[Apa kau dan Viona sudah pulang?] suara dari seberang sana telah menyapa rungu Heiran dengan sebuah anggukan yang sama sekali tidak dilihat oleh lawan bicaranya.
Begitu memastikan Viona telah terlelap, Heiran pun beralih ke toilet. Ingin sedikit membasuh mukanya yang turut merasa kantuk. Tanpa melepaskan ponsel tersebut, Heiran pun menjawab.
“Hm. Aku baru saja menidurkannya. Apa Oppa akan menemuinya? Haruskah aku menginap?”
Di tempat lain, Hoseok yang terduduk di sebuah kamar hotel, masih bergeming. Hanya terfokus pada rokok yang diisapnya. Betapa ucapan Yoongi berhasil mengambil tempat di dalam pikirannya.
Hoseok membutuhkan ketenangan untuk saat ini, sehingga di sinilah dia, menyendiri, ingin merenung dan memastikan perasaannya sendiri. Bagaimana pun, Hoseok mengakui bahwa dirinya begitu mencintai Vivian. Masih merasakan sakit ketika mengetahui bahwa yang dia cintai adalah milik orang lain. Bahkan bagaimana hubungan antara Yoongi dan Vivian telah sejauh itu, Hoseok masih menolak akan kebenaran hal tersebut. Sama sekali tidak ingin meyakininya walau kenyataan terus memukul dirinya dan memang demikian adanya.
Sekelebat masalah terus menekan ke dalam kepalanya. Lalu bagaimana dengan Viona? Bahkan agar Yoongi tidak menanyakannya, Hoseok bahkan tidak membahas keberadaannya.
Dengan menarik napas dalam, Hoseok menimpali. [Aku sudah meminta Hyeri untuk menghubungi pengasuhnya. Kau boleh pulang, Heiran. Dan kau tidak perlu kembali setelahnya.]
Saat itu, Heiran yang sama sekali tidak memikirkan apa pun hanya mematuhinya. Lalu memberikan jawabannya pada Hoseok. Namun, belum sempat Heiran menjawab, Hoseok telah mengakhiri panggilan tersebut secara sepihak.
Sehingga Heiran, hanya memakluminya saja.
***
Dua hari kemudian, setelah kejadian, Hoseok tidak pernah menyangka akan hal yang terjadi di dalam hidupnya. Sampai-sampai di bawah kuasa kegelapan di mana bisikan akan kemarahan semakin tersulut, dirinya sendiri tiada bisa membedakan bagaimana perasaan seseorang yang faktanya terbilang sama dengan dirinya saat ini.
Sama sekali tidak berpikir dari dampak apa yang dia ucapkan. Padahal baik Hoseok mau pun sosok di depannya yang telah memucat, benar-benar merasakan hal yang sama. Rasa takut kehilangan di mana rasa tanggung jawab mengikat hati dari masing-masing keduanya.
Tidak menyangka, bahwa Viona akan menghilang begitu saja dari pengawasan Heiran yang baru saja menjemputnya dari sekolah. Tadinya Heiran ingin memuaskan Viona dengan membelikannya es krim karena gadis kecil itu memintanya. Namun, nahas, baru dua menit Heiran berpaling, gadis kecil itu sudah tidak terlihat di sekitarnya.
Semula Heiran berpikir, mungkin Viona tidak terlalu jauh berdiri darinya mengingat begitu Heiran sampai di mobil es krim di sudut taman, gadis kecil itu masih terlihat dari jangkauan penglihatannya. Dan sisanya, sungguh seketika itu kedua bahu Heiran merosot. Diikuti seluruh fungsi persendiannya yang melemas. Tidak tahu ke mana perginya gadis kecil nan cantik itu.
Dengan deru napas yang naik turun seiring dengan amarah yang telah menguasai Hoseok, pria itu sama sekali tidak memfilter apa yang dia ucapkan.
“Hanya menjaga seorang anak kecil saja kau tidak bisa! Apa yang ada di dalam pikiranmu hanya aku?! Sadar atau tidak, suka atau tidak, Viona juga bagian dari diriku! Kenapa baru memberitahuku begitu kau kehilangan Viona sudah berselang satu jam?!”
Tentu, Heiran memiliki alasan tersendiri untuk itu. Bahkan bagaimana kekasihnya akan bereaksi di depannya seperti ini, itu juga telah Heiran prediksi sebelumnya. Tepat di mana Heiran sekarang menjadi sasaran dari luapan emosi Hoseok, yang seketika itu wanita tersebut tak mampu menutupi bagaimana pancaran kedua netra kecokelatannya yang berkaca-kaca.
Benar-benar menyesal, meski dirinya sendiri juga berusaha mengendalikan dirinya yang gemetar ketakutan. Tidak hanya karena kehilangan Viona, tetapi Hoseok yang memandangnya dengan tatapan kecewa. Sampai-sampai sedikit saja Hoseok tiada memperhatikan perasaan Heiran yang sama bingungnya dengan Hoseok.
Dengan suara yang terdengar bergetar, Heiran berusaha menatap sorot mata yang telah memandangnya nanar. Begitu dingin dan turut meloloskan tulang-tulang ditubuhnya. Hatinya mencelus, sampai tidak ada kata yang terlintas sebagai pembelaan selain kata maaf.
“Maafkan aku Oppa. Aku yang lalai dalam menjaganya.”
Di balik masker yang menutup wajahnya, Hoseok sama sekali tiada memberi kelonggaran. Benar-benar kecewa pada Heiran yang membiarkan putri kecilnya yang sekarang entah di mana pasti merasa ketakutan. Sama takutnya dengan Hoseok yang begitu panik.
Hoseok menghela napas berat. Tidak ingin meneruskan perdebatan yang dia sendiri melihat bagaimana piasnya Heiran yang telah memandangnya dengan wajah sembab. Begitu muak akan visual yang ditatapnya yang hanya terus menerus mengucapkan kata maaf.
Hoseok yang frustrasi berusaha mengendalikan diri. Meski dirinya sama sekali tiada bisa memaafkan kelalaian Heiran yang satu ini.
Masih dengan nada bicara yang dingin, ucapan Hoseok semakin menggerus perasaan Heiran. Hingga Heiran sendiri nyaris merosot jika dia tidak segera menyadari di mana dirinya sekarang.
“Berhentilah mengucap maaf! Pulanglah! Dan kau tidak perlu mencarinya! Aku akan memberitahumu setelah menemukannya!”
Dengan segera, Hoseok yang tidak ingin membuang waktu pun berjalan cepat meninggalkan Heiran. Segera melangkahkan kakinya menuju mobil dan mempercepat pencarian.
Sejujurnya dalam hati sejak dirinya bertemu dengan Yoongi dan bagaimana status yang tersemat di antara wanita yang dicintainya dengan pria tersebut membuat dirinya sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Terjebak dalam kecemasan yang dirinya sendiri merasa khawatir.
Jika apa yang diucapkan Yoongi benar adanya di mana keduanya telah menikah, maka Viona adalah anak hasil di dalam pernikahan. Dan jika Yoongi membuktikan segalanya, maka Hoseok akan kehilangan Viona.
Berbeda dengan Heiran yang masih tenggelam dalam penyesalan, seketika itu hanya bisa berjongkok menutup wajahnya setelah melihat punggung kekasihnya menjauh. Benar-benar pikirannya kali ini begitu buntu.
Di dalam mobil di mana pikirannya yang kalut masih melanglang buana, Hoseok yang menjadikan tangan kirinya sebagai tumpuan, berusaha mencari cara bagaimana dirinya bisa menemukan Viona. Hingga sebuah suara notifikasi dalam ponselnya menarik perhatian.
Dengan ahli, Hoseok mengendalikan kemudi mobilnya dengan satu tangan dan tangan yang lain membuka ponsel. Begitu dirinya membuka layar sentuh benda pipih tersebut, Hoseok terkejut. Sebuah foto hasil pemeriksaan kecocokan DNA seketika itu membuatnya menepikan mobilnya.
Apa yang dia takutkan menjadi kenyataan. Tidak menyangka Yoongi bergerak dengan keputusan yang begitu cepat. Lalu denting berikutnya membuat Hoseok memukul setir kemudinya.
Mungkin semula aku tidak terlihat begitu tertarik dan tetap menyudutkanmu untuk mendapat kepastian. Tapi, terima kasih kau telah merawat putriku. Mari bertemu di persidangan untuk hak asuh Viona. Aku akan melakukan apa pun untuk melawanmu dan mengambil Viona putriku.
“Damn! Sialan kau Yoongi-ah! Jadi begini caramu berterima kasih?!”
Hoseok mengusap wajahnya kasar. Sama sekali tidak siap dengan situasi ini. Namun, di waktu bersamaan, di tengah rasa frustrasi yang mengacaukan pikirannya, paling tidak ada setitik rasa lega di sana. Viona telah ditemukan.
***
Ketegangan tak ayal terasa begitu nyata dalam ruang persegi panjang nan cukup luas tersebut. Empat pasang mata saling melempar pandang bergantian. Seolah melalui tatapan tersebut, pasangan suami istri itu tampak berkomunikasi. Tidak dapat mendefinisikan secara pasti bagaimana bentuk perasaan keduanya saat ini yang terbilang tidak stabil. Ingin sekali mengerti, mencoba memahami di tengah sekelumit masalah yang akan tetapi tidak bisa sesederhana itu. Kenyataannya, yang dulu berlalu dan terpendam, kini tiada diduga muncul ke permukaan setelah lima tahun berlalu.
Dengan menundukkan wajahnya, pria berkulit putih pucat itu tampak terdiam di sebuah ruang tamu yang dia tahu benar siapa pemilik rumah tersebut. Awalnya Yoongi tidak pernah berpikir untuk melakukan hal ini. Namun, dengan keyakinan atas dasar rasa tanggung jawab, pria itu merasa bahwa inilah sudah saatnya. Menjelaskan kembali kenangan masa lalu yang sadar atau tidak, Yoongi juga tahu bahwa hal yang dia lakukan akan kembali membuka luka lama yang menyesakkan.
Tidak peduli bagaimana kedua orang di depannya yang usianya sudah mencapai angka lima puluhan memandangnya. Namun, pendiriannya yang teguh, tetap memutuskan untuk mengakhiri hal ini. Mengakui segalanya, meski dia juga tahu mungkin dirinya sama sekali tidak bisa dimaafkan. Atau lebih tepatnya, sama sekali tidak pantas untuk dimaafkan.
Dengan kelopak mata yang bergetar, sosok yang merupakan ayah bagi Vivian, hanya bisa bergetar samar. Hingga suara lirih Yoongi kembali berkumandang.
“Aku sungguh minta maaf atas ketidakberdayaanku untuk mengakui segalanya. Dan aku juga tahu bahwa waktu yang kuambil untuk menyelesaikan masalah ini juga terlalu lama dan terbilang terlambat. Aku tidak tahu bagaimana dan dari mana harus memulainya untuk menjelaskan, karena ... hal ini benar-benar berat dan berdampak bagi sebagian banyak orang. Dan yang paling merasa sakit dan terluka adalah kalian, para orang tua Vivian Jung.”
Yoongi berbicara dengan pelan dan sopan. Berusaha menjelaskan walaupun sejujurnya hal ini dirasa terlalu sulit. Entah yang diajak bicara akan mau mengerti atau tidak mengenai situasi yang dialami Yoongi dan juga posisinya. Yang jelas, di antara salivanya yang seolah tercekat, di sini Yoongi berusaha menghadapi takdirnya. Takdir akan keinginan untuk diakui.
Paling tidak, dari sekian usaha yang bisa dia lakukan, hanya ini yang Yoongi harapkan dapat berjalan sesuai harapan. Tidak untuknya, melainkan bagi Viona.
Butuh waktu beberapa jam hingga Yoongi dan putrinya dapat mencapai tempat tersebut. Tentu setelah menjalani tes yang hanya untuk meyakinkan keraguannya secara akurat. Tidak menyangka, setelah banyak menimbang dalam keraguan, akhirnya Yoongi berhasil bertamu dalam rumah yang sekalipun belum pernah dia kunjungi.
Sehingga untuk memuluskan tujuannya, Yoongi dengan ramah memperkenalkan diri. Sebelum ucapannya berhasil membuat sambutan hangat tersebut berubah dengan tatapan penuh makna. Di mana meski sekilas, Yoongi bisa melihat kekecewaan, sikap menyayangkan dan juga kemelut kemarahan yang berusaha ditekan.
Dengan menarik napas panjang, setelah menata hatinya, Yoongi memberanikan diri menatap kedua orang tua Vivian. Di mana dalam situasi yang sama, mereka berusaha menahan diri agar tidak meledak. Ya, walaupun Yoongi juga tidak akan mencegah dan juga menghindar dari apa pun yang mungkin akan ditujukan padanya.
Yoongi dengan lemah, akhirnya meneruskan ucapannya. “Aku ... juga tidak akan menuntut maaf dari kalian. Karena bagaimana pun, keegoisanku telah melukainya dan secara tidak langsung juga melukai kalian.”
“Apa pria yang bertanggung jawab akan melakukan hal ini?”
Sebuah pertanyaan sederhana meluncur dari bibir Tuan Seong. Ingin sekali Yoongi mengiyakan jika dirinya bisa. Namun, tanpa sadar, ketika di dalam sana Yoongi mengulang kembali pertanyaan yang ditujukan padanya, di situlah, Yoongi tidak bisa berkutik.
Jika dirinya menjawab ‘iya’ maka setelahnya masih ada pertanyaan selanjutnya. Dan jika ‘tidak pun’ tetap saja, akan ada pernyataan lain yang menuntut di mana mau yang mana pun, Yoongi memang tidak pantas melakukan pembelaan. Sehingga yang hanya bisa Yoongi lakukan adalah diam. Tetap menyalahkan dirinya dengan menggelengkan kepalanya. Ya, jawaban terbijak seharusnya Yoongi tidak melakukan hal ini. Tapi tetap, pada akhirnya, keegoisan telah menghilangkan nyawa kekasihnya. Sehingga Yoongi hanya bisa tertunduk pasrah dan menunggu, apa lagi kiranya yang akan terjadi selanjutnya.
Hingga helaan napas Tuan Jung yang berat menampar perasaan Yoongi. Sama sekali tidak bisa menahan kekecewaan ayah Vivian.
Akhirnya, sang ayah pun menyuarakan perasaannya. “Aku tidak tahu bagaimana harus menerimamu yang kenyataannya, segalanya begitu sulit untuk diterima. Jika kau mencintai putriku, harusnya kau bisa memosisikan diri dan tahu bagaimana caranya mencintai seseorang. Aku tahu, harga diri sebagai seorang pria adalah pekerjaannya yang nantinya di masa depan, hal ini akan dia dedikasikan untuk keluarga yang dia bina. Jujur, saat mendengar ceritamu, aku merasa kecewa padamu. Bagaimana kau bisa bersikap seegois itu bila kalian sudah berani melakukan hubungan yang terbilang ikatan yang cukup serius. Seharusnya ... kalian bisa bertanggung jawab pada setiap kegiatan yang kalian lakukan. Aku tahu ... tidak bisa menyalahkanmu secara penuh karena diam-diam, hanya untuk menjaganya, kau telah mengikatnya. Walaupun, seharusnya kau juga perlu memberitahunya sehingga dia menganggap bahwa kau tidak pernah main-main dengan hubungan kalian. Tapi sebagai ayah, aku juga bersalah karena tidak bisa membimbingnya sehingga yang terjadi adalah dirinya yang tumbuh dengan keras kepala. Kau tahu benar, bagaimana kami begitu menentang profesinya karena takut, hal yang kami khawatirkan terjadi dan memang sedang kita alami. Tapi ... lima tahun bukankah terlalu lama untuk menyelesaikan ini? Kasus yang pada akhirnya kami tutup dengan berat hati. Betapa dengan malu dan tak tahu dirinya, kau membiarkan putrimu dirawat oleh seseorang yang hanya merupakan sahabat baik Vivian. Padahal, kau ini seorang ayah.”
“Aku tahu. Dan aku menyesal untuk itu. Karena itu, untuk menebus kesalahanku, bisakah Viona mendapat pengakuan dari kalian? Bagaimana pun dia adalah darah dagingku yang juga darah daging Vivian. Kalian boleh membenci dan melakukan apa pun padaku. Tapi gadis kecil ini ... tidakkah kalian merasa dia tetap begitu layak untuk mendapat tempat di hati kalian?”
“Cih, yang kau minta terlalu tinggi Tuan Heo.” Kali ini Nyonya Jung menukas tajam. Begitu memberikan pengakuan, lalu bagaimana dengan Viona? Akankah dia juga mendapat pengakuan di hadapan publik? Bukan hanya diakui di dalam keluarganya. Melainkan seluruh dunia di mana selama ini orang-orang terdekatnya berusaha menutupi keberadaannya.
“Lalu begitu mendapatkan pengakuan dari kami, apa kau bisa mendeklarasikannya dan mendapat pengakuan dari publik? Bukan hanya sebatas kau yang mengakuinya di balik layar, akan tetapi apa kau bisa menunjukkannya pada dunia setelah apa yang kau ambil dari hidup putriku?”
“Anda ingin aku mengakui hubunganku dengan Vivian dan hadirnya anak ini?” terang Yoongi memastikan. Bahwa dia tidak salah dengan pemikirannya atas maksud dari ibu Vivian. Dan kali ini, ayah Vivian pun membenarkan.
“Persis seperti itu. Tidak adil ‘kan, kau telah merusak nama seseorang yang sampai masalahnya benar-benar berdampak dalam kariernya. Bila Seong Hoseok bisa menjaga putrimu dan sempat menjadi sasaran atas ulahmu, apa kau bisa menunjukkan pada khalayak bahwa kau telah menikahi seorang wanita dan memiliki anak lalu meminta maaf atas orang yang sempat terlibat dalam kasus kematian Vivian? Bila kau membicarakan keadilan, ku rasa hal ini terdengar begitu adil.”
Saat itu Yoongi menjawab. Merasa tidak keberatan akan hal itu. “Aku akan mengakui Vivian dan putri kami. Setelahnya, aku akan meminta maaf pada sahabat Vivian. Tentu setelah aku memenang Viona dari Seong Hoseok. Apa dengan begitu kalian akan mengakui Viona sebagai cucu kalian?”
“Bila kau bisa membuktikan kata-katamu, maka kami akan berjanji. Bagaimana pun di dalam diri Viona juga mengalir darah Vivian. Sama sekali tidak adil jika memperlakukannya sebagai suatu kesalahan yang keberadaannya harus ditolak. Karena aku yakin, Vivian tidak ingin kehidupan Viona mengalami kesulitan.”
Saat itu Yoongi berpikir. Mulai menyusun rencana untuk apa yang harus dia lakukan untuk putrinya.
***
18 Desember 2022.
Tentu, apa yang memenuhi pada media jagat raya terkhusus negara yang dijuluki negeri seribu ginseng tersebut cukup mengejutkan beberapa pihak. Tak terkecuali Aeri saudara kandung Heo Yoongi yang tidak menyangka akan kabar yang diberitakan saat itu.
Sedikit menerka, alasan di balik sikap sang kakak yang tidak pernah pulang hampir satu setengah bulan lebih. Hanya bertukar kabar seperlu tanpa tahu, sang kakak akan melakukan hal ini.
Berbeda dengan Heo Yoongi dengan pemikiran pendeknya. Semula, pria tersebut ingin segera mengonfirmasi mengenai hubungannya dengan Vivian sekaligus putrinya setelah beberapa hari dari kunjungan tersebut. Akan tetapi, tetap, Yoongi tidak bisa mengabaikan pihak lain yang menaungi sekaligus membesarkan namanya.
Memang, di saat Yoongi menghadiri rapat dengan pihak agensi, terkhusus pimpinan yang selama ini memberinya tempat sekaligus ruang untuk berkarya di bawah naungan agensi tersebut, diskusi yang dilakukan tidak berjalan mulus. Tentu ada berbagai pertimbangan di mana Yoongi menyadari akan konsekuensinya. Bahkan mengenai nama baik dalam kariernya tak luput dalam perhitungan.
Yoongi yang kala itu terduduk pucat di dalam ketegangan yang terjadi pada akhirnya tidak memiliki pilihan. Bagaimana pun dia telah berjanji akan memberikan pengakuan bagi putri dan juga mendiang istrinya. Dan dia juga tahu, bahwa yang dia hadapi ini tidak akan mudah karena selama lima tahun bibirnya terkunci rapat dan sebelum itu, di saat kabar mengenai hubungannya bersama Vivian beredar, bahkan Yoongi sendiri yang secara tegas menampiknya. Sama sekali tidak mengakui akan hubungan tersebut yang sebenarnya tidak demikian.
Selama diskusi itu pula, Yoongi juga sudah memperkirakan akan reaksi berbagai pihak. Termasuk bagi dirinya sendiri. Tapi apa mau dikata, bila Yoongi tidak melakukan ini dan bukan karena semata-mata janjinya terhadap orang tua Vivian, tentu hal ini akan menjadi beban yang jauh lebih berat seumur hidupnya.
Teringat akan ucapan orang tua Vivian yang benar adanya mengenai ketidakadilan. Pasti, seandainya istrinya masih hidup pun, Vivian juga ingin dirinya diakui berikut dengan keberadaan putrinya.
Sehingga setelah sesi diskusi dan pertimbangan berakhir, melalui rekaman yang dibuat dirinya sendiri, Yoongi mengonfirmasi dan tentu hal ini telah disetujui oleh pihak agensi.
Dan yang terjadi setelahnya, seusai prediksinya. Ada yang mendukung dan ada yang mengkritiknya. Untuk sebagian penggemar, mereka memang menyayangkan sikap Yoongi terhadap kekasihnya. Akan tetapi di waktu bersamaan, mereka yang memiliki pemikiran terbuka juga masih mendukung Heo Yoongi. Menyatakan sikapnya sebagai penebusan dosa di masa lalu terbilang berani dan merupakan suatu langkah yang bertanggung jawab.
Mulai mengerti akan kabar masa lalu yang karena hal ini, berdampak pada karier seorang model. Tentu nama Seong Hoseok kembali mencuat dan turut menjadi perbincangan di masyarakat setelah apa yang selama ini terjadi.
Walaupun kebanyakan mereka hanya berspekulasi tanpa adanya penghakiman di sana. Mulai paham bahwa apa yang menimpa Seong Hoseok di masa lalu adalah pria tersebut berada di saat dan di tempat yang tidak tepat. Terjebak dalam kasus yang memang tidak benar adanya.
Dan tentu, bagi Heiran yang melihatnya, hal ini cukup mengejutkan. Ternyata gadis kecil yang dia jaga adalah putri dari kakak temannya sendiri. Begitu mendengar kabar tersebut dan nama kekasihnya kembali disebut, Heiran dengan segera kembali menghubungi kekasihnya. Meski dia tahu, usahanya tetap akan sama, sisa-sia.
Sudah satu bulan lebih, semenjak pertengkaran Hoseok dan Heiran bersamaan dengan tersebarnya rekaman Yoongi yang mengonfirmasi hubungannya mengenai Vivian dan Viona, selama itu pula bahkan sebelum kabar itu beredar, Heiran berusaha menghubungi Hoseok.
Sejak hilangnya Viona, Heiran yang merasa bersalah berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang kekasih. Walaupun setelah kehilangan Viona, Hoseok telah memberitahunya walau cuma sebatas Viona telah berada di tempat yang aman. Namun, tetap saja, tetap harus ada yang dijelaskan agar hubungan keduanya tidak memanas.
Termasuk hal yang Heiran takutkan seperti ini. Betapa hubungannya kini dirasa tiada menghangat lagi. Bahkan selama itu, Heiran yang berusaha meminta maaf dan menjelaskan kembali mengenai kelalaiannya hanya di abaikan.
Pertama Heiran mencoba bicara baik-baik dengan kekasihnya melalui sebuah pesan singkat. Namun, selama itu pula tidak ada jawaban. Pikiran kalut Heiran masih memosisikan dugaan positifnya bahwa kekasihnya mungkin sedang sibuk dengan pekerjaan. Akan tetapi, pemikiran positifnya sepertinya tidak bisa bertahan lebih lama.
Sehingga Heiran memutuskan untuk pergi menemui Hoseok secara langsung ke apartemennya. Namun, di saat hati seorang Heiran mulai berharap, di saat itu pula dia harus menelan kekecewaan. Harapannya untuk bicara secara langsung dengan sang kekasih ternyata hanya menjadi harapannya saja. Betapa begitu Heiran mengunjungi hunian prianya, Hoseok tidak ada di sana.
Bahkan pernah, semalaman Heiran menginap di apartemen yang kosong tersebut seharian dan tidak ada tanda-tanda Hoseok akan kembali. Sehingga, dalam ketakutan dan kecemasan yang dia rasakan, Heiran yang begitu bingung berusaha mencari cara.
Mungkin kekasihnya sedang bersembunyi di dalam apartemennya atau bahkan di apartemen yang hanya berbeda lantai di mana sang kekasih selama ini menyembunyikan Viona. Namun, harapan kecil itu tidak ada. Heiran sama sekali tidak bisa menemukan Hoseok di mana pun.
Menghubungi Hyeri selaku manajernya pun hasilnya sama. Hanya sapaan operator yang terus menjawab kegusaran Heiran yang berujung gelisah.
Apa itu artinya Hoseok telah mencampakkannya? Tidak tahu, Heiran masih berusaha berpikir bahwa itu tidak pernah terjadi.
Di saat Heiran terduduk terdiam di dalam apartemennya sendiri, wanita itu teringat akan setiap kejadian yang dia lihat mengenai kekasihnya dan tak terkecuali ucapan Vincente yang semakin menggoyahkan perasaannya. Mengingat satu bulan lebih tanpa kabar apa pun benar-benar membuat Heiran gelisah.
“Aku rasa, dia tidak mencintaimu.”
Apa mungkin itu benar? Tanpa sadar Heiran bertanya-tanya. Benarkah yang terjadi demikian?
Lalu Heiran pun beralih pada kamarnya dan duduk di sisi ranjang. Tepat di dekat sebuah laci yang berada di sisi ranjang Heiran.
Dengan segera, Heiran pun mengambil sebuah kunci berukuran kecil. Begitu penasaran akan kunci yang disimpan di dalam kotak P3K yang berada di ruang bilas kamar Viona. Betapa pita yang mengikat kunci tersebut berwarna pink dan di sana tertulis dua inisial, HV.
Lalu bayangan sebuah tempat kembali mengingatkan Heiran. Sehingga wanita itu pun bangkit berdiri dan mencoba melakukan perjalanan ke tempat yang sama seorang diri. Guna memastikan kebimbangannya yang terus membuat hatinya berdesir.
***
“Kau dari mana? Aku mencarimu. Bagaimana bisa kau mematikan ponselmu selama dua hari? Aku bahkan mencarimu di tempat bekerja. Dan yang kudengar dari atasanmu, kau sedang izin untuk mengurus suatu hal yang penting. Apa kau pergi dengan priamu itu, Seong Hoseok?”
Padahal baru saja Heiran membuka pintu apartemennya, suara ribut dari seseorang yang Heiran kenal dan juga dalam ekspresi cemas, telah menyambutnya dengan tatapan khawatir. Dalam kondisi lelah, Heiran yang pada akhirnya melangkah masuk ke dalam tidak langsung menanggapi.
Berpegang pada tarikan yang berasal dari kopernya, Heiran berjalan pelan sembari menarik barang bawaannya. Sebelum menjatuhkan bokongnya tepat di atas sofa empuk memasrahkan diri. Menutup kedua netranya seraya menarik napas panjang.
Sungguh, melakukan perjalanan seorang diri untuk memastikan sesuatu merupakan hal yang melelahkan.
Kala itu Heiran membuka matanya memandang langit-langit ruang tamu dengan pencahayaannya yang terang.
Lelah, sepertinya hal itu tidak hanya dirasakan oleh hatinya. Tetapi juga dengan hatinya. Entah bagaimana harus menyikapinya. Untuk saat ini, Heiran sama sekali tidak bisa memikirkan apa pun.
Hanya lelah yang menekan, itulah yang dua rasakan saat ini.
Lalu melirik ke arah Vincente yang menunggu dengan sabar menanti jawaban. Tetap memberikan ruang bagi Heiran untuk beristirahat sejenak. Dari wajah sahabatnya yang terlihat pucat, Vincente bisa mendefinisikan secara jelas apa yang dirasakan oleh Heiran. Hingga sang tuan rumah akhirnya pun memberi jawaban setelah beberapa saat.
Dengan tatapan letihnya, Heiran menjawab. “Vin ... kau benar-benar cerewet sekali. Sama saja dengan dirimu yang bisa tidak menanggapi panggilan dariku untuk beberapa hari. Jadi tidak perlu cemas,” tegasnya. Sama sekali tidak ingin terlalu dikhawatirkan secara berlebihan. Lagi pula Heiran sudah 23 tahun. Jadi dia bisa menjaga dirinya sendiri.
Vincente yang merasa perhatiannya tidak terlalu diindahkan pun memprotes. Meski tujuannya kemari bukan untuk berdebat dengan Heiran.
“Hei ... apa kau lihat bagaimana wajahmu saat ini? Kau pucat sekali dan terlihat lelah. Kau bisa mengatakan dirimu baik-baik saja. Tapi kondisimu, apa benar demikian?”
“Aku juga tidak bilang bahwa aku baik-baik saja. Tapi aku juga tidak merasa buruk. Hanya lelah. Aku perlu beristirahat.”
“Jika lelah harusnya kau tidak pergi ke mana-mana. Apa Seong Hoseok yang memaksa dan mengajakmu?”
Kali kedua Heiran mendengar nama itu. Entah mengapa saat mendengar nama kekasihnya terus disebut, perut Heiran serasa terpilin. Tidak mengerti akan sikap Hoseok yang begitu misterius baginya. Sama sekali tidak ada kabar atau pun penjelasan apa pun. Apa hal ini karena Viona dan kabar yang beredar itu.
Masih berusaha mengabaikan rasa lelah yang terus bergelayut, Heiran menutup matanya dengan salah satu lengannya. Sama sekali, untuk kali ini saja, dirinya tidak ingin mendengar nama itu disebut. Terlalu pening untuk dipikirkan.
“Vin ... aku tidak pergi bersamanya. Aku pergi seorang diri guna mencari ketenangan. Dunia terlalu berisik!” tandasnya.
Berharap dengan jawabannya, Vincente akan berhenti. Namun, Heiran tahu, Vincente bukan tipikal orang yang akan diam begitu saja setelah mendapatkan jawaban. Akan terus mencecar dengan pertanyaan lain hingga dirinya merasa terpuaskan. Jadi mau menjawab seperti apa pun, bila Vincente tidak merasa cukup, menyuruhnya diam adalah hal yang hal mustahil.
Lain halnya dengan Heiran yang ingin perdebatan ini cepat berakhir, Vincente yang mengerutkan dahi seolah menangkap sesuatu. Lalu duduk di sebelah Heiran.
“Dunia terlalu berisik? Apa ini mengenai berita yang tersebar di media? Seorang produser yang sepertinya aku pernah melihatnya berinteraksi denganmu. Dan juga ... secara khusus dia juga meminta maaf pada Seong Hoseok. Apa benar, Viona adalah anak yang Yoongi jelaskan dalam kalimat eksplisitnya? Namun dia hanya mengucap tegas nama Seong Hoseok dengan permintaan maaf dan terima kasih.”
Mendengar hal itu kembali diulang membuat Heiran pening. Lalu dengan muak dan enggan pula Heiran tetap menimpali. “Singkat cerita seperti itu. Tapi bila kau bertanya alasan-alasan di baliknya, aku tidak tahu. Meski dekat dengan Viona dan Hoseok Oppa adalah kekasihku, aku sama sekali tidak pernah mengulik kehidupan pribadinya. Termasuk rahasia yang terjadi di antara Yoongi dan Hoseok Oppa. Jadi kau juga hanya perlu bersikap sebatas apa yang Yoongi Oppa ungkapkan ke media. Setiap orang memiliki masalah dan masa lalu yang kelam Vin. Dan bukan bagian kita untuk menghakiminya.”
Setelah menjelaskan segalanya, Heiran yang merasa perutnya terus terpilin hingga menimbulkan rasa mual pun berlalu ke dapur. Memuntahkan seluruh isi perutnya yang terasa tidak mengenakan di dalam sana.
Saat itu Vincente mengamati. Apa sahabatnya sedang sakit?
“Kau sakit? Mau kuantar ke dokter?”
Tidak menjawab secara langsung, Heiran hanya melambaikan tangannya memberi isyarat merasa tidak perlu dengan saran tersebut. Sebelum dirinya berbalik seraya menyibakkan surainya ke belakang dan menjadikan pinggiran wastafel tersebut sebagai sandaran. Kembali menanggapi Vincente yang tiada habisnya.
“Tidak perlu,” ulangnya meyakinkan. “Hanya tidak terbiasa menyetir seorang diri. Sudah lama sekali tidak bepergian menggunakan mobil sendiri. Tidak bermaksud mengusirmu. Tapi lebih baik kau pulanglah. Aku ingin beristirahat.”
Vincente mengangguk lalu berjalan mendekati Heiran. “Mengenai pulang, tiga hari lagi aku akan berangkat ke London. Urusanku di sini sudah selesai. Dan aku ... apa kau mau pulang bersamaku?”
Entah untuk ke sekian kalinya, Heiran selalu mendengar ajakan yang tidak pernah luput dalam setiap kesempatan. Dan tetap dengan ramah, Heiran menolak. “Aku suka di sini Vin. Aku tidak ingin kembali. Sampai aku bisa berdamai dengan masa lalu ku. Mungkin ini keterlaluan. Tapi ... aku masih menyayangkan sikap Daddy terakhir kali. Jadi kumohon mengettilah.”
Dengan tersenyum pasrah, Vincente menyadari keputusan final Heiran. Hingga dirinya pun dengan santainya berujar. “Kalau begitu bisa antar aku ke bandara? Karena aku tidak tahu kapan bisa mengunjungimu lagi.”
Heiran tersenyum, tidak bisa menjanjikan apa pun. “Mari kita lihat nanti.”
Setelahnya, Vincente pun pergi meninggalkan Heiran. Namun, sebelum itu, seperti biasa, Vincente memberikan pelukan hangat bagi Heiran. Sedikit merasa kecewa dan menyayangkan, merasa, bahwa dirinya pasti akan merindukan hal ini. Lalu begitu Heiran merasa apartemennya telah kosong akan kehadiran Vincente, wanita tersebut pun beralih ke kamar.
Merebahkan diri di atas kasur empuknya sembari merenung. Beralih berbaring dalam posisi menyamping dan mengingat hal yang membuatnya mencelus. Teringat bagaimana Heiran menggunakan kunci itu untuk membuka sepasang gembok yang saling terkait. Menyimpannya dalam koper yang hanya bisa dia pandangi dari jarak itu.
Sedikit meraba, bahwa sedikit pun Hoseok tidak pernah membuang atau pun melupakan kenangan yang berkaitan dengan Vivian. Terlebih kertas yang sengaja dilaminating agar tulisannya tidak rusak. Dan dari sana, Heiran bisa melihat ketulusan Hoseok yang mencintai sosok yang raganya telah menghilang. Walaupun tidak mengacu nama, tapi inisial yang tertera, tetap membuat Heiran mengetahui siapa wanita yang dimaksud.
Dengan tersenyum getir, di dalam pejaman matanya, Heiran serasa mendengar suara Hoseok yang mendeklarasikan perasaannya. Namun, bukan untuk Heiran. Melainkan Vivian. Berikut dengan sekelebat memori yang seolah Hoseok ingin melihat visual Vivian dalam dirinya tanpa Heiran menyadari ini dari dulu.
Bersamaan dengan suara itu, Heiran memilih menanggalkan kesadarannya dan terlelap.
I love u V. Love u for my everlasting rest.Satu bulan gimna rasanya gak ktmu Hoseok Hei...
Gwenchana?
Wkwkwkwkow besok aku up last episode maybe🤣🤣🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...