Extra Chapter 5

22 4 29
                                    

Entah untuk ke berapa kalinya, hatinya seolah menaruh harap. Terlampau sering mengecek benda pipih yang digenggamnya, tak sabar.

“Padahal aku sudah bilang bahwa jam ini aku kan senggang. Kenapa belum meneleponku juga?”

Rutukan samar itu tentu membuat sosok yang duduk tepat di depannya pun mengerlingkan netra. Menjadikan panorama dekorasi sekaligus ornamen ruang yang disuguhkan dari tempat tersebut sebagai pengalihan.

Entah sudah berapa kali semenjak perjalanan menuju kafe sampai keduanya benar-benar duduk di dalamnya, ucapan itu tiada absen mengisi rongga telinganya. Sampai napas berat pun memecah keheningan yang sejujurnya juga membuatnya jengkel. Paling tidak seharusnya sosok ini mampu menutupi sikapnya agar tidak memantik rasa tidak nyaman di sana.

Dengan memalingkan muka seraya mengetuk meja menggunakan ujung jari telunjuknya, pria dalam balutan sweter berwarna hitam yang telah menyandarkan punggungnya ke kursi itu menimpali. Seolah tidak menaruh minat padahal batinnya bergejolak. Tidak menyangka, bayangan indahnya terkikis begitu sosok yang tak terduga datang menyela. Sampai-sampai sejujurnya hal tersebut membuatnya muak.

“Haruskah kau menunggu panggilan tersebut? Apa kau mengajakku hanya untuk ini? Melihat kasmaranmu yang sedang menanti panggilan dari pujaan hati.”

Seketika sosok tersebut pun menjatuhkan tatapan lurusnya. Menyadari akan ucapan sang pria yang memang begitu menohok.

“Vin. Aku sungguh minta maaf mengenai hal ini.”

Nada bicara sang wanita pun terdengar lembut dan bersungguh-sungguh. Teringat bagaimana selama ini sosok tersebut berusaha menahan dirinya dengan menjadi sandaran yang selalu ada dalam kondisi tersulit. Di saat dirinya mungkin mampu memulainya dengan membiasakan hati satu sama lain, ternyata tidak semudah itu.

Namun, di waktu bersamaan, ada perasaan lain yang juga turut melingkupi. Hal yang bagi pria itu memang terbilang wajar dan tertangkap sempurna olehnya. Bahkan bila berada di posisinya, mungkin Vincente akan merasakan hal yang sama. Begitu tak berdaya dengan perasaan tidak enak hati dan menyesal. Sangat menyayangkan akan pilihan yang benar-benar dianggapnya sebagai suatu jalan menuju kebahagiaan.

“Aku tahu, Hei. Berapa kali pun kau pasti akan mendorongku agar aku mau mengerti. Tapi ... apa kau benar yakin dengan keputusanmu? Mengingat Hoseok yang pernah menekanmu sampai titik terdangkal.”

Ucapan datarnya seketika itu membuat memori yang seharusnya Heiran lupakan kembali hadir ke permukaan. Akan tetapi, kerendahan hatinya seolah mampu menghadirkan bahwa seseorang layak mendapatkan kesempatan kedua. Dan itu adalah hal yang sedang Heiran coba lakukan terhadap hubungan asmaranya.

“Aku yakin dia telah berubah Vin. Aku yakin Hoseok Oppa tidak akan melukaiku.”

“Lalu bagaimana bila pikiranmu salah? Berani bertaruh kau tidak akan menangisi dirinya lagi?”

Heiran seketika itu bergeming. Sepertinya sudah lama sekali dirinya tidak melihat Vincente seperti ini. Bahkan setelah dirinya meminta pengertian agar keduanya mengakhiri  hubungan intens yang baru dirajutnya. Ya, meski tidak bisa dibilang baru untuk jangka waktu dua tahun.

Seketika itu, dirinya tersenyum samar. Mengusap punggung tangan sahabatnya dengan lembut.

“Kali ini kau harus mempercayainya. Lagi pula, aku yakin Daddy akan mengawasinya mengingat dirinya menjadi BA bagi Brand kami.”

Binar mata milik Heiran memancarkan keyakinan. Meski entah, sejak hadirnya Hoseok di hari itu dan pengingkaran Heiran, Vincente jauh lebih memilih untuk menghindar. Walau pada akhirnya dirinya tidak bisa. Sama sekali tidak mampu melepaskan Heiran begitu saja. Namun, untuk kali ini saja, Vincente mencoba berkompromi dengan hatinya. Dan kembali berusaha menekankan eksistensi pada Heiran.

“I will, but not for the next time. Promise me, Heiran Aishley Sargas.”

Heiran hanya tersenyum. Kembali menjatuhkan fokus pada layar ponselnya.

Sedangkan di lain tempat masih dalam hari yang sama, sosok itu memilih menghadap jendela. Menjadikan kaca jendela berukuran besar itu sebagai tumpuan kedua sikunya di mana tangannya kala itu tengah menjambak rambutnya erat. Frustrasi akan apa yang hadir di hadapannya.

Masih memunggungi seseorang, nada bicaranya yang begitu tegang tanpa sedikit pun menahan amarah pun meluncur. Berusaha memelankan suaranya di mana batinnya masih bergemuruh.

“Hanya kesepakatan, kau ingat? Bahkan setelahnya aku sudah memintamu untuk menelan obat itu sebagai pencegahan di saat kau sendiri melarangku untuk melakukan pencegahan itu sendiri. Aku yakin kau sengaja. Kau sengaja menghadirkannya!”

“Bila aku mengatakan aku mencintaimu, apa kau percaya Hoseok-ah?”

Pria itu tanpa berbalik menolak. Menggelengkan kepalanya mengingkari.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang