Chapter 23 (1)

10 4 6
                                    

Kedua netra kecokelatannya yang terpaku sama sekali tiada teralih sedikit pun. Seolah ingar bingar di dalam ruang yang dipenuhi dengan lautan orang dengan profesi yang Heiran pikir tiada jauh berbeda sekaligus iringan kerasnya musik Dj yang memacu jantung sama sekali tidak mengusik dirinya.

Satu per satu, ibu jarinya tanpa sadar terus mengetuk pada layar ponsel hingga apa yang ditampilkan terus berganti dengan pemandangan yang lain. Walaupun hanya sebuah interaksi saling merespons dan terlihat wajar, tetap saja, apa yang ditampilkan di dalam sana sama sekali bukan pemandangan biasa bagi Heiran yang selalu menanamkan dalam dirinya agar ia mengerti.

Ingin sekali Heiran menghalau perasaan itu. Namun tetap saja, bukankah pria itu yang sejak awal telah menyatakan cinta padanya? Tapi bila begini, bisakah hatinya untuk tetap mengizinkan? Terlepas bagaimana hubungan pertemanan yang terjalin di antaranya.

Benar. Heiran kala itu sama sekali tidak bisa menahan hati kecilnya yang sepintas merasa cemburu. Begitu iri melihat para model wanita yang bisa saling berfoto dengan kekasihnya dengan kedekatan yang begitu intens. Merangkulkan salah satu tangannya tanpa beban pada model wanita yang tampak tidak keberatan dan tetap mengumbar senyum.

Dalam diamnya, Heiran berpikir? Apa yang Hoseok rasakan bila berada di posisi Heiran saat ini?

Miris. Bahkan bila mengingat hari ini pun yang terasa biasa padahal Heiran memiliki Hoseok, rasanya mengapa begitu hambar? Saat itu, Heiran hanya menarik seulas senyum getir yang terkesan dipaksakan dan masih terpaku pada layar ponselnya. Sembari mengembuskan napas berat guna melegakan rasa sesak yang bergelayut menyesaki dada. Memantik denyut nyeri yang mau seberusaha seperti apa pun, rasa itu tetap mendekap dirinya.

Dengan segera tanpa memikirkan apa pun, Heiran segera menekan tombol off untuk mematikan ponselnya. Memutuskan untuk terfokus dan menikmati pesta perayaan yang ia hadiri malam itu bersama Vincente. Begitu ponselnya nonaktif secara sempurna, Heiran pun memasukkannya dalam tas kecilnya. Bersamaan dengan kehadiran seorang pria yang mengajaknya datang kemari.

“Kau terlihat kesal. Ada apa, hm? Apa aku meninggalkanmu terlalu lama?”

Vincente yang baru kembali setelah bertemu dengan seseorang pun menanyai Heiran yang berdiri tak jauh dari panggung catwalk. Tepat di sisi yang tak jauh dari dinding ruangan. Memperhatikan setiap gerak-gerik Heiran yang sangat kentara bila merasa kesal dan juga marah.

Namun bukan Heiran namanya, bila langsung mengakuinya dengan mudah begitu saja. Tetap, Vincente hafal benar akan perangai Heiran yang selalu berusaha terlihat tampak baik-baik saja di segala kondisi. Seperti melihat dinding barrier reef yang selalu menghalau datangnya gemuruh ombak. Akan tetapi bila sedikit saja seseorang memberikannya pelukan, di situlah segalanya runtuh. Dan Vincente tidak ingin melihat hal itu, sehingga untuk kali ini, pria tersebut membiarkan Heiran dengan pilihannya sendiri. Memilih bertahan dengan sikap kukuhnya, atau menumpahkannya dan membiarkannya meluruh.
Dengan binar mata yang kali ini tidak seperti tadi yang terlihat berkabut, Heiran pun menegakkan pandangannya. Menjatuhkan atensi lurusnya pada Vincente.

“Tidak ada. Hanya mengawasimu yang sepertinya mereka tiada hentinya mengerubungimu.”

Gemerlap beberapa lampu sorot dan juga cahaya bak lampu diskotek yang dominan dengan warna gelap dan merah serta akan berbaur membentuk warna pink dan ungu atau bahkan kuning pucat yang saling berpadu di tengah kepulan kabut tipis buatan, kala itu sedikit pun tiada menyurutkan sifat defensif Heiran di mana wanita tersebut telah melipat kedua tangannya di depan dada. Benar-benar bersikap bahwa dirinya baik-baik saja.

Padahal Vincente yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Heiran dari sikapnya yang sudah seperti ini. Terlihat sekali ketegasan yang berusaha menutupi kerapuhan di dalam sana. Namun yang terlihat jelas adalah, kali ini Heiran menanggalkan pemikiran yang melibatkan hati di dalamnya. Hanya ada sorot mata yang lebih mengedepankan logika.

Pandangan sama yang pernah Vincente lihat di mana Heiran hanya akan melepaskan sisi yang bagaimanapun sanggup membuatnya tenggelam dalam kebahagiaan yang dipaksakan dan sifatnya sementara. Dan sungguh, Vincente benar-benar tidak menyukai sosok Heiran yang seperti ini. Meski sejujurnya, Vincente juga menanti-nanti, apa yang sebentar lagi hendak keluar dan yang akan Heiran tunjukan hingga menarik perhatian pria ini.

Saat itu, Vincente menunjukkan smirk-nya seraya mengusap bibir bawahnya yang tampak begitu seksi dengan pandangan yang seperti ini. Ingin menggoda. Namun, sadar diri dirinya sama sekali tidak akan menggoyahkan pendirian kukuh Heiran yang sudah seperti ini. Lalu kembali menanggapi pernyataan Heiran yang benar adanya.

Sedari tadi, Vincente tiada surut dikerumuni oleh para wanita cantik. Namun tetap saja, mau sebanyak apa pun wanita mendekatinya, hanya sosok Heiran yang sanggup mencuri perhatiannya.

“Tentu saja. Aku ini tampan, sehingga wajar bila kebanyakan dari mereka terus mengejar dan mengerubungiku. Walau hanya untuk sedikit interaksi seperti berfoto dan berbincang. Tapi yang begitu menarik perhatian, tetap saja dirimu. Mengapa kau sama sekali tidak tertarik padaku? Apa kau sama sekali tidak tertarik dengan seorang pria?”

Heiran seketika itu terkekeh. Terlalu bingung bagaimana harus menjawab kepercayaan diri Vincente yang teramat tinggi. Sama sekali tidak pernah surut sejak dulu hingga sekarang.

“Bukan tidak tertarik. Hanya saja aku begitu hafal dengan segala seluk beluk mengenai dirimu. Baik buruknya, kau tahu benar itu.”

“Lalu mengapa kau tidak pernah mau mencobanya denganku? Apa kau tidak bisa sekali saja melewati batas persahabatan kita? Aku bisa menjamin kebahagiaanmu.”

Terdengar meyakinkan dan juga serius. Vincente tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Bahkan dalam waktu itu, sebisa mungkin iris matanya tetap tersinkronisasi dengan Heiran. Namun, lain halnya dengan Heiran beserta pemikiran rasionalnya yang sama sekali tidak mau mengubah prinsip. Tidak ingin merusak apa pun yang telah terjalin di antara keduanya. Terlebih hingga sampai saat ini hubungan keduanya tampak berjalan mulus dan baik-baik saja. Memiliki kedekatan yang begitu intens, meski dipihak lain ada seseorang yang menginginkan untuk menjalin hubungan yang melebihi dari sekadar persahabatan.

Belum sempat Heiran menanggapi pernyataan tulus Vincente di mana pandangan keduanya masih saling terpaut intens dalam diamnya selama beberapa detik seolah ingin mendalami topik tersebut dengan lebih serius, seseorang yang tidak terduga telah datang menginterupsi di tengah-tengah keduanya. Menarik atensi Vincente dan Heiran sehingga mau tak mau, meski terlihat baik, Vincente merasa geram di dalam. Begitu jengkel akan gangguan kecil yang menyebalkan tersebut.

“Vin, akhirnya aku menemukanmu. Kau tidak lupa dengan acara inti dari pesta perayaanku ini, kan? Kuharap kau tidak lupa dengan permintaanku atau bahkan mencoba melarikan diri dengan ketampananmu itu.”

Wanita dalam balutan gaun panjangnya yang menjuntai hingga menutupi lutut serta bahunya yang tertutup dengan mantel bulu berwarna putih, tampak berdiri di sisi Vincente dengan sopan. Lalu hiasan rambutnya yang tampak tertata apik tanpa menyisakan sedikit pun surainya dan menyanggulnya ke atas, dengan sirkam yang dipenuhi permata sebagai pemanis, tampak menimbulkan kesan elegan begitu dipadu padankan dengan anting yang menjuntai hingga menyentuh bahu.

Sampai-sampai, Heiran yang tanpa sadar baru saja menilai dan memperhatikan orang yang baru datang tersebut sekilas, lagi-lagi Heiran hanya terdiam di tempatnya. Sangat memahami akan situasi yang memang sudah ia duga. Selain tempat tersebut dipenuhi dengan orang-orang yang seprofesi, akan tetapi memang, di mana ada Vincente, di situlah selalu ada kerumunan para wanita cantik.

Entah hanya untuk sekadar berfoto selfie  atau bahkan berbincang dan juga berkenalan agar malam itu bagi beberapa dari mereka merasa pestanya tidak teras membosankan, yang jelas, Heiran hanya tahu tidak ada seorang pun yang akan tahan atas pesona alami yang dipancar oleh Vincente. Bahkan diam pun, pria itu tetap akan menarik perhatian walau hanya untuk menambah satu lagi daftar kontak baru.

Saat itu Heiran tetap menjaga senyumnya seraya memperhatikan Vincente yang beberapa kali tampak malu di hadapan Heiran. Sesekali mencuri pandang, ingin memastikan bagaimana Heiran masih terus memperhatikan dirinya. Tak dapat dipungkiri, sebuah pujian selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Mungkin Vincente akan bersikap biasa saja bila di belakang Heiran. Tapi kali ini ... oh ayolah, Vincente sedang dipuji di depan Heiran.

Saat itu, Vincente dengan senyum khasnya pun menanggapi. Mengusap bagian tengkuknya yang tidak gatal dengan santai.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang