Chapter 25

8 3 11
                                    

Kedua netranya yang bergeming menyiratkan sesuatu dan sewarna nyaris menyerupai langit di luar sana, tampak terfokus pada pemandangan yang tersuguh sore hari itu. Memandangi awan berarak secara perlahan membawa mendung berwarna kelabu menutupi kota tersebut.

Entahlah, dalam helaan napas tipisnya yang terdengar ringan di antara riuh pengunjung kafe, pria yang sedang terduduk di atas bangku putih kayunya tepat di sudut ruangan serta ditemani secangkir kopi espresso yang masih mengepulkan asap putih, tetap berada pada posisi yang sama sejak satu jam lalu.

Duduk termangu dengan pandangan kosong menunggu seseorang yang diharap mampu sedikit meredakan rasa sesak yang bergemuruh tepat di dada. Walaupun, sejak dalam perjalanan, dia sendiri tidak begitu yakin akan tujuannya datang berkunjung. Namun, ada satu hal yang benar-benar dia harapkan,  untuk kali ini, dia sangat membutuhkan kehadiran sosok seseorang.

Seseorang, yang tanpa harus berpura-pura, banyak sedikitnya mampu memahami apa yang dia rasakan meski untuk sepintas.
Tak lama berselang, di mana ia begitu larut akan suasana mendung tersebut, suara rintikan hujan di luar sana pun perlahan berubah menjadi deras. Kembali menguak memori usangnya akan hari yang dipenuhi gemuruh petir serta desauan angin. Hanya dipenuhi cahaya kilat guntur yang menyambar seolah ingin memotret apa yang terjadi di masa lalu. Memberikan jejak yang sama sekali tidak akan pernah hilang sedikit pun.

Sesak, seketika itu refleks pria berkulit putih pucat yang berada dalam balutan jaket parkanya pun memejamkan mata diiringi dengan helaan napas berat. Perlahan-lahan ia mulai memijat bagian pelipisnya menggunakan satu tangan yang tiba-tiba terasa pening.

Lagi, satu per satu kejadian yang datang silih berganti kembali merangkak dalam ingatan tanpa permisi. Membawa denyut nyeri yang berhasil membuatnya bergidik ngeri. Sama sekali tidak bisa menyalahkan akan situasi yang ia alami, meski sejujurnya dirinya sendiri juga begitu penasaran, siapa seseorang yang akhir-akhir ini begitu gencar meneror dirinya.

Mungkin akan terasa biasa bila teror yang datang tidak melibatkan suatu yang penting. Namun ini, sama sekali tidak bisa ia lupakan begitu saja. Terlebih yang disinggung adalah suatu memori yang jejaknya bagai duri dalam daging. Benar-benar menenggelamkan dirinya dalam kegelapan sehingga bayangan neraka yang begitu pedih terlihat begitu nyata.

“Tidak biasanya Oppa datang berkunjung. Kali ini apa lagi?”

Suara lembut yang baru hadir tanpa menuntut itu pun berhasil mengusik lamunan sang pria. Terlebih setiap pergerakannya yang sedang menarik kursi dari kolong meja hingga duduk di hadapan sang kakak, sangat menyita atensi.

Begitu menyadari bahwa kali ini ia tidak sendiri, barulah Yoongi menanggapi sembari menyentuh pegangan cangkir seperti ada dan tiada. Terlampau tipis, sampai-sampai kegamangannya selama ini turut masuk ke dalam perihal yang dirinya alami.

“Apa menurutmu aku hanya datang ketika ada masalah?”
tanyanya balik.

Sebisa mungkin menyingkap kecanggungan awal saat bertemu. Meski ia sendiri juga tahu jawabannya. Cukup tahu diri akan presensinya selama ini yang memang terbilang jarang untuk menghabiskan waktu bersama sang adik.

Berbeda dengan sang kakak yang tampak memikirkan sesuatu di balik sikap datar dan tampak seperti biasanya, untuk sejenak dari tempat duduknya, Aeri tampak memperhatikan tanpa langsung menjawab. Sekilas, wajah serius sang kakak menyiratkan bahwa pria yang berada di depannya saat ini merasa begitu terbebani.

Bahkan untuk saat seperti ini, sang kakak pun hanya menunduk menatap lurus ke arah cangkir kopinya yang sedari tadi belum disentuh. Sama sekali tidak menatap Aeri secara langsung seperti biasanya. Jelas, dalam ruang berpikirnya, Aeri mulai menerka sesuatu.

Bila diingat-ingat, sepertinya sejak saat itu, sang adik yakin, sesuatu telah terjadi pada sang kakak tercinta. Dan kunjungannya kali ini pun, mungkin berkaitan dengan hal tersebut. Ingin berbagi perasaan untuk saling memahami biar pun sedikit. Dan entah, dalam hal ini, Aeri dapat mengimbangi dan memahaminya atau tidak.

Setelah membatin selama beberapa detik, Aeri pun menarik napas panjang. Melipat kedua tangannya tepat di dada, berusaha bersikap sewajarnya dan berpura-pura tidak mengendus keanehan apa pun.

“Kalau ingin jawaban jujur ... sepertinya begitu. Tapi kalau Oppa ingin mendengar jawaban yang membuatmu senang, mungkin aku bisa pertimbangkan.”

Dalam sekejap, ucapan ringan Aeri berhasil menyelipkan seulas senyum tipis di salah satu sudut bibir sang kakak. Dan itu pun, benar-benar hanya sekilas sebelum pada akhirnya menghilang, menguap, berbaur dengan suara rintikan hujan yang kini jauh lebih menarik atensi.

Yoongi pun kembali menolehkan kepalanya menatap langit di luar sana yang terhalangi oleh kaca jendela dan tampak berembun. Dan untuk beberapa detik, di saat ia membiarkan pikiran kalutnya tenggelam dalam tatapan kosong, suara seseorang seolah kembali terngiang di dalam rungunya. Suara nyaring dan merdu yang begitu khas dan sangat ia rindukan.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang