Chapter 7

16 5 8
                                    

Kesunyian, tiada lagi tempat yang mampu mendorong seseorang pada akhirnya meluapkan segala apa yang telah ia rasakan dalam kekosongan yang hening tersebut. Bukannya ingin mengklaim. Namun, ingatannya yang masih sejernih embun pagi sebelum mentari menyingsing masih mampu mengingat segalanya. Termasuk ingatan akan benda yang memiliki nyaris sepenuh arti hidupnya.

Di dalam sebuah hunian apartemen di mana kini Hoseok sedang berada di ruang yang tidak hanya di huni oleh dirinya, pria tersebut masih terduduk tepat di sisi orang tersebut. Sosok yang tampak terlelap damai di bawah selimut hangatnya. Menghalau udara malam itu yang jujur memang terasa dingin, sehingga mau tak mau, pria tersebut tetap mengondisikan penghangat ruangannya agar tetap bekerja sebagai mana mestinya. Menghangatkan keduanya yang kini berada dalam situasi yang berbeda.

Sosok tersebut yang terlelap, dengan Hoseok yang masih terjaga. Dalam diamnya, pria tersebut berusaha menyalurkan kasih sayangnya melalui sebuah usapan kecil tepat di pipi. Tetap dalam sentuhan yang masih ia kendalikan agar sosok tersebut tidak terganggu. Tetap terlelap dan terus menyusuri alam mimpinya yang Hoseok yakin jauh lebih indah dan damai dari pada dunianya yang berbanding terbalik.

Menghantarkan denyut nyeri yang tak diundang dan kembali mengingatkannya akan pesakitan. Meski lima tahun telah terlewat, akan tetapi bayangan bagaimana Hoseok menemukan sosok wanita yang ia kasihi itu berada dalam keadaan mengenaskan, masih terus membayanginya. Meninggalkan berjuta tanda tanya yang kini, untuk sekilas, Hoseok mulai menerka satu hal.

Mungkinkah ia adalah sosok yang selalu disinggung oleh Vivian dalam setiap goresan penanya?

Hoseok pun memberi kecupan sekilas yang sarat akan kasih sayang dan juga cinta pada sosok perempuan yang terlelap tersebut, sembari membiarkan pertanyaan itu tetap menempel dan berkelebat di dalam pikirannya. Seperti yang sedang Hoseok pikirkan di awal, apa yang ia lihat hari ini benar-benar menyita perhatiannya. Kembali memukul perasaannya yang tidak benar-benar tenang seperti kelihatannya akan hari yang selalu berusaha ia enyahkan.

Ingatan Hoseok tidak pernah salah. Bahkan Hoseok ingat benar bagaimana ia memperoleh benda tersebut. Sebuah kalung berliontinkan burung merpati dengan sayap berwarna merah dan juga bagian badan yang berwarna emas. Kalung yang tidak pernah ia temukan di tempat kejadian begitu ia mengetahui bahwa wanitanya telah meregang nyawa di tengah waktu keterlambatannya. Satu hari, meski satu hari saja, sejak saat itu, Hoseok mencoba untuk bertahan walau untuk dua puluh empat jam. Namun, ternyata, tidak sesederhana itu.

Vivian, sosok yang menyita seluruh hidup Hoseok dan menenggelamkannya dalam kegelapan. Merantai hatinya, hingga sedikit pun Hoseok sama sekali tidak mampu berpaling dari kehangatan sosok tersebut.

Bahkan Hoseok masih ingat benar, bagaimana darah masih mengalir ke dalam sekujur tubuh wanitanya dan memacu degup jantungnya agar tetap berdebar. Selalu menatapnya dengan hangat berikut dengan tingkahnya yang selalu ceria dan tentu begitu berani. Bahkan Hoseok tidak menemukan sisi ini pada sosok wanita mana pun yang mampu menarik perhatiannya. Hanya Vivian, ya, hanya sosok Vivian Jung yang selalu berhasil memorak-porandakan hatinya.

Sosok yang selalu berhasil membuatnya berdebar khawatir bila Hoseok tidak melihatnya dalam jarak dekat, dan akan begitu sakit bila wanita ini terlihat bersedih. Ingin bertanggung jawab penuh akan setiap tetes air matanya yang selama ini membuat Hoseok memiliki alasan di balik kehidupannya.

Dalam kegelapan, di mana Hoseok kini memilih untuk duduk di atas sofa tunggal yang sengaja ia arahkan menghadap ke jendela berukur besarnya, pria tersebut tersenyum getir. Membiarkan pemandangan kota yang tampak indah itu tersuguh di depan matanya. Namun, kenyataannya, bayang-bayang akan Vivian yang terbujur kaku masih terpaku dalam ingatannya.

Bahkan kalung yang sempat ia lihat hari ini dengan motif yang sama persis, tanpa sengaja, membawanya kembali pada ingatannya ketika mereka berhasil bergabung dalam dunia modeling yang mereka impikan. Tepat, di saat Hoseok memperoleh upah pertamanya yang cukup fantastis sebagai model yang bisa dibilang masih begitu amatir.

Seketika itu ingatan Hoseok tertarik mundur. Dalam pejaman matanya, ia melihat cahaya putih yang amat terang hingga membawanya ke dalam dimensi yang ia tahu benar, hal itu adalah memori sejatinya. Bahkan bagaimana suara Vivian masih terdengar menggema, melayangkan protes, sikap angkuh Hoseok bahkan mengabaikan sikap wanitanya.

“Kau seharusnya tidak perlu memberikan ini. Benar-benar sama sekali tidak cocok untukku!”

Kala itu keduanya sedang berada di dalam apartemen pribadi milik Vivian. Berbeda dengan Hoseok yang begitu mendapatkan gajinya, pria tersebut langsung membelikannya benda yang menurut Vivian tidak berguna. Vivian justru memilih membeli satu unit apartemen di sebuah kawasan yang tidak bisa dibilang cukup elite juga. Namun, cukup strategis karena letaknya tidak jauh dari tempat dirinya bekerja.

Saat itu, dengan sikap egoisnya, Hoseok dengan pemikiran tiada pedulinya, bahkan sampai mengikat kedua tangan Vivian tepat di depannya tanpa permisi yang memberontak mengenakan kalung pemberiannya dengan sehelai pita yang sempat mengikat kotak perhiasan yang membungkus benda tersebut.

Hingga saat itu ekspresi Vivian seketika berubah. Memilih menyerah karena ia tahu, Hoseok merupakan tipikal pria yang begitu memaksa. Mungkin bisa disamakan dengan sikap keras kepalanya. Atau bisa dibilang, sengaja mengimbanginya.
Tanpa adanya keraguan sedikit pun dan mengurungkan niat, Hoseok pada akhirnya tetap menyematkannya pada leher Vivian yang begitu putih mulus, hingga menciptakan seulas senyum simpul di kedua sudut bibirnya. Mengabaikan Vivian yang terus merutuk sebal.

“Cocok atau tidak, bukan kau yang menilai. Kau hanya tidak pernah mencobanya. Selama ini pekerjaan yang menuntutmu untuk mengenakan aksesoris. Tapi lihat, bahkan dengan begini, kau terlihat cantik juga.”

“Cih! Dasar mulut perayu. Meski kau memujiku setinggi langit, aku tetap tidak akan melihatmu,” protesnya akan menanggapi sikap Hoseok yang selama ini memperlakukannya melebihi seorang teman. Lebih pada taraf perasaan seorang pria terhadap seorang wanita yang disukainya.

Namun, bukan Hoseok namanya bila ia menyerah, justru sikap Vivian inilah yang menjadi daya tariknya.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang