Chapter 49

9 2 9
                                    

Setelah berpikir selama beberapa jam dan beristirahat sejenak, tepat di malam hari, betapa apa yang Heiran temukan benar-benar mengganggu pikiran. Sama sekali tidak bisa mengalihkannya seolah sifatnya hanya angin lalu, atau pun membiarkannya begitu saja.

Sekali lagi, untuk mendapatkan kepastian, Heiran mencoba peruntungan. Menjadikan bisikan lirih yang terus memprovokasi di lain sudut hatinya sebagai suatu tindakan. Dia tahu, mengandalkan ponsel untuk menghubungi Hoseok adalah hal yang percuma. Sama percumanya dengan mendatanginya secara langsung yang mau dicari berapa kali pun, Hoseok tidak pernah ada di sana. Entah ke mana perginya sosok tersebut dan apa alasannya mendiamkan Heiran seperti ini. Yang jelas, kerumitan tersebut benar-benar menjadi sulit.

Akan tetapi, pendirian Heiran tetap pada apa yang diyakininya walaupun hal tersebut sifatnya masih kemungkinan. Tetap mengandalkan harapan kecil itu, meski 99% nya, dalam hati batinnya terus berbisik, bahwa Hoseok pasti tidak ada di tempat.
Begitu menaiki lift guna menuju lantai di mana hunian Hoseok berada, wanita itu tetap melanjutkan langkah dan melewati lorong yang biasa dia lewati. Hingga tidak sengaja, pintu apartemen Hoseok yang masih terbuka membuat Heiran bergeming sejenak. Berpikir, siapakah gerangan yang berada di dalam.

Tentu, untuk memastikannya, Heiran yang sejujurnya terbalut dalam rasa membuncah tetap berusaha menahan diri dan memperhatikan langkahnya. Berjalan tidak terburu dan mengendap agar langkah kakinya tidak terdengar.

Ingin mencari tahu, sosok yang membuatnya begitu penasaran. Hingga jarak menuju ruang tamu, samar-samar Heiran bisa mendengar suara dua orang yang saling bicara. Lalu memutuskan untuk bersembunyi di balik dinding dan memfokuskan rungunya. Berusaha mengenali siapakah orang-orang tersebut. Hingga suara samar itu pun, kini menjadi jelas.

“Aku sudah mengikuti saranmu. Mendekatinya, lalu menjadikannya kekasih. Semata-mata hanya untuk memanfaatkannya agar aku bisa menjangkau Yoongi. Aku tahu ini pasti akan sangat sulit. Tapi, aku tidak harus bertanggung jawab akan hal ini. Bagaimana pun Heiran harus bisa bertanggung jawab dengan perasaannya sendiri. Karena bukan aku yang meminta hatinya agar memiliki perasaan terhadapku. Dirinya sendirilah yang membiarkan perasaannya sendiri sebagai penggemar terus berkembang dan begitu mencintaiku. Jadi, sudah seharusnya bila Heiran bisa menanggung segalanya sendiri. Menerima kenyataan atas apa yang tak pernah aku minta darinya.”

Hening. Kenapa saat mendengarnya, Heiran merasakan ribuan kerikil menghantam kepalanya. Menimbulkan denyut perih dan ngilu. Sungguh, mendengar hal itu tanpa sadar, Heiran yang bersembunyi di balik dinding rasanya nyaris merosot. Begitu terkejut akan apa yang tidak sengaja dia dengar. Dengan perasaan hati yang mencelus, seolah konversasi  selanjutnya hanya timbul tenggelam, Heiran yang pikirannya kini hanya dipenuhi oleh kegelapan pun membeku bergeming. Sama sekali tidak menangkap kelanjutan dari ucapan pria yang masih mengutarakan isi hatinya dengan emosional di mana di dalam sana segalanya begitu kacau.

Segalanya lesap. Betapa dalam sekejap, langit-langit di atasnya seolah runtuh menimpa dirinya. Memberikan tekanan di mana ruangan yang serasa luas itu perlahan menyempit . Sesak, Heiran sampai memukul dadanya pelan. Tanpa ingin berlama-lama di sana, sebelum rasa sakit itu menggoyahkan dan melumpuhkan seluruh sendiri geraknya, Heiran dengan segera memutuskan untuk keluar dari hunian tersebut. Tidak peduli, bagaimana caranya dia menutup pintu membuat dua orang yang di dalam sana sontak tersentak.

Tak terkecuali sang pemilik rumah yang bergegas bangkit berdiri. Berusaha mencari tahu siapa yang baru saja memasuki rumahnya. Namun, tanpa sadar, di saat dia membuka pintu, bibirnya pun bergumam di kala netranya tidak mendapati siapa pun.

“Heiran.”

Dengan segera, pria itu merogoh ponsel yang berada dalam sakunya. Begitu cepat memaksa benda kecil itu agar segera menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi justru semakin membuatnya merutuk sebal.

“Shit! Aku lupa telah menonaktifkannya.”

Di lain pihak, Heiran yang merasa lemas dan tak memiliki tenaga hanya menjadikan dinding ruang besi yang bergerak itu sebagai sandaran. Meski dinginnya permukaan dinding itu seolah menambah satu daftar lagi rasa sakit yang menusuk tulang punggungnya.

Begitu tiba di lain lantai di mana masih dalam gedung yang sama, Heiran yang sudah terhuyung dan merasa tak memiliki kekuatan untuk berjalan pun kini mengandalkan dinding untuk tumpuan. Berjalan pelan merambat hanya untuk mengunjungi satu orang.
Bunyi bel pada interkom pun ditekan begitu Heiran telah sampai. Dan tak perlu waktu lama, sosok itu telah menyambut dirinya.

“Kau ... ada perlu apa? Bukankah baru tadi pagi aku mengunjungimu?”

Seraya mempersilakan masuk di mana pria itu bergeser dari tempatnya, Heiran yang sedang mengatur jalur napasnya yang terasa berat pun melangkah pelan. Hingga sosok yang dia kunjungi pun berdiri tepat di depannya. Mengamati bagaimana paras Heiran yang terlihat pucat seakan kehilangan sinarnya.

Tidak seperti dengan Heiran yang biasanya terlihat ceria dan terkadang sinis. Tapi ini, terlihat lesu seolah beban berat menumpu tepat di kedua bahunya. Tidak sampai di sana, rantai yang ribuan ton beratnya seolah menahan dan membelenggu langkah wanita tersebut Terlebih tatapan bingungnya yang begitu gelisah. Begitu kosong, sampai-sampai sang tuan rumah ragu bahwa pikiran tamunya tetap bersama.

Hingga satu tarikan napas dalam, menarik penuh pandangan Heiran terhadap sang pria di mana kini bola mata keduanya saling mengisi bayangan satu sama lain. Bersamaan dengan hal itu, satu kalimat yang mengejutkan pun meluncur dan membuat lawan bicaranya bergeming selama beberapa detik. Berharap apa yang didengar bukanlah mimpi yang akan sirna begitu dirinya terbangun.

“Vin ... mari kita menikah.”

Sontak pikiran dangkal Vincente mencerna. Memantik refleks pergerakannya mengikuti apa yang dirasakan pria tersebut setelahnya. Dengan erat, Vincente meraih sang wanita yang berada di depannya dalam satu dekapan.

Ingin memastikan bahwa Heiran tidak main-main dengan ucapannya. Dan seketika itu, di mana waktu turut bergulir dalam kehangatan yang terasa nyata, Vincente menjatuhkan pandangan teduhnya tepat di bibir Heiran. Mendekatinya perlahan lalu keduanya saling mempertemukan bibir. Menyatukannya dalam ritme pelan yang begitu lembut. Dan dari hal tersebut, Vincente mendapatkan jawaban yang membuatnya lega.

***

2 Tahun Kemudian.

Kedua netra yang masih terpejam itu perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda hendak terbuka. Bergetar pelan, berusaha menyesuaikan sebelum iris berwarna gelapnya menangkap langit-langit kamar tidurnya yang terlihat putih bersih secara sempurna.

Satu hari lagi. Ya, dalam hati di setiap paginya, pria bersurai putih terang itu tanpa sadar menghitung. Entah sejak kapan, dia hanya tahu hal ini menjadi kebiasaan baru begitu segalanya pergi.
Tidak langsung beranjak, pria itu perlahan menarik diri dengan pandangannya yang masih sayup-sayup berat. Begitu enggan untuk menjalani aktivitas sehingga, untuk sejenak, dirinya menangkup wajahnya seraya duduk di sisi ranjang. Kali ini mengarahkan pandangannya pada lantai berkarpet cokelat miliknya dengan kosong melalui celah di antara barisan jari-jemarinya. Tentu, akhirnya, satu hari telah terlewat kembali dan hanya kehampaan yang dia rasakan.

Bukankah harusnya dia merasa puas? Setelah apa yang dia usahakan dan lakukan akhirnya menuntunnya mendapatkan sebuah jawaban yang dia cari dan membuatnya gusar selama ini. Alasan di balik kematian Vivian yang sepeninggalnya benar-benar menyisakan luka.

Akan tetapi, mengapa begitu dirinya menemukan jawaban, dirinya tidak bahagia? Justru semakin terjerumus dalam palung laut yang paling dalam. Di mana volume air di sekitarnya terus mengimpit paru menciptakan sesak. Menekannya, hingga kegelapan saat ini selalu memenuhi ruang berpikirnya.

Ternyata selain adanya duka yang ditinggalkan oleh Vivian, masih ada hal lain yang mengganjal. Di mana keduanya saling tumpang tindih di luar dugaan. Sungguh, kepergian Viona yang terlepas dari sisinya juga merupakan satu hal yang sama sekali tidak dia prediksi. Namun, kali ini bukan perihal  Vivian dan Viona, melainkan sosok lain yang kepergiannya benar-benar membuatnya hampa.

Entah sejak kapan, semenjak kepergian Heiran, Hoseok benar-benar kehilangan dirinya. Segalanya terasa sepi. Ya, kali ini Hoseok merasa begitu kesepian. Begitu merindukan eksistensi Heiran yang begitu peduli padanya.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang