Dalam balutan sweter berwarna hitam dengan celana panjang berwarna abu, tepat di sebuah lorong rumah sakit yang terasa dingin, Vincente masih terduduk termangu. Menjadikan bangku yang didudukinya kini menjadi tumpuan di kala punggungnya sendiri hanya mengandalkan dinding di balik punggungnya sebagai sandaran. Lurus menatap ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat.
Kosong, kala itu dirinya sama sekali tiada minat menaruh fokus. Berulang kali di dalam pikirannya yang aman merenungi setiap kejadian yang ada. Lebih tepatnya, mengais kembali kenangan sang wanita yang masih tersenyum dengan tatapan cerianya.
Entah, bagaimana perasaan itu hadir dan tumbuh berkembang, pria itu sama sekali tidak pernah menduganya. Hanya membiarkannya bak aliran sungai yang memilih bermuara tanpa tentu arah. Ya, hanya tetap berada dalam jalurnya dan memberikan penyegaran.
Bahkan bagaimana keduanya berinteraksi, dengan segera pria itu menarik napas dalam. Berat, bahkan terasa sengatan tipis yang menggigit erat. Akan tetapi, bayangannya kala itu hanya terfokus pada apa yang pernah dirasanya. Begitu hangat, tidak sedingin ini. Di mana detik jarum jam yang masih bergulir berubah menjadi ribuan jarum yang siap memutus tiap persendian kapan saja.
Sampai-sampai, sepertinya baru beberapa waktu lalu dirinya masih menghabiskan waktu bersama, bicara, bahkan menertawakan hal kecil yang mungkin sama sekali tidak lucu. Dan sungguh, segalanya masih terasa seperti mimpi.
Vincente pun melipat kedua tangannya di dada seraya menyilangkan kedua kaki. Kali ini melirik sekilas ke arah ponsel yang berada di sisinya. Sampai kehadiran seseorang berhasil membuatnya kembali menutup mata. Masih enggan mendengar apa pun yang mungkin semakin menggerus jiwanya. Namun, tetap membuka rungu untuk sosok tersebut.
“Kau masih belum beristirahat?” tanyanya yang entah sudah ke berapa kalinya ditanyakan. “Bila aku tidak salah mengingat, sepertinya sejak pagi kau duduk di sini. Meski sudah ada lima kali aku menghitung kau masuk ke dalam ruang ICU. Apa kau tidak bekerja?”
Entah hanya untuk basa-basi atau mencairkan suasana, yang jelas, sosok yang baru tiba itu sama sekali tidak ingin berbuat onar. Hanya sejatinya, dia begitu khawatir akan Vincente yang notabene mau dilihat dari sudut mana dan cara apa pun, pria ini memang terlihat mencintai Heiran begitu tulus. Sampai tulusnya, dirinya sendiri tidak terlalu mempermasalah hatinya sendiri. Namun, bula sudah begini, jelas segalanya semakin mencerminkan bagaimana perangai pria dengan pandangan tegasnya.
Masih tanpa membuka mata, Vincente menghadirkan suara beratnya yang begitu lemah. “Kau tahu benar aku tidak bisa. Ini bukan sekalinya aku terjebak dalam situasi rumit seperti ini. Yang pertama adalah ibunya. Selama itu aku mendampingi Heiran yang tiada menyerah sama sekali. Dan sekarang ....”
Vincente dengan susah payah menelan salivanya. Begitu sulit meneruskan sisanya. “Tidak. Sungguh aku tidak ingin berkata atas kemungkinan apa pun. Heiran-ku hanya lelah. Aku yakin bila dirinya ingin dan merasa lebih baik, dia akan terbangun.”
Terbetik rasa yang perlahan menyelinap di dalam relung sang pendengar. Lalu pria itu pun menyodorkan ponsel miliknya.“Menurut penyidik, Heiran memang salah dalam perihal berlalu lintas. Namun, tidak bisa menanyainya untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengingat kondisi kritisnya. Terlebih ... Tuan Sargas telah membayar denda sekaligus ganti rugi yang tercipta dari kecelakaan tersebut. Dan kemarin malam, pihak kepolisian setuju untuk memberikan ponsel Heiran yang sempat dijadikan barang bukti. Tadinya aku tidak terlalu ingin tahu. Tapi tak kusangka, Hoseok-hyung ... menempati posisi yang begitu penting dalam hidup Heiran.”
“Dilihat juga sudah tahu, kan?” tukasnya sinis. Kali ini menyugar surainya dengan sebelah tangan. Melesakkan rasa lelahnya agar sedikit menguap. Terkesan tidak peduli, tapi rungunya masih ingin mendengar. “Pria berdarah Korea Selatan itu ... sampai bisa menaklukkannya.”
“Bahkan kunci ponselnya ... kombinasi angka yang berkaitan dengan Hoseok-hyung.”
Sekilas Vincente tidak menaruh minat. Hingga refleks gerakannya meraih ponsel yang tidak hanya satu disodorkan padanya, melainkan dua.
“Ini milikmu, Jim?”
“Hm. Aku mendapati sesuatu dari ponsel Heiran. Lebih tepatnya, alasan mengapa dirinya mengalami kecelakaan.”
Saat itu ponsel milik Jimin telah menunjukkan laman berupa tampilan recording. Dan dengan ragu, Vincenten pun menjatuhkan pandangannya pada Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...