Chapter 8

11 5 4
                                    

“Bagaimana ini?”

Heiran bertanya-tanya dalam hati seraya menendang kerikil yang berada di depannya. Setelah seharian bekerja seperti biasanya di mana dalam satu hari itu Aeri berhasil membuatnya tersenyum dan tersipu, kini dalam kondisi kesendirian, Heiran seolah lupa bahwa seharian ini ia berhasil mengukir kurva elok begitu Aeri tiada hentinya mencecar mengenai apa yang terjadi saat acara fansign kemarin.

Aeri lebih banyak bertanya mengenai bagaimana perasaan dan ekspresi Heiran begitu bertemu dengan Seong Hoseok. Sosok yang pada akhirnya berhasil ia temui secara langsung dan begitu nyata. Senang dan bahagia berbalut rasa haru tentu Heiran rasakan kala itu. Akan tetapi, bak hujan yang berusaha menghapus jejak di tengah cuaca yang terik, seketika itu senyuman yang sempat mengembang seharian ini perlahan sirna.

Begitu mengembuskan napas samar dengan semburat yang sarat akan kekhawatiran, Heiran memilih menghentikan langkahnya. Duduk di salah satu di antara beberapa tangga turunan yang menuju langsung ke arah sungai Han. Di mana kala itu Heiran hanya menujukan pandangan kosongnya pada pergerakan ombak kecil dalam sungai tersebut. Melihat pantulan lampu yang terefleksi di atas permukaan sungai yang mengalir tenang di antara ingar bingar suara laju kendaraan malam itu. Berbeda dengan suasana hatinya saat ini yang berkecamuk.

Benar, malam itu Heiran berusaha mengusir kegusarannya dengan mencoba untuk memahami situasinya. Sungguh, kehadiran pria tersebut kemarin malam begitu mengganggu ketenangannya. Sampai-sampai bayangan yang tidak pernah ia impikan, tiba-tiba saja malam itu bertamu dalam alam bawah sadarnya di kala terlelap.

Sesak, hanya memimpikannya saja Heiran merasa sulit bernapas. Memang Heiran mengakui bahwa sosok tersebut begitu baik. Namun, bila harus terjadi, sungguh Heiran sama sekali tidak siap. Merutuki kebodohannya yang berhasil dibutakan oleh sosok Seong Hoseok, akan tetapi di waktu bersamaan ia juga merasa puas. Seolah mengakui, inilah salah satu konsekuensi yang harus ia bayar demi bertemu sosok Seong Hoseok. Berinteraksi langsung hingga tanpa sadar, Heiran menengadahkan tangannya.

Netranya yang kecokelatan seolah kembali terhanyut dalam perasaan kala itu. Betapa genggaman Hoseok dalam tangannya masih terasa jelas dan hangat. Sedetik kemudian, Heiran tersenyum, seolah rasa sesalnya sedikit terhapus. Meski tidak benar-benar sanggup mengusir ketakutannya. Entah hari esok atau kapan, Heiran yakin mulai hari ini, ia hanya bisa menghitung mundur segala jalan hidupnya.

Hingga tiba-tiba saja, di tengah suasana yang hening dan juga begitu sepi mengingat hari ini adalah weekday, sehingga sungai Han tidak terlalu banyak pengunjung, kedua bola mata Heiran terfokus akan sosok seseorang yang tidak sengaja entah sudah berapa lama duduk di salah satu sudut anak tangga yang hanya berselisih dua tangga dari Heiran.

Dalam balutan jaket kulit hitamnya yang berpadu padan dengan jeans yang senada, sosok tersebut tampak menoleh. Menurunkan topi hitamnya. Namun, masih membiarkan masker tersebut tertutup rapat menutupi wajahnya.

Sontak Heiran memicingkan mata. Seolah ingin melihat lebih jelas dengan mempertajam penglihatannya. Bila dilihat dari visual tampak sampingnya, pemandangan tersebut begitu familier dalam ingatannya. Teringat akan siluet seseorang yang memang pernah Heiran temui, terkhusus punggungnya yang jauh teelihat jelas dari belakang sana.

Lama, Heiran memperhatikan dari jarak duduknya hingga sosok tersebut beralih bangkit berdiri. Dengan melakukan pergerakan singkat, Heiran yang tak luput memandang sosok tersebut seolah menangkap siapa figur yang tersembunyi di balik masker tersebut walau sedetik. Membuat Heiran bergeming di tempat dan refleks bola matanya seolah turut bergetar.

Saat sosok tersebut memutar tubuhnya dan beranjak dari tempatnya, seketika itu, buru-buru Heiran mengalihkan pandangannya seolah tidak peduli dan juga tidak melihat. Meski kedua bola matanya turut bergerak mengekori hingga sudut matanya. Lalu begitu sosok tersebut telah melewatinya, Heiran berusaha memaksa kepalanya agar segera menoleh. Menekuri visual tampak belakang yang kini perlahan mulai menjauh.

Tanpa sadar, seolah merasakan tarikan yang cukup kuat dari arus magnet di sekitarnya yang tidak terlihat, Heiran pun bangkit berdiri. Beranjak dari tempatnya dan turut membuntuti. Tentu, dalam langkahnya Heiran memberi jarak. Bersikap setenang dan senatural mungkin agar tidak menarik perhatian.

Hingga sosok tersebut pun berjalan ke arah area parkir dan masuk ke dalam mobil. Buru-buru Heiran pun bergegas masuk ke dalam mobilnya. Lebih memilih untuk mengikuti nalurinya yang ingin mengikuti mobil yang kini berhasil ia tangkap. Mengekori tepat di belakangnya dengan rasa penasaran.

Sungguh keberuntungan bisa bertemu dengannya malam ini.
Heiran kala itu bergumam. Benar-benar merasa beruntung di tengah rasa kekesalannya. Ok-lah kedatangan tamu tak diundang itu berhasil mengusik ketenangan Heiran. Namun, kebaikannya yang langsung memberikan fasilitas pada Heiran agar wanita tersebut memiliki akses lebih mudah, akhirnya Heiran mensyukuri akan apa yang terjadi hari ini. Walaupun tetap saja menyebalkan.

Tak lama kemudian, setelah melewati jalanan lurus dan sebuah belokan, tanpa sadar, mobil yang dikendarai Heiran pun turut berbelok. Mengikuti tepat di belakang mobil tersebut. Tentu Heiran tidak bersikap bodoh untuk kali ini, meski bisa saja ia langsung turun mengikuti. Akan tetapi di tengah gemuruh perasaannya yang bergejolak kegirangan, sisi rasionalnya masih menyadarkan dirinya dan menahannya agar ia tetap memberi privasi meski yang ia lakukan kali ini bisa juga dibilang kelewat batas.

Hingga begitu Heiran memberikan sedikit waktu, sosok tersebut pun mulai turun dari mobil. Heiran yang tak sabaran pun turut turun dan kembali mengikuti. Tentu dengan langkah terburu. Namun, sebisa mungkin terlihat wajar dan tetap tidak bersuara. Mengatur degup jantungnya yang kali ini seolah tak mau diajak berkompromi.

Begitu Heiran melewati batas antara lorong yang memisahkan basement dan juga pintu masuk, ia pun tiba di sebuah lobi. Baru menyadari bahwa apartemen yang menjadi hunian sosok tersebut terletak di sebuah kawasan elite yang tak jauh dari sungai Han.

Betapa untuk sejenak, Heiran lupa akan tujuannya datang kemari begitu melihat interior ruang lobi utama yang tampak mewah tersebut. Membuat Heiran mendongak tanpa sadar mengagumi setiap desain ruang tersebut yang tertata begitu klasik. Langit-langitnya dibuat seolah membentuk sebuah kubah di mana terdapat corak berbentuk awan dengan dewa dan dewi yang tampak menikmati suasana surga. Warna keemasan yang berpadan dengan warna putih tampak mengundang perasaan yang sentimental.

Hingga tanpa sadar, seseorang yang mengamati gelagat Heiran yang tampak bingung meski sesungguhnya wanita tersebut hanya sedang terhanyut dalam rasa kagum akan air mancur yang berada di tengah ruang tersebut pun akhirnya menyadarkan Heiran dari lamunannya.

Salah seorang petugas mengenakan jas yang begitu rapi dengan kedua tangannya yang terbungkus sarung tangan pun menyapa Heiran malam itu. “Bisa saya bantu Nona? Kalau boleh tahu, Anda ada keperluan apa?” tanyanya dengan sopan yang seketika itu Heiran mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali tampak kikuk.

“Em. Anu ... aku mencari orang ... ah tidak. Maksudku, bisa kau beri tahu aku di mana pusat layanan yang mengurus kepemilikan apartemen ini?” Heiran kala itu segera meralat begitu menyadari orang yang ia ikuti telah lenyap dari pandangannya. Dalam hati merutuki kesalahannya sendiri yang fokusnya begitu mudah teralihkan.

“Maksud Anda, Anda ingin membeli salah satu unit di dalam gedung apartemen ini?”

Dengan segera, Heiran yang melebarkan bola matanya tampak mengangguk. Tidak berpikir panjang akan ulahnya sendiri.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang