Extra Chapter 7

11 3 12
                                    

Getar musik yang menggema ke sepenjuru ruangan dalam gelombang suara bas melalui sound sistem yang berdentum mengiringi peragakan malam hari itu. Sepasang netra berwarna kecokelatan yang tampak duduk di sisi panggung dalam balutan gaun malam dengan lengan yang menyentuh siku berwarna hitamnya di atas lutut tampak berkilat di bawah pencahayaan lampu yang temaram. Sengaja menggerai surai sewarna irisnya guna menutupi bahu yang sedikit terbuka seraya menjatuhkan pandangan lurusnya pada para model yang sedang berjalan di atas catwalk dalam sorotan lampu.

Sedikit pun tiada mampu menolak ajakan pria yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri yang memintanya secara khusus untuk hadir ke acara tersebut. Bahkan satu lagi sosok yang turut menemani di sampingnya. Seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah sepupu dari pria berparas baby face yang selalu khas dengan garis matanya yang selalu membentuk bulan sabit di kala tersenyum. Turut memberikan atensinya pada apa yang berada di depannya.

Di kala fokus sang wanita masih tertuju pada para model yang tampak berjalan dalam balutan gaun dengan desain yang berbeda, sang pria sengaja menanggalkan jasnya. Lalu meletakkannya tepat di atas pangkuan dari teman wanitanya yang tampak menyilangkan kedua kaki. Dan tentu setelahnya tercipta sebuah konversasi kecil.

“Terima kasih. Tapi kau seharusnya tidak perlu melakukan ini, Jim.”

Untuk beberapa detik, netra kecokelatan itu tampak mengerling. Sebelum beralih mengamati para model yang masih terus memeragakan busana. Tentu, diam-diam sosok itu memperhatikan detail desain dari pakaian yang dikenakan. Mulai dari corak, pola, kain, bahkan gradasi sebagai tambahan sekaligus aksesoris yang melekat. Dan ya, tidak mengherankan bahwa peragaan kali ini melibatkan pria dan wanita.

“Tapi sepertinya, Vincente pasti akan melakukan hal yang sama bila duduk di sisimu. Atau bahkan Jecky. Dia begitu mengagumimu dengan ugal-ugalan, Hei.”

Sontak Heiran terkekeh. Meski ada kemelut rasa yang masih membingungkan di dalam sana. Tahu benar akan undangan tersebut yang bermaksud untuk mengalihkan perhatiannya di mana di kala sepi menyekap, kesendirian membuat benaknya terpilin dalam tanda tanya. Mempertanyakan akan kekasihnya yang sudah tiga hari ini tidak menghubunginya. Ya, meski hanya ada satu atau dua pesan yang dibalas. Itu pun hanya mengingatkan untuk beristirahat dan makan.

Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, Heiran mencoba bersikap wajar. “Tidak perlu mempertegasnya. Jecky ... memang begitu gigih. Meski aku sudah menekankan bahwa kecelakaan itu sama sekali tidak disengaja. Yah, meski aku tidak bisa memaksanya untuk berhenti.”

Baik Jimin maupun Heiran, keduanya tahu bagaimana Vincente dan Jecky selalu memperdebatkan hal ini. Perhatian yang berusaha mereka menangkan meski satu hal telah mengulur waktu bagi keduanya.

Dan masih turut memandang pada acara tersebut, Jimin menimpali. “Lalu ... bagaimana dengan Hoseok-hyung? Apa kalian masih berkomunikasi dengan baik?”

Tanpa sadar kelopak mata Heiran sekilas melebar. Cukup terkejut dengan pertanyaan yang menyentak batinnya. Lalu menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. Lebih tepatnya, bertanya-tanya, apakah sikapnya begitu kentara?

Dengan berdeham dan mencoba merapikan jas luaran milik Jimin yang berada di pangkuannya, Heiran menimpali. Berusaha bereaksi senatural mungkin.

“Kenapa tiba-tiba menanyakannya? Apa ekspresiku terlihat hanya memikirkannya saja?”

Jimin menghela napas samar. Meski ada satu hal yang turut membuat dirinya membatin. Mungkin selama ini dirinya terlihat tidak memperhatikan. Namun, begitu mengetahui keterkaitan keduanya, Jimin seolah merasa berada di tempat yang salah. Di satu sisi dirinya begitu tahu banyak rahasia mengenai sosok Hoseok. Namun di sisi lain, Jimin juga tidak lupa bagaimana Heiran kehilangan bayinya. Bayi yang tak lain dan tak bukan adalah darah daging Seong Hoseok sendiri. Terlebih, rumor yang beberapa hari ini terdengar. Masih berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

Seraya menggaruk keningnya yang tidak gatal, Jimin lagi-lagi menimpali. Berusaha bereaksi sebiasa mungkin. “Tidak juga. Aku berharap yang terbaik untuk hubungan kalian.”

Tanpa keduanya ketahui, di tengah pekerjaan yang masih menuntut, sikap mereka tampak diawasi oleh seorang model. Sehingga begitu acara selesai, mereka pun memutuskan untuk berkumpul terlebih dahulu dan melewatkan makan malam bersama.

Tentu selama kurun waktu yang terus bergulir, di sebuah restoran hotel bintang lima di dalam  ruang VVIP, keempatnya tampak berinteraksi melempar canda. Sampai akhirnya, hanya menyisakan Vincente dan Heiran.

Di dalam perjalanan di mana keduanya masih berada di dalam mobil, pria bersurai pirang itu tampak berusaha menyingkap kesunyian begitu mengerlingkan pandangannya sekilas tepat di sampingnya. Bersikap wajar seperti biasanya agar tidak terasa canggung.

Meski pembahasan keduanya yang pertama kali adalah mengenai apa yang dilihatnya. Begitu penasaran sampai-sampai sosok itu mampu menahan rasa keingintahuannya sampai waktu menyediakan ruang privasi bagi keduanya.

Dan dengan lembut, suara berat itu menggema mengusik rungu. Menyingkap kesunyian yang sudah dirasa cukup.

“Apa yang kau bicarakan dengan Jimin sampai ekspresimu seberat itu? Apa mengenai Hoseok?”

Heiran dengan segera menarik napas panjang. Sepertinya memang begitu sulit terlepas dari pengawasan mata elang milik Vincente dengan tingkat sensitivitasnya yang terkadang di luar nalar.

Entah sudah berapa hari terlewat bila Heiran mencoba mengingat. Tiga hari terlampau lama bagi Heiran yang melewati hari serasa seminggu. Tidak yakin akan debaran was-was yang bergelayut datang silih berganti begitu mengganggunya. Di mana di kala pemikiran-pemikiran acaknya hadir, nyeri, Heiran merasa perutnya serasa terpilin di tengah bisikan ruang kepalanya yang begitu berisik. Tidak mampu berpikir rasional atau pun memutuskan apa pun.

Refleks dengan meremas sisi gaunnya, Heiran menimpali. Meski fokusnya saat itu masih tertuju pada deretan lampu kota yang masih menyala. Enggan memandang Vincente dan sadar benar akan laju mobil sahabatnya yang terkesan melambat. Seolah ingin memperdalam perbincangan yang penuh tekanan intens itu.

“Bagaimana aku harus mengartikan ini? Sudah satu minggu, komunikasi kami begitu singkat dengan perhatian kecil. Bahkan setiap aku menanyakan alasan mengapa dirinya memutuskan kontrak kerja sama dengan Daddy secara sepihak, tidak satu kali pun dirinya menjawab. Ada apa ini? Mengapa aku merasa begitu ....”

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang