Chapter 33

8 3 3
                                    

“Bagaimana? Kau sudah menemukan petunjuk? Dari ekspresimu, sepertinya semalam lagi-lagi kau mendapat kunjungan, ya?”

Sambil meletakkan kantung plastik berisi dua porsi bubur ayam yang baru di bawanya untuk sarapan, dengan akrab, wanita tersebut seolah membaca ekspresi lelah Yoongi yang begitu kentara. Wajah lusuh yang terlipat dengan kaos putihnya yang berpadu dengan ripped jeans berwarna hitam, pria berkulit putih pucat tersebut dengan enggan tampak berusaha memosisikan diri.

Duduk dari tidurnya yang mau dipaksakan seperti apa pun semalam sama sekali tidak menemukan posisi ternyaman. Padahal selama ini sofa empuknya dapat diandalkan sebagai ganti kasur king size-nya yang nyaman hingga fajar tiba. Entahlah, rasanya kali ini sungguh berbeda. Meski mentari di luar sana tiada berhenti menggantikan malam begitu waktunya tiba.

Terlebih, bagaimanapun juga, kedatangan wanita ini tetap harus disambut dengan sopan, bukan? Bukan seperti teman baiknya yang selalu diperkenankan untuk duduk sesuka hati. Namun kali ini, ia tetap menjaga sikapnya dalam adab menyambut tamunya. Terkhusus tamu dengan gender yang berbeda.

Sekaligus, dalam arti lain, wanita ini juga bisa disebut sebagai sahabat dan juga rekan kerja yang sangat baik. Sangat dekat, sampai-sampai Yoongi seolah menemukan tempat lain dalam menyelesaikan masalahnya.

Walaupun selama ini, Yoongi memang dikenal sangat jarang berkeluh kesah. Hanya akhir-akhir ini saja kondisinya terasa memburuk dalam artian tekanan psikis. Pria tersebut pun pada akhirnya duduk dengan menumpukan kedua tangannya tepat di atas kedua paha miliknya. Mengusap samar wajahnya secara sekilas dengan ekspresi yang tampak mengambang. Seolah ingin menjangkau sesuatu akan tetapi yang terlihat hanya sebatas tabir tipis abu-abu. Mengabur, sangat sulit untuk diinterpretasikan.
Bukannya menjawab, Yoongi justru balik bertanya dengan ekspresi serius. Meskipun kala itu, Yoongi jauh lebih memilih menatap lurus ke arah meja bagi tamu tersebut.

“Hm. Dari pada itu ... aku jauh lebih penasaran akan suatu hal. Semacam suatu teknologi.”

Sontak wanita yang mengenakan setelan jaket olah raga santai di luar rumah bercelana panjang berwarna putih, namun masih terbilang pas dikenakan di tempat kerja, akhirnya mengerutkan kening. Menjatuhkan atensi dan memilih duduk di sisi lain dari sofa yang ada.

“Maksudmu? Sejak kapan Heo Yoongi yang seorang produser lagu terkenal begitu tertarik dengan perkembangan teknologi selain yang bersangkutan dengan perangkat produksi musik? Apa semalam pemburu membuat sesuatu yang jauh lebih menarik dan menegangkan dari sebelumnya?”

Yoongi sontak memberikan tatapan seriusnya pada wanita tersebut. Tidak mengiyakan. Namun justru membenarkan pernyataan tersebut. “Pemburu?” Yoongi mengangguk. Sepertinya ia telah menemukan sebutan yang tepat bagi seseorang yang bergerak dalam senyap yang selama ini menguntitnya.

“Benar. Dan aku kali ini sepertinya dibuat seolah sulit bernapas. Kau ingat akan rencana yang aku berlakukan untuk menangkap orang ini? Kupikir dengan menaruh kamera kecil yang tersembunyi aku berharap akan menemukan sesuatu. Tapi,” Yoongi menjeda.

Lagi-lagi mengusap wajah dengan kasar, bingung. “Haish, sial! Mengapa orang ini begitu tertarik padaku?” tanyanya seraya mengumpat tak habis pikir. Semakin memikirkannya, kepalanya serasa mau pecah. Tidak mengerti akan situasi yang polanya begitu runut, akan tetapi meninggalkan jejak yang begitu acak. Terlebih, sangat dekat. Yoongi merasa bahwa sosok ini begitu dekat.

Masih dengan ekspresi penuh tanya, Yoongi kembali meneruskan. “Am, apakah ada alat yang benar-benar dapat mengacaukan suatu penyidikan? Semacam gelombang kendali jarak jauh yang bisa mengacaukan segala rencana sederhana dalam sekejap.”

“Yoon, sungguh ... di sini aku berusaha mendengarkanmu. Bisakah kau berbicaranya pelan-pelan dan secara jelas? Aku tidak mengerti akan ucapanmu yang terdengar acak.”

Jujur, Amber yang sedari tadi mencoba mencerna setiap perkataan Yoongi begitu sulit memahami. Betapa dalam satu topik, pertanyaan Yoongi benar-benar terdengar tergesa. Sangat membutuhkan jawaban dan ingin segera mengurai segalanya. Namun, kepalanya yang bagai benang kusut sama sekali tak mengizinkannya berpikir secara rasional. Terlebih bila sudah berkaitan dengan wanita yang gagal untuk dia lindungi, Yoongi seperti kehilangan arah di tengah gurun yang menyengat.

Yoongi menarik napas dalam. Kembali memperjelas ucapannya dengan perlahan. “Pemburu ... aku tidak tahu siapa yang bekerja sama dengannya atau bahkan caranya untuk masuk lebih jauh menjangkauku. Ini terlalu dekat.”

Yoongi menggelengkan kepalanya tak percaya. “Sangat dekat. Bahkan ia memiliki video mengenai ke ....” pria itu tercekat. Justru meralat ucapannya akan sebutan bagi seseorang. “Dia,” ucapnya pada akhirnya. “Bagaimana ia bisa mendapatkan secuil memori yang aku simpan? Mulanya aku berpikir untuk kali ini aku akan mendapatkan gambaran dari kamera pengintai yang aku pasang. Namun bukannya sesosok visual dari pemburu yang aku inginkan, justru hanya ada gelombang gelap yang sama sekali tidak menampilkan apa pun. Seperti mengalami gangguan dalam sekejap. Dan yang terekam, hanya bayanganku setelahnya yang menemukan apa yang terjadi semalam. Sampai-sampai rasanya begitu mengerikan.”

“Bila yang kau maksud sebuah alat pengacau sinyal, mungkin alat seperti itu memang benar-benar ada. Karena setiap pemburu pasti memiliki trik sulap hanya untuk mempertahankan dirinya menjadi hantu. Bisa dibilang, sinyal yang tersedia pada kamera pengawas akan mengabur dengan segera begitu adanya gesekan dengan gelombang elektromagnetik yang begitu kuat guna mengacaukan penyidikan dan menghilangkan jejak yang berpotensi sebagai barang bukti.”

“Got it. Itu dia ... alat yang pasti dimiliki oleh pemburu. Tapi masalahnya, apa yang ia inginkan dariku? Apa ia berpikir aku terlibat atas kematiannya?”

Yoongi berusaha berspekulasi. Mencari jawaban atas kemungkinan yang ada. Bahkan di sela-sela ingatan tipisnya, bagaimana kilat menyambar dan apa yang ia saksikan, segalanya begitu menusuk. Memukul perasaan Yoongi hingga jatuh ke dasar.

Di lain pihak, saat itu bulu halus di sekujur tubuh Amber terasa berdiri. Merinding dengan pembahasan yang seperti meminta nyawa ini.

Seraya mengusap kedua lengannya, Amber merespons Yoongi.

“Aku tidak tahu Yoon. Yang jelas, mungkin ia merasa kau memiliki keterkaitan dengannya. Terlepas dari pemburu tahu tidaknya mengenai hubunganmu dengan wanitamu. Tapi jika aku boleh menyarankan, untuk keselamatanmu, mungkin alangkah lebih baiknya kau tinggal bersama adikmu atau menyewa jasa seorang detektif atau mulai melaporkan hal ini dan menanggapinya dengan serius. Kau tahu ... kau bisa meminta perlindungan agensi untuk melindungimu. Berhentilah untuk menahannya sendiri, Yoon. Kau membutuhkan orang lain.”

Yoongi menarik diri ke belakang. Kembali menyandarkan punggungnya yang terasa nyeri pada sofa hitam yang senantiasa menyambut. Entah mengapa, kali ini Yoongi serasa terjebak dalam situasi yang begitu sulit. Bahkan langit-langit ruang studionya yang membisu seolah turut menghakimi. Memilih abai akan tetapi turut menyaksikan bagaimana setiap pesakitan Yoongi mendera.

Yoongi mengulum bibirnya dan terdiam sejenak. Sengatan tipis membuat kepalanya berdenyut sering. Di antara beberapa pilihan, mengapa segalanya terlihat mustahil di mata Yoongi? Bak berdiri di ujung jalan yang gelap dan bercabang. Haruskah ia mengambil tempat akan saran yang diberikan padanya?

Dalam diamnya Yoongi menimbang, gamang. Sunyi senyap kembali bergelayut menyelimuti. Dan Amber, wanita tersebut masih bertahan pada posisinya. Sama sekali tidak memiliki andil dalam keputusan Yoongi yang terlihat bingung. Hanya bisa memberi saran dan menghormati apa pun yang akan dilakukan oleh pria yang terdiam frustrasi tersebut.

Hingga detik berlalu, embusan napas berat yang berasal dari Yoongi seolah ingin menyingkap kesunyian itu. Walau denyut nyeri berusaha menyesakkan dadanya. Masih dalam mata terpejam, seolah Yoongi telah kehilangan daya untuk menyambut dunia, dengan berat hati, bibirnya pun kembali terbuka.

“Bagaimanapun ... hal ini sifatnya masalah pribadi. Mungkin beberapa dari kalian berpikir bahwa aku bersikap egois. Namun ... bukannya aku tidak membutuhkan dan mengabaikan bantuan sekaligus niat baik kalian, aku ....” Yoongi menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Tersenyum getir di saat hatinya begitu teriris. Rasa-rasanya, hanya untuk menelan salivanya saja terasa sulit.

Berusaha menstabilkan suaranya yang bergetar, pria tersebut meneruskan. Meski nada bicaranya terdengar melelahkan. “Tidak ingin menyeret terlalu banyak pihak yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan masalahku. Aku tidak tahu ... apa yang diinginkan oleh pemburu dariku. Tapi bila boleh jujur, bukankah pada akhirnya aku tidak bisa menghindar dari masalah ini? Sekuat apa pun aku berusaha, meski aku melarikan diri, bila api dendam di dalam dirinya yang merasa terluka masih berkobar, walau aku berlari ke ujung dunia, tetap saja rantai dendam itu tidak pernah terputus. Pilihannya, membiarkan ia menjangkauku? Ataukah melarikan diri dan ia akan menyakiti orang terdekatku. Kau tidak mengerti. Sama sekali tidak ada jalan.”

Seketika itu Amber terdiam. Sama sekali tidak memiliki pasokan kata untuk membalas. Betapa dalam situasi ini, Yoongi dengan rapuh berusaha menerima takdirnya. Hening pun kembali menyusup. Dan deru napas yang sesak itu, kembali terdengar.
Di dalam pikirannya yang aman, Yoongi seolah mengulurkan tangan dalam gelap.

“Take me away, Vi.”

Kenyataannya, Yoongi harus dengan rela menghadapi hal bak jilatan api neraka tersebut menjangkau setiap jengkal tubuhnya. Membiarkan panasnya api melahap dan berharap kematian tiba lebih cepat menjemputnya. Menenggelamkan diri dalam kegelapan di mana mungkin setelah ini pikirannya akan berhenti. Waktu, hanya itu yang ditunggu atas teka-teki yang memilukan ini.





















Semangat pagi guys...🙂🙂🙂
Hayok semangat...
Happy Indonesia President Election😃😃😃

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang