedalam dan seyakin itu Heiran mempercayainya. Sedikit pun, sama sekali tidak ada keraguan. Hanya suatu untaian kata yang memberikan efek kelegaan dengan pemikiran yang terbuka.

Hoseok yang mendengar bagaimana jawaban Heiran pun tersenyum tipis. Mulai kembali melanjutkan apa yang hendak ia katakan. “Baguslah kalau begitu. Bila sudah begini ... maka sepertinya aku tidak akan menutupi apa pun.”

Sebelum mengawalinya, Hoseok memejamkan kedua matanya sembari menarik napas dalam. Berusaha memberikan sedikit ruang untuk kesiapan bagi dirinya sendiri guna membuka kembali rekaman yang telah usang dan masih tersimpan begitu rapat di dalam kepalanya. Menghadirkan jeda sebentar, guna menggali sekali lagi kenangan yang sesungguhnya terlampau menyesakkan itu. Entah sudah berapa lama waktu terlewat.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang