Chapter 16 (1)

15 4 0
                                    

Satu bulan kemudian.

“Ya, Oppa! Oppa mau menculikku ke mana, huh?”

Dengan tatapan penuh tanya dan tak habis pikir, suara Heiran yang terdengar seperti sebuah rengekan bagi seseorang, sedari tadi masih menjatuhkan fokusnya pada seorang pria yang kini sedang membawanya entah ke mana. Hanya bisa menurut, patuh dan memperhatikan dengan tenang dari bangku penumpang yang berada tepat di sisi pria tersebut.

Bukannya sebuah jawaban, Heiran justru mendapatkan jaket kulit berwarna hitam milik pria tersebut yang baru saja diraihnya dari bangku belakang. Beralih menyerahkannya pada Heiran yang kini berhasil dibuat bingung.

“Pakailah untuk menutupi bagian rokmu. Terlalu pendek. Apa kau sengaja memakai dress sependek itu di depan seorang pria?”

Benar. Kala itu Heiran hanya mengenakan dress bermotif garis berwarna biru langit dengan warna putih dominan yang panjangnya hanya menyentuh di atas lutut. Heiran seketika itu mengerlingkan bola matanya ke arah dirinya sendiri. Seolah mencari kesalahan yang dimaksud. Mungkin terkesan pendek bila melihat Heiran yang kini dalam posisi duduk. Tapi, dari pada pria tersebut yang terlihat kesal, bukankah Heiran di sini yang harusnya merasa marah?

Bagaimana tidak, dengan seenaknya, pria tersebut telah menghubungi pihak atasan pemilik kafe tempat Heiran bekerja dan memintanya untuk libur sehari. Sebagai gantinya, entah kesepakatannya yang bagi Heiran terdengar konyol, pria tersebut justru mengundang anak-anak panti asuhan agar makan dan minum di kafe tersebut. Turut meramaikan tanpa peduli akan perasaan Heiran yang di sini turut was-was semenjak tadi.

Kendati demikian, tetap saja, tentu dengan begitu tidak ada pihak mana pun yang dirugikan. Justru malah merasa bersyukur karena dengan ada atau tidaknya keberadaan Heiran di sana untuk saat ini, untuk hari itu pemasukan kafe tersebut sedikit lebih mengalami peningkatan dari pada hari biasanya. Sungguh hal yang sedikit tidak masuk akal bagi Heiran. Tapi tidak terlalu terkejut akan bagaimana sosok itu bersikap. Begitu pengertian seperti biasanya. Namun, tidak untuk sikap seenaknya.

Karena merasa bersalah dan mulai menyadari mungkin pakaiannya memang kurang pantas, akhirnya Heiran menunduk. Mengakui kesalahannya. “Maaf. Aku terburu-buru sehingga tidak bisa mempersiapkan diriku dengan baik di depanmu,” ucapnya lemah. Sebelum berganti dengan nada protesnya dengan sedikit menaikkan suaranya. “Namun tetap saja, bukan berarti Oppa boleh bersikap seenaknya. Apa kau tidak tahu, kalau temanku itu begitu kritis tentang diriku yang menghilang tiba-tiba sesuka hati?”

Sekilas pria itu menoleh akibat respons dari Heiran. Sebelum kembali terfokus pada jalanan yang mereka lalui. Kala itu, mobil yang sedang mereka kendarai pun berhenti tepat di belakang zebra cross. Hingga pria tersebut kini baru bisa beralih memandang Heiran dengan penasaran. “Teman? Apa pria yang satu-satunya selain bosmu bekerja di sana itu teman yang kau maksud?”

Sontak Heiran menoleh. Seharusnya sore itu adalah waktu Aeri untuk shift malam, sehingga harusnya pria itu mengetahuinya. Dan bukannya mendapati Han Woojung di sana.
“Apa Oppa tidak bertemu dengan Aeri?”

Dengan mendesis geli, pria itu menjawab seraya kembali melihat badan jalan. “Sepertinya kau lupa bahwa terlalu berisiko bagiku untuk turun tangan secara langsung. Mengingat profesiku yang benar-benar tidak aman. Terlebih setelah apa yang aku umumkan sebulan lalu. Tapi, menurut yang kudengar dari asistenku, sepertinya selain dirimu, memang ada satu lagi wanita yang bekerja di sana. Jadi namanya Aeri, ya?”

Lihatlah, betapa Heiran baru saja dipermalukan oleh pemikiran polosnya. Untuk sedetik, ia lupa akan profesi seseorang yang kini membuatnya dalam masalah. Sehingga seketika itu, Heiran mengeluarkan ponselnya. Ingin mengetahui di mana keberadaan Aeri bila tidak masuk malam ini. Namun, baru Heiran membuka layar ponselnya, pria tersebut sudah meraihnya. Lalu meletakkannya tepat di tempat kecil yang berada di badan pintu.
Hingga Heiran yang terkejut pun sontak kembali merutuk.

“Ya! Hoseok Oppa! Itu ponselku. Kembalikan padaku!”
Heiran refleks mencondongkan tubuhnya guna meraih sisi pintu milik Hoseok. Namun, dari posisi Hoseok saat ini, pria tersebut telah menghalangi usaha Heiran untuk meraih ponselnya. Sehingga mau tak mau, setiap pergerakan yang diusahakan oleh Heiran tampak mengganggu Hoseok. Tidak tahan bila harus diam saja.

“Ya! Apa kau tidak pernah diajari untuk bagaimana caranya bersikap bila sedang bersama seseorang? Bahkan aku tidak menggunakan ponsel di saat seperti ini bersamamu.”
Heiran sontak berhenti di tempatnya. Mencebikkan bibirnya dan meniup poninya hingga terangkat ke atas. Begitu kesal akan argumen Hoseok yang benar-benar sama sekali tidak masuk di akal pikiran Heiran.

“Kalau Oppa menggunakan ponsel di saat seperti ini, itu artinya Oppa sedang berencana membawaku ke alam akhirat. Tapi, bila seperti itu, bukankah ucapan Oppa sama saja? Maksudku, mengambil benda yang jelas bukan milikmu. Itu sama saja mencuri namanya!” Heiran menandas dengan serentetan ucapannya. Namun, hanya ditanggapi ringan oleh Hoseok.

“Hohoho ... sepertinya kau harus meralat ucapanmu. Tindakanku sama sekali tidak bisa disebut sebagai pencuri. Lihat, bahkan aku hanya meletakkannya di sini. Tidak menjualnya atau bahkan membuangnya!” bantah Hoseok dengan menunjuk ke arah ponsel Heiran. Begitu ringan tanpa rasa bersalah.

Saat itu Heiran tanpa sadar menyeringai. “Tidak mencuri? Lalu dengan merebutnya secara paksa apa namanya?”

Hoseok kala itu memilih untuk menjeda perdebatan tersebut dengan menggenggam persnelingnya. Melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan normal. “Sepertinya aku harus ingatkan padamu bahwa aku adalah pacarmu. Jadi selama bersamaku, aku sama sekali tidak mentoleransi gangguan kecil semacam apa pun. Termasuk mengalihkan fokus dariku terhadap layar ponsel sekali pun.”

Entah mengapa, tiba-tiba saja Heiran merasakan suatu gelenyar aneh yang begitu hangat dan berhasil melunakkan sisi lain di dalam sana. Untuk sejenak, ucapan Hoseok berhasil memilin perut Heiran hingga kupu-kupu di dalam sana sontak beranjak dari tempatnya. Membuat kedua pipi Heiran tanpa sadar terasa panas.

Entah karena penghangat mobil yang berhasil menjalankan fungsinya dengan baik ataukah atmosfer di sekitar Heiran yang terasa menurun. Yang jelas, suasana di dalam sana saat itu terasa semu. Bak sebuah bayangan fatamorgana di tengah gurun. Tidak ingin berbangga dan berbesar hati, seketika itu Heiran berhasil dibuat bergeming seribu bahasa. Sama sekali tidak ada rengekan atau pun ucapan agar Hoseok mau mengembalikan ponselnya.

Sekilas Hoseok hanya melirik. Meski di tengah-tengah waktu itu di mana Heiran telah memalingkan pandangannya. Namun, bayangan Heiran masih terlihat jelas dari kaca mobil bagian pintu milik wanita tersebut, Hoseok tersenyum penuh kemenangan. Betapa dengan mudahnya ia berhasil membuat Heiran tersipu. Meski hanya terlihat dari sekilas bayangan yang terpantul tersebut.

Tak lama berselang, mobil Hoseok pun tiba di sebuah kawasan gedung hunian apartemen elite yang berada di tengah kota Seoul. Hanya sekali lirik, dari seperti apa area parkir yang tersedia di dalam gedung tersebut dan sebelum masuk, Heiran sempat menangkap bagaimana bagian depan area masuknya, sontak wanita tersebut pun bergeming, membeku di tempatnya dengan ekspresi gusar.

Beralih untuk mengalihkan perhatian sebelum pada akhirnya mobil Hoseok pun terparkir sempurna. Heiran sekilas meremas jaket milik Hoseok yang sejak diberikan telah berada di agas pangkuannya. Dengan berusaha menarik napas dalam, Heiran berusaha bersikap sewajarnya.

“Ayo turun,” titah Hoseok seraya melepaskan sabuk pengaman yang sempat membelitnya.

Hingga Heiran yang tak mampu menutupi kegugupannya, suaranya kini justru terdengar bergetar. “I-ini ....”

“Aku akan menunjukkan hunianku. Apa kau keberatan?”

Bolehkah Heiran berteriak dan mengiyakan ucapan Hoseok? Bukan karena tidak ingin. Kenyataannya, tanpa sepengetahuan Hoseok, Heiran telah beberapa kali memasuki gedung tersebut hanya untuk mencari keberadaan sosok pujaan hatinya. Menjadikan alasan berkunjung ke rumah Vincente hanya untuk mencari kesempatan agar Heiran bisa mengexplore tempat tersebut.

Terlebih seketika itu bayangan Vincente kembali hadir di dalam pikirannya. Bisa mati Heiran bila Vincente menemukannya dengan Seong Hoseok. Saat itu, dengan mengerjapkan matanya beberapa kali, wajah Heiran yang seketika itu berubah menjadi pias hanya terbata.

“Ak-aku ....”

Hoseok melihat kegugupan Heiran yang begitu kentara. Berusaha menerka, apa yang tersembunyi di balik kegugupan kekasihnya.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang