Extra Chapter 3

11 4 6
                                    

Menjelang malam, Heiran yang baru selesai membersihkan diri dan terlihat rapi dalam balutan dress biru laut bermotif bunga baby birth pun beralih turun melewati tangga melingkar dengan mengandalkan pegangan di sisinya ke lantai pertama di mana kamar Heiran yang berada di lantai dua tiada hentinya dibuat terpesona oleh sosok Hoseok yang kini tampak begitu piawai dengan alat masaknya.

Hanya menghidangkan satu menu yang didampingi dengan sup jamur dan juga rumput laut dengan fillet ikan kakap panggang dan juga hidangan pencuci mulut. Buah semangka dan juga melon yang dibentuk dengan ukiran bunga sehingga tampak estetik.

Seketika itu, Heiran yang melihat dari balik meja counter-nya menunggu di ruang makan sembari bertopang dagu pun tiada mengalihkan atensi. Begitu kagum akan pergerakan Hoseok yang begitu teliti dengan alat pisaunya dengan berbagai ukuran yang memang dikhususkan untuk membuat food art.

Walau sekilas, Heiran pernah melihat bagaimana orang yang ahli dibidangnya drngan apa yang dilakukan Hoseok saat ini begitu kreatif menuangkan apa yang berada di dalam kepala menjadi sesuatu yang dapat dilihat. Menyayat bagian demi bagian dengan membuat pola yang dibutuhkan mulai dari bagian terluar hingga ke dalam membentuk suatu bentuk tiga dimensi. Sehingga hanya sedikit bagian dari kulit terluar yang dibuang dan tetap mempertahankan tekstur yang di dalam. Saling memadukan warna hingga muncul bentuk lain dengan tatanan yang cantik.

Tanpa menutupi kekagumannya yang terpancar jelas dalam binar kedua netranya, Heiran pun berkomentar tanpa sadar.

“Ternyata selain dunia model, Oppa begitu ahli membuat seni makanan. Katakan, sejak kapan Oppa mempelajarinya?”

Hoseok tersenyum. Begitu tersanjung dan mengapresiasi akan pujian tersebut. “Apa aku begitu indah di matamu sekarang? Dua kali lipat lebih tampan di luar profesiku sebagai model. Lebih cocok sebagai seorang suami yang meratukan istrinya. Apa aku benar?”

“Suami-able. Cih, Oppa terlalu percaya diri. Bukan begitu. Aku hanya heran dari mana Oppa belajar membuat seni makanan. Dari caramu memainkan pisau dan membuat pola dengan begitu teliti, lalu menyatukan satu bagian dengan warna yang berbeda dengan bagian yang lain, aku jadi penasaran.”

“Jadi calon istriku sekarang penasaran?” Tanpa mengalihkan pandangannya pada apa yang dia kerjakan, Hoseok tetap meneruskan aktivitasnya. Tinggal memberikan sentuhan akhir, segalanya selesai.

Heiran mengernyit pun menimpali, “Oppa ....”

Sedikit kurang nyaman dengan sebutan yang istimewa itu. Seharusnya normalnya, Heiran atau bahkan kebanyakan wanita di luar sana akan bahagia bila mendengar kata-kata yang penuh puja seperti itu. Akan tetapi, justru sebaliknya.

“Hei, bukankah kita sedang berkencan?” sela prianya. Tahu akan ketidaknyamanan samar yang Hoseok dapat dalam lirikan sekilas. “Aku tahu. Hari ini waktunya kita saling mengenal. Jadi aku akan memperkenalkanmu segera dengan orang tuaku. Ayahku dulu pernah bekerja di restoran western sebagai seorang koki yang begitu ahli dalam menata makanan. Aku sama denganmu, begitu kagum dengan pekerjaan ayah meski aku tidak mengikuti jejaknya. Diam-diam aku memperhatikan hingga atensiku yang menarik perhatian membuatnya mengajariku dengan rela dan senang hati tanpa keberatan sekaligus diminta. Aku hanya belajar ketika memiliki waktu dan memang kami benar-benar senggang. Meski tidak ahli dan baru sedikit, aku hanya membuat bentuk sederhana dan tidak terlalu rumit. Dan sekarang ayahku telah memiliki restorannya sendiri. Apa itu cukup menjawab rasa penasaranmu?”

Heiran tersenyum tersipu. Menutup wajahnya karena benar-benar malu. “Sudah pernah bertemu Daddy bukan berarti aku ingin bertemu dengan orang tuamu segera,” katanya menggarisbawahi ucapan Hoseok di awal. “Bagiku bila sudah bertemu orang tua, hal itu telah begitu serius dalam suatu hubungan. Tapi terlepas dari hal itu, aku salut. Ternyata kemauan Oppa untuk belajar dari hal yang ditekuni begitu besar.”

Hoseok pun mulai meletakkan alat dapurnya ke dalam wastafel. Hendak mencucinya nanti begitu selesai makan malam dan melepas apron yang melekat padanya.

“Heiran-ie, bisa bantu aku menyiapkan hidangan. Aku perlu bantuan.”

Heiran pun mengangguk patuh dan mulai menata meja tanpa perlu diminta dua kali. Mulai meletakkan alat makan dan juga membantu Hoseok menyiapkan hidangan. Walau di tengah-tengah kesibukan itu, sekali, di tengah ada kesempatan, Hoseok memberikan kecupan sekilas di kening Heiran sebelum mempersilakannya duduk dan mulai menikmati hidangan.

Selama makan malam tersebut, keduanya saling berbincang hangat mengenai berbagai topik meski lebih dominan mengenai keluarga masing-masing. Hal yang tidak disukai dan hal apa yang sifatnya khusus. Dan dari situ, keduanya dapat memahami satu sama lain. Mengenai berbagai hal meski kebanyakan mengenai perkembangan karier.

Sesekali Hoseok menanyai keinginan Heiran dan rencananya di masa depan dengan bertukar pandangan. Walaupun di saat Heiran bersikap dengan kejujurannya, ada kalanya Hoseok merasakan hatinya berdesir. Ada rasa tidak rela yang sulit dijelaskan. Betapa Heiran begitu mirip dengan Vivian yang memiliki ambisi untuk kariernya. Di saat itu, ada ketakutan sendiri yang dirasakan oleh Hoseok di waktu bersamaan.

Bukan karena tidak menyukai karier dan impian wanitanya. Namun, lebih menjurus bagaimana kelak keduanya ketika berkeluarga. Dan di waktu yang sama, Hoseok tanpa sepengetahuan Heiran mulai memikirkan cara agar pria itu tidak kehilangan wanitanya dan tidak menyinggung perasaan sang kekasih.

Banyak hal yang Hoseok pertimbangan di dalam pikirannya yang aman. Termasuk akibat dari masa lalu yang turut andil dalam trauma wanitanya yang memang, untuk hal itu Hoseok tidak bisa menuntut apa pun. Meski minggu lalu begitu menyakitkan bagi keduanya di mana pertemuan kembali itu setelah berpisah cukup lama keadaannya benar-benar tidak sesuai harapan dari masing-masing pihak. Namun, satu hari ini, Hoseok benar-benar tidak siap bila harus mengantar Heiran ke Paris keseokan harinya. Dan sungguh, terpisah jarak membuat Hoseok juga memiliki traumanya tersendiri.

Tiba-tiba saja pria itu merasa kelu. Apa segalanya akan berjalan baik-baik saja?

Tidak tahu. Dalam waktu yang relatif sempit itu Hoseok sama sekali tidak bisa memikirkan dan memutuskan apa pun.
Begitu makan malam berakhir, di mana Heiran kala itu memilih berdiri di atas balkon yang terbuka dan memandangi pantulan mengata di atas permukaan air laut, sebuah dekapan hangat tiba-tiba membelit perut Heiran yang rata secara sempurna. Terselip di antara kedua lengannya dengan kecupan yang sedikit pun Heiran juga tidak melewatkannya.

Membiarkan prianya mengecup pundaknya yang memang sedikit terbuka tanpa ingin menghalangi. Hanya terfokus pada desiran angin dengan gemuruh ombak yang menenangkan. Melihat bagaimana gulungan ombak tersebut perlahan menghilang begitu menyentuh bibir pantai. Meski tanpa sepengetahuan wanita tersebut, di belakangnya, sosok ini merasa hal yang begitu berbeda. Perasaan enggan yang sulit untuk diungkapkan.

Dan dalam posisinya, di mana Hoseok sengaja menyandarkan kepalanya tepat di area perpotongan bahu dan leher, pria itu bergumam. “Kau yakin besok akan kembali? Apa aku tidak cukup menjadi alasanmu untuk tetap membuatmu tinggal di sini?”
Jujur, deru napas Hoseok yang samar di mana setiap embusannya menyapa permukaan jaringan epidermis milik Heiran pun meremang. Walau yang menarik atensi adalah ada ketidakrelaan di sana di mana kala itu, Heiran yang menarik napas samar turut membuat Hoseok menaikkan kepalanya karena pergerakan bahunya yang turut terangkat. Merasa sulit menghadapi situasi ini.

Dan dengan mengusap tangan Hoseok pelan, Heiran pun menimpali. “Kau tahu kan ada pekerjaan yang sama sekali tidak bisa aku tinggalkan?”

Hoseok dan Heiran pun kala itu sama-sama menoleh. Beradu pandang untuk beberapa detik. Dalam jarak sedekat itu, Heiran dengan fantasinya seolah ingin merealisasikannya. Namun, lebih menahan diri dan kembali memusatkan fokusnya ke depan. Mengalihkan pandangan dengan segara dan mengamati sekeliling. Walau Heiran yakin, Hoseok menyadari perubahan degup jantungnya yang berdebar. Betapa atmosfer di sekitarnya serasa memanas.

Hoseok sendiri semakin menenggelamkan dirinya di sana. Terus menggelayut wanitanya semakin mendekatkan diri. Sama sekali tidak bisa melepaskan sosok ini.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang