Chapter 41

7 2 0
                                    

Kedua netra yang bening dan gelap itu masih berusaha menjangkau seluruh pemandangan yang disuguhkan oleh sekelilingnya. Hamparan lautan luas dan tebing yang menjadi sasaran hantaman ombak tampak berpadu menjadi harmoni yang serasi.

Desiran lembut angin yang berbaur dengan suara gulungan ombak di pagi hari nan mendung kini membuai rungu. Mendekap seseorang dan menenggelamkannya ke dalam lautan ketenangan. Walaupun di dalam sana, hatinya begitu berisik dan pikirannya terlalu penuh. Entah, mengapa dari sekian banyak tempat, hanya hunian ini yang membuatnya nyaman.

Ya, tentu sangat nyaman. Bahkan mungkin sebagian besar orang di luar sana akan beranggapan demikian. Bagaimana tidak, rumah besar di puncak pegunungan dengan hamparan laut yang menjadi pemandangan, tentu menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi seseorang dalam menikmati hidup. Meninggalkan penuhnya aktivitas di perkotaan yang menjemukan. Sekaligus terhindar dari polusi kendaraan yang kerap kali dialami.

Namun di sini, mungkin orang tersebut bisa menyebutnya sebagai surga penyejuk jiwa. Tidak ada tempat yang tidak terbuka bila di lihat dari sisi mana pun. Teras berlantai kayu bernuansa klasik, lalu balkon yang langsung menghubungkan dengan pemandangan laut berikut dengan jurangnya yang begitu curam. Aroma khas yang menguar tiada terelakkan sedikit pun.

Di samping itu, masih ada kolam renang di bagian sisi yang lain dengan pemandangan rimbun. Hunian mewah nan elegan dengan unsur vintage tentu akan membuat siapa saja penghuninya merasa betah di sana.

Termasuk bila ada yang mendampingi dan bersama dalam menjalani aktivitas, tentu semuanya tampak begitu sempurna. Sangat sempurna, sampai-sampai jejak rekam kenangan yang pernah membalut pun tak pernah lekang. Bergelayut dan kembali menarik mundur sensasi yang mengundang rasa nostalgia.
Dalam diamnya, sembari melipat kedua tangannya yang masih berpegangan erat, pria itu sengaja menumpukkan berat tubuhnya bersandar pada pagar pembatas di mana hanya dinding transparan yang membatasi membingkai setengah ruang. Seakan alam mungkin yang akan menangkap dirinya di kala terjatuh.

Akan tetapi bukan itu yang kini sedang ia bayangkan. Melainkan pikirannya masih melanglang buana mengingat setiap memori yang ada. Termasuk cuaca sejuknya yang seperti ini. Rasanya ingin sekali kembali ke masa itu, andai saja bila ia bisa. Ya, hanya sebatas itu yang bisa ia ucapkan di dalam hati. Andai saja, bibir tipisnya bergumam, tersenyum miris. Mungkin  bila waktu mengizinkan, meski hanya satu hari, ingin sekali ia menyalurkan rasa rindu itu dan menghentikan musim dingin yang tiada berujung.

Kedua bahu pria itu pun terangkat di kala menarik napas. Betapa dalam satu tarikan itu, kehidupan masih menyertainya. Namun, tidak di kala ia mengembuskannya. Seolah ada satu bagian di satu titik dari dirinya yang hilang yang memang sedikit pun ia tidak pernah menampiknya.

Dalam balutan kardigan rajut berwarna putih dan cokelat dengan kaos senada di dalamnya, pria itu masih menatap kosong hamparan nan hidup itu. Entah mengapa, apa yang kini dilihatnya tampak bergerak, sesungguhnya ada waktu miliknya yang berhenti bergulir.

Bahkan dalam sekali pejaman matanya, di tengah riuhnya desiran angin dan ombak, suara merdu sang wanita masih membayang jelas. Persis tepat di sampingnya yang kini hanya bisa berdiri seorang diri. Kosong, hanya ada dirinya dan juga anjing berjenis dobermann berwarna cokelat piaraannya yang tampak terduduk mengawasi sekitar. Seolah memahami bagaimana perasaan tuannya hari ini.

Sesekali pria itu membentangkan tangan melakukan peregangan sebelum beralih mengamati anjingnya, lalu seulas senyum tipis nan meneduhkan penuh makna menggantung di sana. Walaupun, sepertinya apa yang ia rasakan saat ini sejujurnya terasa kosong. Tapi cukuplah untuk saat ini hanya bisa seperti. Sebelum ia menuntaskan segalanya.

Kedua bola mata itu bergerak tipis menatap kosong. Binar luka nan perih terbersit sekilas di sana. Lagi, sepertinya suasana yang terlalu lengang justru semakin menjerumuskannya selangkah lebih jauh dalam parit pesakitan.

Seketika itu bayangan masa lalu dengan segera menghampiri tanpa di undang. Kembali menyalakan api kehidupan yang sesaat lalu sempat meredup. Namun, tampak lain. Hanya dirinya yang mengerti akan hal itu.

“Yoon, mau mencobanya bersamaku?”

Tanpa menghiraukan bagaimana wanitanya menatap ke arah luar sana, pria itu masih meluruskan kakinya, menyilang. Berbaring di atas sofa empuk seraya memijat pelipisnya yang tidak pening. Hanya ingin segera menenggelamkan diri dalam alam bawah sadarnya.

Bagaimana pun, suasana hujan nan dingin seperti ini memang lebih nyaman bila untuk tidur. Alih-alih mengalihkan pikiran, paling tidak, istirahat sejenak juga diperlukan. Terlebih pekerjaan yang masih menuntut untuk segera diselesaikan, tentu untuk mendapatkan sedikit penyegaran alangkah baiknya menghadirkan jeda sejenak. Melupakan beberapa lagu yang masih perlu digarap, sebelum menyentuhnya kembali dengan pemikiran yang jauh lebih segar dan menyelesaikannya.

Seperti itulah, pemikiran sederhana yang terlintas dalam benak pria tersebut. Termasuk dalam menanggapi. “Memang apa bagusnya di luar sana?” matanya masih terpejam. Hanya bibirnya yang masih bergerak. “Di sini jauh lebih nyaman. Kering dan terhindar dari hujan. Sedangkan di sana? Mau basah-basahan? Cih, kekanakan sekali.”

Ucapannya yang terdengar renyah di telinga seseorang sontak membuat sang wanita berpaling mengerucutkan bibirnya ke samping. Keningnya berkerut sengit dengan nada kesal yang tak dapat dipungkiri.

“Kekanakan katamu?” Wanita itu menggarisbawahi dengan penuh penekanan. “Hei, memang tujuanmu apa mengajakku ke mari bila aku tidak boleh menyuarakan keinginanku yang kau anggap kekanakan itu, huh? Dinginnya di luar sana tapi sepertinya berdampak juga padamu!” sindirnya keras dengan penuturan yang halus. Walaupun, nada kekesalan sama sekali tidak terhindarkan sedikit pun.

Dan sialnya, pria itu justru menyeringai, santai. “Sudah sering aku mendengarnya darimu.”

“Dan kelewat sering kau bersikap seperti bongkahan gunung es di arktik yang sulit mencair,” bantahnya lagi. Namun, kali ini sembari mengambil langkah mengikis jarak. Ingin membangunkan prianya agar kembali duduk.

“Minimal omelanmu sudah cukup mencairkan bongkahan gunung es itu walau hanya beberapa bagian.”
Satu pukulan, wanita itu mengarahkan bantalan sofa tepat ke arah sang pria. Dan seolah tidak terjadi apa pun, pria itu masih mempertahankan posisinya. Benar-benar sulit sekali membangunkan Yoongi yang memang sedang malas melakukan apa pun.

“Ayolah, Yoon,” Rengeknya menarik sebelah tangan Yoongi meminta perhatian. Berusaha menyeretnya agar terbangun. “Sekali saja apa kau tidak bisa membuat momen yang romantis untukku? Dancing under the rain. Aku ingin kita berdansa di luar sana.”

Matanya yang terpejam merasakan dengan benar bagaimana guncangan Yang ditimbulkan oleh kekasihnya yang masih berusaha membangunkan. Tapi justru ditanggapi Yoongi dengan geli. “See ... benar-benar kekanakan,” ucapnya lagi atas pemikiran kekanakan itu. “Lagi pula aku mengajakmu kemari untuk menemaniku beristirahat. Sekaligus waktmu untuk beristirahat sejenak.”

“Memang kenapa aku harus beristirahat?” kali ini sang wanita menyerah. Melipat kedua tangannya defensif dan masih memperhatikan kekasihnya yang masih belum beranjak dari tempatnya. Berdiri, tetapi menjatuhkan atensi meski salah satu kakinya telah mengetuk lantai tak sabaran. Begitu muak dengan kekasihnya yang terlihat bermain-main. Bergeser, akan tetapi Yoongi kembali memosisikan dirinya untuk berbaring. Seolah permintaannya memang tidak layak untuk ditanggapi. “Semenjak dalam perjalanan, dan dua hari ini, aku sudah mencicil untuk waktu tidurku. Jadi kali ini aku tidak lelah Yoon. Apa kau mengerti?”

Tidak langsung menanggapi, Yoongi justru menghela napas pelan. Sepertinya seseorang memang harus menyadarkan kekasihnya yang keras kepala ini. “Vivian Jung ... kau bisa berbohong untuk dirimu sendiri. Tapi tidak denganku. Katakan, Brand mana lagi yang sampai harus memaksamu menurunkan berat badan, hm? Tubuhmu sedikit kurus dari terakhir kali aku memelukmu. Let me know if I wrong.”

Yoongi berbicara dengan tenang dan pelan. Tidak ada nada membentak, atau pun menghakimi. Yang ia inginkan hanyalah agar kekasihnya beristirahat. Menikmati waktu yang berkualitas tepat di sampingnya. Meski sejujurnya, tanpa mengatakannya, Yoongi benar-benar kesal dibuatnya. Hanya meredamnya dalam diam dan tetap mengawasi.

Tidak ada yang salah dengan totalitas dalam pekerjaan. Namun, bila harus dipaksa berdiet di bawah ukuran ideal, tentu Yoongi menolak keras. Walaupun sepertinya, bentuk perhatian Yoongi hanya dianggap angin lalu oleh sang kekasih. Tapi bagaimana pun juga, harus ada yang memperingati. Jika bukan Yoongi, lalu siapa lagi? Bahkan Vivian sendiri tidak bisa untuk perihal semacam itu.

Seketika itu, Vivian bergeming. Lagi-lagi Yoongi membuatnya membeku. Sadar akan jeda yang dalam beberapa detik hadir, Yoongi pun membuka mata. Turut melipat kedua tangannya di dada.

“Apa aku benar? Kau masih mau membantah, Nona?”
Ada kepuasan tersendiri bagi Yoongi yang mendisiplinkan Vivian. Hingga tak lama kemudian, Vivian pun melakukan pembelaan.

“Bu ... bukan begitu. Hanya saja aku ....”

“Hanya saja aku apa, hm?” Yoongi menandas. Seolah mengerti kalimat macam apa yang akan meluncur dari bibir Vivian hingga wanitanya bungkam.

Vivian pun menarik napas panjang. Beralih duduk di tepian sofa di mana Yoongi berbaring. Berusaha mencari alasan di waktu bersamaan.

“Yoon, kau tidak mengerti. Aku hanya ingin ter—“

“Terlihat sempurna dalam setiap pekerjaanmu?” Yoongi meneruskan. Tahu benar apa yang berada di dalam kepala Vivian. Sampai Vivian sendiri benar-benar dibuat terperangah dan tiada berkutik.

Yoongi pun menarik napas panjang, mengerlingkan pandang. Bahkan kini Vivian menyadari perubahan mimik wajah Yoongi yang semakin mempertegas rahangnya. Entah kalimat ceramah apa lagi yang hendak keluar dan kembali menciutkannya nyalinya.

Sial, dalam hati Vivian merutuk kesal. Mengapa di depan manusia ini ia sama sekali tidak bisa membantah. Ya, walaupun hanya untuk beberapa kali dan kali ini Vivian benar-benar dibuat tiada bisa berpikir. Bahkan tidak ada alasan yang tepat sedikit pun melintas dalam kepalanya. Padahal biasanya ia begitu ahli dalam membelokkan topik atau pun menjelaskan sehingga kekasihnya mengerti dan menyerah, lalu perdebatan pun berakhir.

Tapi ini, benar-benar sial! Rutuknya tiada henti di dalam sana.

“Vi ... berapa kali aku harus memberitahumu mengenai pekerjaan, hm? Totalitas sangat baik, tapi jangan sampai kau mengabaikan kesehatanmu. Ok, kau terlihat sehat dan baik-baik saja,” ujarnya dengan fakta yang terlihat.

Yoongi menjeda. Sama sekali tidak ingin dibantah. Bahkan dalam sekali ucap, Vivian yang sempat membuka mulut hendak berargumen pun kembali mengatupkan bibirnya. Sama sekali tiada menemukan celah. Kali ini kekasihnya benar-benar serius dalam memperingatkannya.

“Tapi kau juga harus memikirkan orang di sekitarmu yang mengkhawatirkanmu. Apa enaknya memelukmu yang terlalu kurus. Seperti orang cacingan saja,” alihnya di akhir mengendurkan ketegangan yang ada.

Sampai-sampai Vivian terperangah dan menyunggingkan senyum miring. “Cacingan? Ya! Apa seperti itu caranya bicara dengan pacarmu, huh? Wanita yang kau sebut cacingan ini juga masih bisa melahirkan anakmu!” protesnya tak mau kalah. Sama sekali tidak melihat sedikit pun kekurangan di dalam dirinya. Ya, walaupun bagi Yoongi memang tidak ada yang kurang dari sosok tersebut.

Yoongi pun terkekeh santai. “Anak apa? Anak cacing? Sudahlah. Terserah kau saja. Yang penting aku sudah memperingatkan.”
Vivian yang masih bersikukuh pun masih mendebat. Tidak terima dengan penghinaan Yoongi yang memang tujuannya hanya bercanda. “Mungkin kau saja yang salah mengukur dan merasakan. Atau jangan-jangan, saat aku tidak ada, kau memeluk wanita lain. Ya, walaupun kenyataannya, kau lebih memiliki banyak kesempatan Yoon dari pada aku.”

Wanita itu pun mengerlingkan pandangannya malas. Tidak tahu bahwa ucapannya di akhir berhasil membuat Yoongi terbangun. Mengandalkan satu tangannya sebagai tumpuan dan meletakkan kepalanya di area perpotongan leher dan bahu milik Vivian. Dari jarak sedekat itu, Vivian mampu merasakan embusan napas Yoongi yang ringan. Sadar benar bahwa kali ini Yoongi benar-benar menjatuhkan atensinya pada sang puan.

“Sudah berada di sini bersamaku pun, kau masih berpikir seperti itu? Dari pada aku, bukankah kau jauh lebih memiliki kesempatan menghabiskan waktu dengan pria lain yang seprofesi denganmu, hm?”

Satu detik. Hingga dua detik terlewat, Yoongi pun menarik napas dalam. Sebelum memilih beringsut bangkit berdiri.

“Sudahlah. Itu terserah padamu saja. Kau yang jauh lebih tahu mengenai apa yang kau butuhkan termasuk kondisimu,” ucapnya pelan tidak ingin berkomentar lebih. Merasa kekasihnya juga sudah cukup dewasa untuk mempertimbangkan segala hal yang dinilai baik maupun buruk bagi dirinya sendiri. Sehingga, tidak ingin memperpanjang perdebatan di mana Vivian tetap dengan kepala batunya, Yoongi menarik diri dan hendak beralih ruang.

Namun, baru dua langkah pria itu mengegah langkah, kedua lengan mungil dengan sengaja telah melingkar sempurna mengitari perutnya. Membelit di antara kedua lengan kekarnya hingga dirinya berhenti. Tahu benar apa yang akan terjadi berikutnya. Rasa penyesalan yang terdengar dari sosok sang kekasih pun kini terdengar.

“Maafkan aku, Yoon. Aku ... hanya ingin terlihat sempurna. Sama sempurnanya saat aku bersamamu. Aku tahu kau mengkhawatirkanku. Meski kau tidak mengucapkannya secara jelas. Tapi bisakah kau memahamiku? Ini pekerjaan yang kupilih. Impian yang pada akhirnya bisa kuraih setelah pertentangan yang ada. Jadi aku ingin kau menghormatinya.”

Yoongi terdiam sejenak. Bila dipikir lagi, ucapan Vivian ada benarnya. Namun, pria itu sedikit mengoreksi ucapan kekasihnya.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang