Di balik kaca jendela yang kini menampilkan pemandangan awan kelabu dengan gerimis hujan yang perlahan berubah menjadi lebat, Heiran yang kala itu berada di penghujung jam kerjanya hanya duduk termangu di salah satu sudut kafe yang kini tidak ada pengunjung. Begitu lengang, tanpa adanya aktivitas selain dirinya yang merenung.
Memandangi butiran derai gerimis yang menyapa kaca jendela transparan tersebut dari luar sana di mana waktu malam itu menunjukkan pukul 22.00 waktu KST.
Entah apa yang ia pikirkan kala itu di balik cahaya lampu jalanan yang berpendar dalam tirai bening tersebut, tanpa sadar, Heiran mengulurkan jari telunjuknya ke arah jendela. Menyentuh permukaan kaca tersebut dengan ujung jaringan epidermis seraya menuliskan sebuah nama pada embun yang tercipta di atas permukaan kaca tersebut. Menggores hingga ia sanggup melafalkan apa yang tertulis dalam sana dengan hatinya.
Sungguh, bulir hujan yang menyapa kaca jendela tersebut seolah merefleksikan perasaan Heiran yang begitu gamang berbalut dengan hawa dingin. Padahal begitu dekat. Namun, sedikit pun Heiran tidak bisa menyentuh buliran hujan yang tampak basah dan dingin tersebut dari dalam sana.
Sama halnya dengan kondisi Heiran saat ini. Di satu sisi, hatinya yang membuncah ingin sekali bertemu model yang ia sukai dan nyaris di depan mata. Namun, di sisi lain, ia tidak tahu bagaimana cara menjangkaunya. Lebih tepatnya, mengambil tindakan yang tidak begitu mencolok untuk mencapai tujuannya.
Dengan mencebikkan bibirnya seraya meniup poninya hingga turut terangkat, Heiran pada akhirnya ingin menyerah.“Sepertinya memang tidak mungkin,” rutuknya sebal. Sedangkan di sudut lain relung hatinya, sesungguhnya masih ada sesuatu yang sanggup menolongnya. Hanya saja, Heiran selalu menjadikannya di antara bagian daftar yang benar-benar tidak ingin ia pilih atau bahkan perhitungkan.
Tanpa ia sadari, kedua bahunya yang merosot menarik atensi rekan satu kerjanya. Dengan seulas senyum hangat, Aeri menghampiri Heiran dengan satu cup Americano hangat.
“Jangan terlalu dipikirkan begitu keras,” ucapnya dengan ceria seraya menyodorkan minuman tersebut ke arah Heiran.
Masih dengan tatapan sendunya, Heiran meriah cup tersebut dengan begitu enggan. “Mau tidak dipikirkan pun tetap saja aku ingin menemuinya. Tapi dengan pekerjaanku yang seperti ini ... astaga ... dirinya benar-benar membuatku sinting.”
Aeri mengedikkan kedua bahunya setuju. “Yah, memang begitulah. Belum bertemu dengannya secara langsung saja kau sudah dibuat sinting. Apalagi kau bertemu dengannya dalam jarak satu jengkal, aku yakin kau langsung berubah jadi orang gila. Heran, apa bagusnya pesona seorang Seong Hoseok bagi seorang Im Heiran.”
Dalam hati Aeri masih bertanya-tanya. Sehebat apa pesona seorang model yang menurutnya biasa saja dan berhasil memperdaya seorang Im Heiran hingga bertekuk lutut. Meski pencapaian sang model hingga sampak ke titik tersebut juga cukup membuat khalayak pers kontroversi dan tidak bisa dibilang biasa saja.
Ya, walaupun berakhir dengan kabar yang cukup melegakan dan sesuai harapan. Paling tidak, tidak ada nama baik yang tercemar akibat berita yang mengandung unsur kesalahpahaman.
Seketika itu, Heiran yang baru menyeruput kopinya melalui lubang pipetnya pun tersedak. Melayangkan protes pada Aeri yang masih begitu mempertanyakan pesona model idolanya.“Yang jelas melebihi kakakmu yang produser itu,” bandingnya terhadap kakak Aeri yang memang terkenal begitu berbakat itu. Paling tidak seperti itulah yang sering didengar oleh Heiran dari adiknya yang memang selalu mengungkapkan apa pun secara gamblang.
Tanpa sadar, Aeri mengangguk menyetujui satu hal itu. “Ya. Meski dirinya juga termasuk kategori sinting menurut versiku. Bahkan hingga usianya yang sekarang, aku tidak pernah melihatnya berkencan. Mungkin dia hanya mengencani peralatan yang berada dalam studionya,” protes Aeri yang tampak begitu jeli menilai sang kakak yang faktanya memang benar adanya.
Heiran hanya menggelengkan kepalanya. “Meski begitu, dia tetap kakakmu. Kau tidak boleh mengatainya sembarangan.”
Aeri pun mengatupkan bibirnya rapat, bingung sekaligus heran. “Who knows? Faktanya memang seperti itu. Sepertinya, tidak ada seorang wanita mana pun yang menarik di matanya. Meski dalam ruang lingkup kerjanya aku yakin, pasti ada beberapa wanita yang diam-diam memperhatikannya dan memendam perasaan terhadapnya. Hanya saja, kakakku ini saja yang kurang peka dan tidak peduli akan orang di sekitarnya. Hanya memikirkan pekerjaan dan juga ....”
“Kau,” lanjut Heiran dengan tegas. “Aku yakin ... tanpa harus kakakmu menjelaskannya sekaligus padamu, kau pasti mengerti ‘kan bagaimana beratnya menjadi dirinya?” Ada nada memperingatkan dalam ucapan Heiran sehingga Aeri sendiri mengangguk dan begitu memahaminya.
“Kau benar, Eonnie. Sejak orang tua kami meninggal, Oppa begitu berjuang untuk memberiku kehidupan yang layak dengan apa yang tersisa. Jadi, aku tidak pernah menyalahkannya sekaligus bila ia tidak memiliki waktu untukku dan juga hal-hal yang biasanya dihabiskan bersama sebagai saudara. Walaupun untuk itu aku harus menunggu lama, hingga ia sendiri yang kini meluangkan waktunya untukku di saat kemampuan finansial kami telah berjalan normal dan cenderung lebih stabil.”
Bila mengingat hari itu, di mana masa lalu selalu menceritakan kisah terumit yang pernah terjadi sepanjang perjalanan hidup, jujur, Aeri saat itu hanya bisa memosisikan dirinya sebagai beban tetap sang kakak. Walaupun, sejujurnya ia juga tidak ingin merasa seperti itu, akan tetapi melihat sang kakak yang begitu memperjuangkannya tanpa menghiraukan rasa lelah dan sakitnya, sikap sang kakak inilah yang pada akhirnya turut membuat Aeri merasa cemas.
Begitu khawatir, bila sang kakak terlalu memaksakan diri justru akan berujung pada hal yang tidak baik. Jauh lebih menyulitkan dirinya dari pada kondisi sebelumnya. Namun, di tengah masa-masa tersulit itu, ada hal yang begitu membekas dalam ingatan Aeri yang hingga detik ini, tidak sedetik pun Aeri ingin melupakannya.
Sikap sang kakak yang begitu memperhatikan hal kecil di mana Aeri sendiri kala itu tidak menyadari apa pun. Tidak pernah memikirkan sedikit pun hal yang sebenarnya mungkin bisa juga dibilang begitu penting.
Seperti saat perayaan ulang tahunnya di mana sang kakak selalu menyempatkan diri membeli sepotong kue berukuran kecil serta sebatang lilin hanya untuk memperingati keberadaannya. Kelahirannya ke dunia. Hal termanis yang sampai kapan pun Aeri sama sekali tidak bisa melupakan perlakukan sang kakak yang begitu hangat ini.
Bila mengingat masa sulit tersebut, Aeri selalu ingin meneteskan air mata. Kenyataannya, memang tidak mudah untuk mendapatkan posisi seperti ini yang jujur, dirinya sendiri pun tidak pernah membayangkannya. Sehingga, agar ia tidak melupakan seperti apa perjuangan sang kakak, Aeri lebih memilih bekerja paruh waktu meski ia memiliki segalanya. Dan hal yang paling melegakan, sang kakak sedikit pun tidak melarangnya dan tetap mendukungnya.
Tanpa sadar, Aeri tidak menyadari bahwa saat ini ekspresinya terlihat begitu melankolis dengan seulas senyum simpul. Sampai-sampai Heiran yang mengibaskan satu tangannya di depan wajah Aeri sedikit pun tidak membuyarkan lamunan gadis belia ini.
Hingga sebuah cubitan gemas di pipi akhirnya menarik kesadaran Aeri yang sempat menghilang beberapa detik lalu. “Ya! Kenapa kau mengabaikanku?!” Heiran akhirnya gemas. Melayangkan protes tanpa adanya nada kemarahan di sana.
Hingga Aeri mengusap pipinya dengan seulas senyum yang masih belum beranjak dari tempatnya. Namun, walaupun sekilas, Heiran bisa melihat kedua netra Aeri tampak berkaca-kaca. Begitu yakin bahwa ada satu hal dari ucapannya yang pasti mengingatkan Aeri akan satu hal.
“Mianhae, Eonnie. Aku jadi teringat usaha kerja keras kakakku yang memang harus diapresiasi, bukan?”
“Baguslah kalau kau tahu. Aku berharap, kau jadi tidak bersikap sembarangan terhadap kakakmu yang dingin itu. Meski sikap cueknya ... aku tetap tidak membenarkannya.”
“Eoh, mengesampingkan mengenai kakakku ... jadi bagaimana?”
Tentu saja pertanyaan Aeri ini menjurus kembali pada keinginan Heiran yang begitu menggebu-gebu yang ia yakin, pikiran temannya ini tak sedikit pun berpikir dengan tenang. Tepa mencari jalan keluar akan keinginannya yang begitu besar ini. Saat itu Heiran hanya menangkup kedua tangannya di atas pangkuannya dan mengalihkan wajahnya menatap hujan di luar sana. Menghela napas samar sembari menimbang.
“Sepertinya, aku harus menggunakan cara lain.”
***
So as long as I live I love you
Will have and hold you
You look so beautiful in white
And from now ‘til my very last breath
This day I’ll cherish
You look so beautiful in white
Tonight
Alunan lagu yang berputar dengan sendirinya tanpa sadar membuai perasaan seseorang yang kala itu masih terlelap di dalam studio kerjanya yang kini menjadi hunian kedua setelah apartemennya yang jauh terbilang nyaman.
Di atas sofa panjang berwarna hitam tersebut, seorang pria dengan surai blonde-nya masih begitu menikmati fatamorgana yang ditawarkan oleh alam mimpinya. Terlelap, di mana memori alam bawah sadarnya seolah memutar kembali kenangan sejati yang sedikit pun tidak pernah terkikis oleh waktu di tengah kesadarannya yang antara ada dan tiada.
Di dalam alam bawah sadarnya, pria tersebut masih begitu jernih melihat sosok yang begitu familier dalam hidupnya tersebut. Sosok yang aslinya mampu mengambil atensi penuh dirinya dan membuat jantungnya berdebar. Memikirkannya bila sosok ini tidak ada. Namun, di saat keduanya saling mengisi satu sama lain, keangkuhannya seolah berhasil menciptakan jarak.
Ya, segalanya di dalam sana masih begitu segar tergores dalam bayang. Di mana dalam balutan gaun pernikahan berwarna putih yang tampak begitu anggun membingkai tubuh sang wanita, pria tersebut masih terus menjatuhkan atensi dengan kekagumannya.
Membayangkan sosok ini kelak akan berada di sisinya dan mengucap janji sakral yang sesungguhnya hal sederhana tersebut merupakan sebuah impian bagi setiap pasangan. Meski kenyataannya, hari itu yang ia lihat adalah wanitanya yang sedang melakukan pemotretan dengan tema pernikahan. Memperagakan busana pernikahan milik seorang perancang muda dengan bakat yang menurutnya begitu unik.
Di saat kedua netranya masih memperhatikan, di mana waktu istirahat mulai diberikan guna memberikan jeda sejenak, di depan khalayak umum, tanpa memedulikan sekitarnya, sang wanita mengajukan pertanyaan yang jujur membuatnya tercengang dan begitu malu.
“Kau itu sebenarnya mencintaiku atau tidak?”
Pertanyaan yang dilontarkan dengan nada kesal dan kelewat serius itu masih terus mengusik rungunya. Sampai-sampai pria itu ingat benar bahwa beberapa sorot mata tampak menyoroti dirinya dan juga wanitanya.
Hanya untuk mempertahankan harga dirinya agar tidak merasa malu, sang pria dengan santainya hanya menjawab. “Berisik! Berhenti bertanya hal-hal yang konyol,” tukasnya seraya mengikis jarak. Menaikkan sebelah alisnya dengan menggerakkan kedua netranya agar sang wanita menyadari bahwa kini orang-orang sedang memperhatikan keduanya.
Dengan mengerucutkan bibirnya kesal, sang wanita pun kembali menimpali. Namun, kali ini dengan nada yang jauh lebih pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...