Hai...
Aku dateng pagi...
Thanks banget buat kalian yang mo mampir.
Hari ini aku lagi ngrasa senang...
Kuharap kalian juga.
Stay health yah...Vote n comment ke berapa kali ini?
Enjoy reading yag😉😉🌻🌻🌻
Entah sudah beberapa hari atau bahkan telah berganti minggu, Heiran tidak ingat. Semenjak ia bertemu Vincente dan berhasil memperoleh dana untuk menyelenggarakan kegiatan Charity atas nama Seong Hoseok, kali ini Heiran berharap bahwa usahanya ini akan mendapat perhatian dari sang model. Entah ternotice dalam bentuk apa pun dan entah kapan terjadinya itu. Yang jelas, Heiran hanya tahu, perasaan tulusnya akan tetap tersampaikan. Walau hanya dengan silence read oleh sang idola.
Meski bisa saja sejak dulu ia melakukannya tanpa menunggu hingga hari ini, akan tetapi ia tidak ingin bersikap terlalu mencolok yang berpotensi menarik perhatian ayahnya agar segera menemukannya.
Beruntung, Vincente tidak segera menyeretnya untuk ikut dan kembali ke keluarganya, sehingga ia masih memiliki kelonggaran waktu untuk mengagumi sosok yang sedang ia coba rahasiakan dari sahabat baiknya itu. Ya, walaupun Heiran mengakui sikapnya kekanakan dan keterlaluan. Tapi, mau bagaimana lagi. Kali ini pesona seorang Seong Hoseok berhasil memperdaya dirinya. Melakukan hal apa pun yang menurutnya di luar nalar. Namun, membuahkan hasil yang membahagiakan.
Berharap, Hoseok akan segera menangkap kegiatannya yang kini telah ia posting dalam akun pribadinya yaitu fanstagram. Sebuah kegiatan amal di mana dari acara tersebut, posting-an yang Heiran muat telah mendapatkan beberapa sambutan hangat.Mulai dari jumlah like yang menurut Heiran untuk pertama kalinya ini memecahkan rekor dari biasanya dan juga beberapa komentar yang positif. Tanpa sadar, kegiatan tersebut berhasil membuat perasaan Heiran menghangat. Ternyata seperti itu rasanya bisa membahagiakan orang lain dengan berbagi kebaikan. Ada perasaan lega dan juga ringan kala membaca respons yang begitu hangat tersebut.
Setelahnya, hari itu, Heiran yang telah memiliki akses masuk untuk berkunjung ke apartemen Vincente, pun memanfaatkan kesempatannya dengan baik. Berharap, di saat ia melewati lobi, ada kemungkinan ia bertemu dengan sosok itu lagi. Meski sampai hari ini pun usahanya terbilang nihil. Sehingga rutinitas berkunjung ke dalam kediaman Vincente sekarang seolah menjadi hal yang biasa bagi dirinya. Termasuk Vincente yang senang hati menyambut Heiran kala itu di dalam apartemennya.
“Harusnya kau tidak perlu kemari. Biar aku saja yang datang mengunjungimu.” Vincente yang membukakan pintu apartemennya pun membiarkan Heiran masuk. Memberikan keleluasaan bagi Heiran saat bertandang ke kediamannya.
Begitu Heiran berada di dalam ruang tamu Vincente, wanita tersebut melepas mantelnya. Udara musim dingin hari ini terasa sedikit menusuk, padahal Heiran telah mengenakan mantel yang cukup tebal. Sedikit menaikkan suhu ruangan begitu ia mendapatkan remote kendali pengatur suhu ruangan tersebut.
Seraya menanggapi Vincente yang akhirnya turut menyusulnya untuk duduk di ruang tamu.
“Anggap saja aku membutuhkan suasana baru. Eoh, apa hari ini kau tidak memiliki kerjaan?”
“Seharusnya ada,” ucap Vincente seraya menyilangkan kedua kakinya. Bersikap biasa dan sama sekali tidak terusik akan kegiatan Heiran yang berusaha menaikkan suhunya. “Tapi entah mengapa, ada sedikit perubahan jadwal dari yang telah diatur sebelumnya. Kudengar, fotografer terbaik yang akan bekerja hari ini yang akan melakukan sesi pemotretan tiba-tiba mendapatkan panggilan darurat yang sama sekali tidak bisa ia tolak.”
Lalu Vincente mengedikkan kedua bahunya. “Entahlah. Mungkin keperluan keluarga bila terdengar semendesak itu. Lagi pula, entah aku harus bersyukur atau bagaimana. Paling tidak dengan begini, kau juga tidak rugi kan datang berkunjung karena ada tuan rumah.”
Heiran mengangguk. “Mungkin bisa saja begitu. Anggap saja kau membutuhkan waktu istirahat.”
“Lalu ada keperluan apa kau datang kemari? Sejak tahu di mana hunianku, kau jadi sering sekali datang berkunjung. Ada apa? Apa kau begitu rindu padaku?” tanyanya sembari mengedipkan sebelah matanya menggoda.
Namun, sayang sekali hal tersebut tidak berhasil bagi Heiran. “Haha,” tawanya remeh seakan dibuat-buat. Heiran dengan santainya menimpali. “Kau terlalu percaya diri. Seperti yang aku bilang, bosan. Jadi aku membutuhkan suasana baru selain apartemenku.”
“Kalau mau seperti itu tidak harus berkeliaran di dalam gedung apartemenku, kan? Kau bisa menghabiskan waktu dengan temanmu yang, ah ... siapa namanya?” Vincente menunjuk Heiran dengan jari telunjuknya, mencoba mengingat, mencari bantuan. “Si Ae, Ae ... ah Aeri. Gadis yang bekerja denganmu itu. Biasanya wanita suka sekali kan berjalan-jalan menghabiskan uang dengan perbincangan antara wanita yang kadang membuatku risi sebagai laki-laki.”
“Memang apa yang membuatmu risi mengenai kaum seperti kami?”
“Maksudku bukan kau. Tapi sebagian banyak dari mereka. Yah, sejak kau tidak ada, aku sering menguping mereka yang saling berbincang di sebuah kafe hanya untuk berkeluh kesah memperbincangkan pacar-pacar mereka. Bahkan mereka tampak berusaha untuk menarik perhatian lebih dari prianya. Padahal bila itu aku, sepertinya mereka tidak perlu berusaha sampai seperti itu.”
“Dari cara bicaramu, aku justru mempertanyakanmu. Memang dalam sebuah hubungan, bagaimana kau menilainya bila kami para wanita tidak berusaha menarik perhatian pasangannya?” Heiran yang semenjak tadi mendengar ocehan Vincente hanya mengerutkan dahi. Memang pria ini selalu memiliki cara berpikirnya sendiri yang terkesan unik. Sampai-sampai terkadang, Heiran sulit menjangkau dan mengimbanginya.
“Heiran, selama pria itu menyukaimu, dia tidak akan membuat wanitanya berusaha untuk mencari perhatian terhadapnya. Yang ada, sang pria ingin perasaannya diketahui secara baik oleh pasangannya dengan kami yang memberi perhatian. Apa pun, bagiku setiap dari wanita pasti memiliki daya tariknya sendiri. Ya, meski dari segi bodi, kadang aku masih berpikir menilaimu. Bagaimana aku bisa mengenalmu hingga kita menjadi sahabat.”
“Berengsek kau!” Tidak tanggung-tanggung, Heiran melempari Vincente dengan bantalan sofa yang berada di dekatnya. Begitu kesal bila Vincente menyinggung proporsional tubuhnya yang memang, Heiran mengakui bentuk tubuhnya sudah ideal tanpa harus melakukan operasi plastik yang selama ini di elu-elukan di dalam negara tersebut. “Mulutmu terkadang memang perlu disekolahkan, ya!”
“Dari pada itu, aku justru bertanya-tanya dengan perubahan sikapmu. Lama tidak bertemu, justru aku melihat sikapmu yang kini begitu agresif. Ada apa? Apa ada seseorang yang menarik perhatianmu?”
Meski di dalam sana sejujurnya Heiran merasa gugup. Namun, dengan tenang wanita tersebut tetap menanggapi. Bersikap sesantai mungkin walaupun pertanyaan tersebut sempat membuatnya kalang kabut. Betapa ucapan Vincente berhasil membuatnya kalah telak dalam posisinya yang seperti tersedut.
“Tidak ada. Itu hanya perasaanmu saja.”
Seketika itu Vincente bergeming di tempatnya. Meski bola matanya sama sekali tidak bisa menganggap pernyataan Heiran begitu saja. Sehingga untuk tetap membuat Heiran nyaman, ia memilih diam hingga Heiran yang bicara sendiri.
“Lalu, Vin. Terlepas dari topik yang tadi. Apa selama aku pergi, kau tidak mencoba untuk memulai hubungan dengan orang lain? Maksudku membuka pertemanan yang lain.”
“Dari pada melakukan hal yang tidak penting, selama ini aku hanya terfokus pada karierku dan juga ....” kali ini Vincente memandang Heiran serius seolah hendak ingin menerkamnya. Namun, sikap Heiran yang seperti ini, sungguh membuatnya tak mampu untuk berpikir, memahami Heiran yang benar-benar telah berubah di matanya. Dengan mengesampingkan hal tersebut, ia berujar pada akhirnya. “Seseorang. Jadi membuka pertemanan baru pun, aku juga pemilih.”
Tidak sadar, sedari tadi Vincente tampak mengamati gerak gerik Heiran yang tampak tidak fokus terhadap dirinya. Sedangkan Heiran sendiri tanpa menyadari bahwa Vincente masih menatapnya, Heiran tampak mengalihkan fokusnya. Tidak peduli akan jawaban sahabatnya yang begitu jujur tersebut. Walaupun raganya berada di sini. Namun, jiwanya semenjak tadi masih berpikir akan hal yang lain.
Haruskah ia menanyakan pada Vincente mengenai apakah ia mengenal Seong Hoseok? Mengingat keduanya memiliki profesi yang sama. Termasuk bila ingatan Heiran akan hari itu benar adanya, maka jalan untuk mengetahui di mana lebih tepatnya tempat tinggal sosok yang ia ikuti waktu itu semakin terbuka lebar.
Hingga suara deheman Vincente menyadarkan Heiran dari lamunannya sendiri yang masih tampak menebak ragu. “Ehem. Kau tampak tidak fokus. Apa kau memiliki masalah?”
Seketika itu Heiran mengibaskan satu tangannya tepat di depan wajahnya, menyangkal. Diiringi dengan senyum yang tampak aneh. “Ti-tidak. Hanya saja ... aku penasaran, mengapa dari sekian banyak tempat, kau memilih tempat ini sebagai hunian.”
Masih tampak mengawasi, pria tersebut pun menjawab. “Keamanan. Dari segi keamanan privasi, tempat ini kudengar jauh direkomendasikan. Selain tingkat keamanannya yang begitu baik, dari tata letak dan juga ruangan dalam setiap hunian, tempat ini menurutku sangat pas untukku yang membutuhkan privasi lebih. Terlebih, di gedung ini juga banyak ditinggali oleh beberapa artis terkenal asal Korea Selatan. Jadi kupikir, sekalian saja. Bergabung dengan mereka yang sama-sama mengalami kesulitan bila berada di ranah publik.”
Itu artinya, memang ada kemungkinan pria itu tinggal di salah satu lantai gedung ini. Batin Heiran seketika itu. Hendak membuka bibirnya. Namun, berakhir urung. Memilih mencari dan memastikan sendiri akan apa yang ia lihat. Berlandaskan informasi dari sahabatnya yang kini sedikit mengikis keraguan dari asumsinya yang semula berpikir bahwa ini hanyalah kebetulan belaka.
Selama beberapa jam, keduanya hanya menghabiskan waktu untuk berbincang. Sesekali Heiran hanya mempertanyakan hal-hal kecil yang tidak terlalu penting. Seperti beberapa jenis perabotan yang berada di dalam hunian tersebut di mana Vincente tidak benar-benar mengisi huniannya dengan barang-barang estetik yang berfungsi sebagai hiasan sebagaimana huniannya yang berada di London.
Dengan jujur, Ia mengaku bahwa beberapa perabotan yang Heiran lihat seperti guci dengan corak rasi bintang berlatar belakang langit antariksa yang berada di sudut ruang tamu dan juga tanaman kaktus yang berfungsi sebagai pemanis telah berada di sana semenjak ia datang.
Lebih tepatnya, mungkin perabotan tersebut juga merupakan salah satu fasilitas yang telah ada dan diberikan oleh si pemilik, mengingat Vincente hanya menyewa hunian tersebut dari salah satu kenalan manajernya. Entahlah, Vincenten bahkan hingga detik ini masih memikirkan hendak membeli satu unit apartemen sebagai hunian ataukah hanya menyewa. Mengingat masa kerjanya yang berada di sini tidak menghabiskan waktu yang lama.
Tiada terasa, waktu pun bergulir begitu cepat hingga tanpa keduanya sadsri, sinar mentari yang sempat Heiran nikmati sebelum memasuki gedung ini, kini telah berganti malam. Diisi oleh rembulan yang cahayanya telah berpendar di antara kegelapan. Selesai menghabiskan waktu bersama dalam makan malam yang tenang tanpa menyinggung alasan Heiran melarikan diri, kini pun Vincente memutuskan untuk mengantar Heiran pulang.
“Biar aku antar kau pulang,” tawar Vincente yang merasa begitu bertanggung jawab atas kehadiran Heiran. Namun, dengan segera, Heiran dengan senyum ramahnya menolak secara sopan. Bahkan Vincente sama sekali tidak merasa tersinggung.
“Terima kasih atas perhatian dan tawaranmu. Tapi saat datang kemari, aku membawa mobil. Jadi sepertinya kau tidak perlu merepotkan diri untuk itu Vin.”
Vincente mengulum bibirnya ke dalam sesaat, sebelum berakhir dengan senyum pasrah tanpa bisa memaksa Heiran untuk pulang bersamanya. “Baiklah. Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain. Kalau begitu, aku akan mengantarmu sampai ke mobilmu.”
“Itu terdengar lebih bijaksana.”
Akhirnya Vincente pun membukakan pintu apartemennya dan mempersilakan Heiran untuk berjalan lebih dulu. Keluar dari hunian dan mulai meninggalkan kediaman Vincente. Saat keduanya saling berjalan bersisian, Vincente sedikit pun tiada membiarkan keheningan turut hadir menyelimuti keduanya dalam senyap.
Justru tetap menghadirkan konversasi dalam langkah tersebut. “Lalu selain bekerja di kafe, apa kau masih mengerjakan kebiasaanmu itu?”
Bagaimana pun, baik Vincente maupun Heiran bukanlah orang asing yang baru saling bertemu ataupun mengenal kemarin sore. Jadi sudah merupakan suatu hal yang wajar bila Vincente mengetahui kesukaan ataupun kebiasaan Heiran selama ini yang begitu ia hafal benar dalam ingatan.
Saat di dalam elevator, Heiran masih bergeming. Menekurkan kepalanya ke arah lantai yang ia pijaki sebelum menatap bayangan depan Vincente yang terpantul pada dinding elevator yang juga memiliki fungsi sebagai cermin. Di mana kali ini, Heiran yang berdiri di belakang pria tersebut pun tampak berpikir.
Sepertinya sudah lama sekali semenjak ia lulus dari studinya yang berkecimpung di dunia Fashion dan desainer, Heiran begitu jarang menggenggam pensilnya untuk merancang pakaian. Mendesain busana yang bayangannya selalu ia visualkan dalam bentuk gambar. Masih berharap ia bisa merancang gaunnya sendiri serta membangun brandnya miliknya sendiri. Ya, meski sesekali, Heiran baru bisa menggoreskan pensilnya lagi dalam sketsa.
Kala itu Heiran pun menarik napas samar, tampak tak yakin. “Entahlah. Rasa-rasanya, sejak kejadian itu, aku seperti kehilangan minat dalam dunia Fashion. Bukan karena kau, melainkan ... sepertinya angin telah membelokkan arah mata angin.”
Tanpa sadar, ucapan Heiran semakin meyakinkan asumsi Vincente yang masih tampak abu-abu. Sebelum pada akhirnya pria tersebut menimpali. “Sepertinya bekerja di sebuah kafe jauh lebih menyenangkan ya, Heiran? Sampai-sampai, kau melupakan impianmu.”
“Bukan lupa. Hanya, beristirahat sejenak sambil mengamati. Meski aku tidak menggambar, aku selalu mengamati perkembangan mode pakaian yang saat ini sangat berkembang. Bahkan aku masih memperhatikanmu yang berjalan di atas catwalk dengan memperagakan beberapa busana dalam siaran langsung, London Fashion Week. Tapi dengan keberadaan dirimu di sini, bukankah kau meninggalkan London?”
“Lebih tepatnya melebarkan sayap. Perancang Brand yang kini menggunakan aku sebagai modelnya sedang menjalin kerja sama dengan perancang lain guna semakin memperkenalkan ciri khas Brand yang menaungiku. Semacam memodifikasi dan improvisasi guna semakin menarik perhatian para investor dan juga peminat mode. Jadi, jangan salah sangka. Tidak ada kata hengkang dari Brand kepunyaan London. Ya, meski kau tahu benar ke mana impianku yang sebenarnya. Menjadi model profesional yang suatu hari nanti bisa memperagakan busana dalam negara yang menjadi sebutan kota Mode itu sendiri.”
Heiran tersenyum kecil saat mendengarnya. Impian yang jujur juga turut menempati ruang dalam hatinya. Entah, kapan akan terealisasi, Heiran masih memikirkannya. Tak lama kemudian, lift yang Heiran tumpangi pun tiba di lantai dasar lobi yang merupakan pintu masuk utama sebelum memasuki gedung utama dan berpindah lantai. Vincente tiada hentinya berbicara dalam kesempatan yang ada. Menjawab Heiran sekaligus memberikan penjelasan akan keberadaannya di sini.
Tidak tahu sekaligus tidak sadar, di saat Heiran terdiam mendengarkan Vincente yang berjalan tepat di depannya, kehadiran seseorang yang berlawanan arah yang baru saja melewati dirinya sontak menarik perhatian Heiran. Saat itu, Heiran pun tak kuasa refleks menolehkan pandangannya pada sosok seseorang yang mengenakan jaket zipped bomber kulit berwarna hitam dengan kerah yang tampak seperti bulu berwarna pepermin.
Berjalan menuju lift dan hendak berpindah lantai. Entah apa yang Heiran pikirkan kala itu, di mana hati kecilnya tiba-tiba saja sama sekali tidak ingin kehilangan sosok tersebut, seketika Heiran pun berbalik arah. Berjalan kembali menuju elevator dan menyusul tepat di belakangnya. Sehingga begitu ia berhasil memasuki benda otomatis tersebut dan berdiri tepat di dalam satu elevator yang sama dengan sosok yang kini berada di belakangnya, Heiran pun mulai menarik napas pelan.
Tadinya Heiran sempat bagaimana caranya bernapas. Hingga saat ia merasa mulai berkunang-kunang, barulah dirinya berusaha menstabilkan degup jantungnya yang kini semakin berpacu. Tidak peduli akan Vincente yang mungkin saja akan mencarinya begitu menyadari eksistensinya telah menghilang.
Di dalam ruang yang luasnya terbatas tersebut, Heiran tiada hentinya mengerjapkan mata, gugup. Merasakan perubahan atmosfer di sekitarnya terasa panas dan dingin di waktu bersamaan. Di mana di dalam kesunyian tersebut, bagian belakang punggung Heiran tiba-tiba saja terasa panas. Tak ayal, di dalam diamnya, Heiran merasakan keringat dingin kini mulai menyusuri sepanjang tulang punggungnya yang masih tegak.
Bagaimana tidak? Di tempatnya ia berdiri, Heiran berusaha mati-matian mendoktrin dirinya agar tidak kehilangan kesadaran. Memanfaatkan udara yang sedikit pun volumenya tiada berkurang. Namun, bagi Heiran terasa menyusut, menipis. Sungguh, berada dalam jarak sedekat itu, tentu rasanya Heiran ingin menyapa, bahkan menjerit bila ia bisa mengeluarkan suaranya yang kini turut terkunci dan hanya bisa ia tahan.
Sesekali, dari sudut matanya, Heiran tampak mengawasi sosok yang berada di belakangnya melalui dinding elevator itu di mana paras sempurna sosok tersebut tampak bersembunyi di balik masker dengan konsentrasi yang tertuju penuh pada layar ponselnya.
Dalam hati Heiran bertanya-tanya, di saat seperti ini, siapakah sosok yang menarik perhatian pria tersebut? Seorang kekasihkah, atau bahkan hanya sebatas perihal pekerjaan? Entahlah, Heiran tidak bisa memprediksi dan memaksakan otaknya untuk berpikir walau hanya sekadar menebak. Meski di waktu bersamaan, sebenarnya Heiran tampak begitu penasaran.
Hingga tanpa sadar, di tengah keasyikan dirinya yang mengawasi, suara dentingan yang berasal dari elevator pun memecah keheningan. Seketika itu Heiran kembali menjatuhkan pandangan lurusnya pada pintu elevator yang perlahan terbuka. Kala itu Heiran yang tanpa sadar terpaku akan sosok tersebut pun, membiarkannya keluar lebih dulu sebelum pada akhirnya, sebelum pintu elevator tertutup, Heiran pun turut turun pada lantai yang sama dan memilih berbelok begitu melihat terdapat lorong lain yang mengarahkannya pada ujung yang lain. Walaupun, pada akhirnya, ia hanya mengambil dua langkah guna bersembunyi di balik dinding. Mengintip dari tempatnya berdiri dan mengawasi ke mana sosok tersebut pergi.
Dalam senyap, Heiran pun mulai mengendap-endap dan berhati-hati tak ingin menimbulkan suara. Kembali mengikuti pria tersebut, hingga tepat begitu pria itu berbelok melewati ujung lorong pertama, Heiran menemukan pria itu tampak menekan tombol guna memasukkan kode pintu masuk untuk akses ke dalam.
Tak butuh waktu lama bagi pria tersebut berhasil menekan kode akses masuknya. Begitu sosok tersebut mulai menghilang dari pintu masuk, Heiran pun beranjak dari tempatnya mengawasi seraya memelankan langkahnya. Membiarkan setiap langkahnya kini terdengar berbaur dalam lesap. Berjalan mendekat hingga ia tiba di depan pintu yang baru saja sepertinya dilewati oleh orang yang ia ikuti.
Betapa beruntungnya Heiran kala itu begitu mendapati sosok yang berada dalam penyamarannya yang kelewat sempurna walau hanya melalui matanya saja yang kini tampak melepas maskernya dari celah yang tercipta. Seolah membiarkan Heiran memiliki akses lebih mudah untuk menatap visual aslinya. Ya, walaupun hanya dalam pikiran Heiran saja yang berpikir seperti itu.
Heiran pun masih berdiri di tempatnya. Sebisa mungkin tidak ingin menarik perhatian atau bahkan menimbulkan suara. Berusaha menahan diri guna mencuri lihat meski sikapnya tentu tidak dibenarkan.
Dari balik celah pintu yang tercipta tanpa sengaja yang kini menjadi celah keberuntungan Heiran itu, wanita tersebut tampak mengawasi ke dalam. Betapa pandangan serius pria tersebut kini telah berganti dengan tatapan hangat dan senyum yang ceria yang tampak terfokus pada salah satu arah. Menunggu sesuatu yang begitu pria itu nantikan.
Heiran pun memutar bola matanya. Begitu penasaran ke mana sebenarnya fokus pria tersebut kini tertambat. Hingga tak lama berselang, Heiran seketika itu dibuat membeku di tempatnya. Bergeming, kala mendapati pria tersebut tampak meraih seorang anak kecil yang usianya kurang lebih mungkin lima tahun bila Heiran boleh memperkirakan yang kala itu tampak berlari menghambur pada pria tersebut. Diikuti dengan kecupan berikutnya yang kali ini oleh sang pria ditujukan pada seorang wanita yang usianya mungkin tidak terlalu jauh oleh sosok yang Heiran kagumi.
Beberapa detik kemudian, suara mungil dari gadis kecil itu semakin membuat Heiran terenyak. Nyaris merosot bila Heiran tidak menguasai kesadarannya kala itu.
“Daddy. Viona merindukan, Daddy. Kenapa Daddy lama sekali?”
Suara anak kecil itu terdengar merajuk manja. Mengerucutkan bibirnya hanya untuk menarik perhatian sang ayah. Tanpa sadar, Heiran yang membungkam bibirnya karena terkejut pun melangkahkan satu kakinya ke belakang. Begitu kentara di mana suara ketukan sepatu selop yang membentur lantai yang Heiran kenakan kala itu menarik perhatian sang tuan rumah yang seketika itu menoleh ke arahnya.
Dengan tegas, pria yang di dalam sana pun meneriaki Heiran. “Siapa di sana?!”
Heiran yang terkejut kaget pun terperanjat, segera menarik langkah. Meski berikutnya, rungunya yang tidak tuli mendengar secara jelas suara langkah kaki yang turut mengejarnya. Kedua kalinya, dengan geram, sosok yang masih berlari di belakangnya tersebut kembali meneriaki Heiran agar berhenti.
“Berhenti! Siapa kau yang berani mengikutiku?!”
Tanpa mengindahkan peringatan tersebut, Heiran tetap berusaha melarikan diri. Berlari secepat mungkin dan bergegas memasuki lift. Dengan kasar karena panik, Heiran sampai harus beberapa kali menekan tombol elevator agar segera menutup. Betapa waktu rasanya nyaris meringkus Heiran. Di tengah debaran jantung yang membuat kepalanya berdenyut pening, sosok tersebut kini mulai begitu dekat.
Sumpah demi apa pun, detak jantung Heiran kini semakin tiada terkendali. Di saat pintu elevator mulai bergerak menutup, sosok tersebut semakin mendekat. Tiada diduga, satu tangan dari pria tersebut yang menyela ke dalam agar pintu elevator tidak tertutup, berhasil menghentikan pergerakan pintu otomatis tersebut.
“Kau! Siapa kau yang berani mengikutiku, hah?!”
Bola mata Heiran semakin melebar. Meski bersyukur, hari itu Heiran juga mengenakan masker sehingga menutupi wajahnya. Tanpa pikir panjang di mana Heiran tetap berusaha membuat pintu itu tertutup, secara refleks dengan insting ingin melarikan dirinya, Heiran menginjak kaki pria tersebut dan mendorongnya menjauhi pintu lift. Hingga pintu tersebut pun berhasil menutup sempurna.
“Shit! Damn!” Pria tersebut mengaduh. Menyentuh kakinya yang sempat terinjak beberapa waktu lalu. Menahan nyeri di tengah amarah yang masih berkecamuk.
Dengan geram pria tersebut berusaha menekan tombol elevator tersebut dari sisi sebaliknya. Mengabaikan rasa sakitnya, berharap pintu itu masih mau terbuka. Namun, nahas, yang terjadi justru semakin membuatnya kesal. Wanita tersebut pun berhasil lolos. Sial! Baru saja kehadiran sosok tersebut berhasil membuatnya semakin terancam. Tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
“Berengsek! Tidak akan aku biarkan!” rutuknya memaki muak.
Di sisi lain, setelah beberapa menit berselang, begitu Heiran berhasil mencapai kembali lantai dasar, dengan bergegas, Heiran pun menarik dan mempercepat langkahnya. Di mana kala itu, dengan deru napas yang memburu, Heiran nyaris kehilangan detak jantungnya karena menabrak Vincente tanpa disengaja tepat di lorong pintu keluar menuju basemen.
“Aku mencarimu. Ke mana saja kau?”
Vincente meraih kedua lengan Heiran yang kini napasnya tampak tersengal naik turun dengan air muka yang pias. Walau hanya melalui sorot mata Heiran, tidak mengerti apa yang terjadi dengan wanitanya. Masih dengan kondisi napas Heiran yang tersengal, Vincente kembali mengajukan pertanyaan.
“Ada apa? Apa ada yang berbuat jahat padamu?” Vincente kemudian turut mengedarkan pandang. Melihat ke belakang Heiran dan sekitarnya yang tampak kosong.
Dengan yakin. Namun, dengan degup jantung yang tidak beraturan, seraya memegang dadanya, Heiran menggeleng. “Tidak. Aku harus pergi dari sini. Maaf.”
Tidak ada lagi kata yang bisa Heiran ucapkan. Dengan segera, Heiran pun bergegas memasuki mobilnya. Di mana Vincente masih mengekori. Betapa setiap pergerakan Heiran kini tampak tergesa.
“Heiran, kau tampak pucat. Biar aku antar saja bagaimana?”
Kali ini Vincente tampak khawatir. Terlebih perubahan ekspresi Heiran yang tampak seperti seseorang yang dikejar oleh hantu. Kala itu Heiran yang sudah terduduk dalam mobilnya hanya menggelengkan kepalanya. Menolak tawaran yang begitu baik tersebut. “Tidak. Aku ucapkan terima kasih atas waktumu.”
Heiran pun segera menyalakan mesin mobilnya. Menginjak pedal gasnya begitu mengubah persnelingnya dari keadaan normal menuju satu, lalu meninggalkan tempat tersebut. Meninggalkan Vincente yang kini tampak heran di tempatnya memandangi mobil Heoran yang perlahan pergi menjauh.
Di dalam perjalanan, Heiran tiba-tiba saja merasakan nyeri tepat di pusat dada. Masih terbayang akan apa yang ia lihat, hatinya pun tanpa sadar bertanya-tanya tanpa bisa ia cegah.
“Apa Hoseok Oppa telah berkeluarga?”
Dalam diamnya, bahkan Heiran seolah masih bisa mendengar suara gadis kecil tersebut. Gadis kecil yang menyuarakan bagaimana caranya memanggil Seong Hoseok dengan sebutan Daddy. Membuat Heiran terenyak kala itu di mana tiba-tiba saja perasaannya seolah turut lebur. Masih menampik hal tersebut, meski hatinya, Heiran mengakui kini terasa begitu sakit.
Walaupun Heiran memang tidak pernah mengklaim bahwa Hoseok miliknya. Namun, kejadian hari ini, sungguh tiada diduga, seketika itu membuat Heiran bergeming. Bahkan berpikir pun rasa-rasanya Heiran tidak mampu. Kala itu Heiran hanya membiarkan mobilnya melaju, tanpa peduli ke mana malam itu ia akan mengarahkan laju mobilnya.Tetiba ada yg terenyak, tapi bukan remahan biskuit👀👀👀👀👀
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Misterio / SuspensoSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...