Chapter 11

7 3 8
                                    

Sejak kejadian hari itu, seminggu berselang, Heiran terlihat tampak lesu. Tak ayal, sesekali, dalam diamnya, Aeri kala itu hanya memperhatikan perubahan sikap Heiran yang akhir-akhir ini lebih banyak diam dan termenung. Entah apa yang terjadi dan kini wanita tersebut rasakan. Namun, rasa-rasanya kala itu Heiran memang terlihat baru saja telah melewati hari yang begitu berat dan buruk.

Tidak hanya di sana, bahkan dalam satu minggu ini, perubahan Heiran begitu kentara. Tampak lesu dan terlihat tidak menaruh minat pada apa pun. Bahkan pada saat jam makan siang, Heiran kelewat sering melewatkan jam makan siangnya dan hanya memberikan perutnya asupan susu atau pun terkadang kopi. Kantung mata yang teelihat di bawah garis kelopak matanya tak mampu menutupi kondisi Heiran saat ini. Sehingga tak kuasa, sebagai sahabat baiknya pun, Aeri bertanya.

“Eonnie, apa terjadi sesuatu?” tanyanya penuh khawatir dan selidik. Sengaja memelankan suaranya agar terdengar lembut dan penuh perhatian. Di mana lawan bicaranya, tiba-tiba saja tersenyum hambar. Tidak langsung menanggapi, hanya menunjukkan ekspresi yang terlihat miris. Nyaris seperti seseorang yang baru saja patah hati.

Dengan ekspresi datarnya yang tampak dinaungi awan kelabu, Heiran menarik napas pelan. Sebelum menghelanya hingga kedua bahunya turut merosot. “Tidak ada. Hanya ... akhir-akhir ini aku merasa lelah,” akunya.

Meski tidak secara pasti dan keseluruhan. Masih ada yang Heiran sembunyikan walaupun ia tahu, Aeri begitu peka akan perubahan suasana hati seorang Heiran. Bahkan naik turunnya, tak ada satu pun yang luput dari penglihatan Aeri.

Untuk sejenak, Aeri tampak menelisik. Meraih kedua tangan Heiran di mana keduanya kini sedang terduduk di dalam ruang ganti guna istirahat sebentar. Masih begitu ragu untuk mempercayai setiap ucapan Heiran yang tampak berbanding terbalik.

“Gwenchana? Sepertinya, Eonnie mengalami hari yang berat.”
Dari pada hari yang berat. Mungkin asumsi Aeri lebih tepat diartikan sebagai rasa ketidaksiapan. Betapa perasaan Heiran saat ini sungguh begitu terguncang akan apa yang ia lihat. Meski ingin mengenyahkannya. Namun, hati kecil dan pikirannya seolah memiliki pemikirannya sendiri. Ingin menampik guna membuat hatinya merasa baik-baik saja, padahal, sungguh perasaannya dalam satu malam kala itu sontak merosot. Masih begitu gamang atas hal yang terjadi di depan matanya.

Terlebih panggilan sayang anak kecil tersebut. Bisakah, Heiran tidak mengartikan apa pun? Seketila itu Heiran menghela napas kasar seraya menyugar surainya. Menariknya kuat sejenak, hanya untuk menahan air matanya agar tidak meluruh. Betapa ia seolah merasa patah hati akan kejadian tersebut. Sehingga sulit bagi Heiran untuk menjelaskannya. Walau hanya mengatakan ucapan bahwa dirinya baik-baik saja.

Lagi, Heiran menjadikan bibir bawahnya sebagai korban gigitan dari deretan giginya yang tajam guna menekan perasaannya yang terlampau sakit. Lalu kembali menoleh ke arah Aeri dengan seulas senyum yang terkesan dipaksakan.

“Tidak apa-apa. Hanya perubahan suasana hati. Jadi kau tidak perlu merisaukannya. Akhir-akhir ini aku memang banyak pikiran. Tapi tidak, tahu bagaimana caranya melampiaskannya.”

“Em, bagaimana kalau hari ini menginap di rumahku saja? Dengan begitu, Eonnie tidak akan merasa kesepian, sehingga tidak memberikan ruang bagi Eonnie untuk berpikir yang tidak-tidak dan memperburuk keadaan.”

Tidak ada yang salah dengan pemikiran Aeri yang tampak peduli ingin membantu Heiran agar tidak terlalu memikirkan apa yang membuatnya khawatir. Namun, Heiran tetaplah Heiran. Dan apa yang terjadi, kenyataannya memang berhasil melumpuhkannya.
Maksud hati ingin seperti itu bila hal tersebut memang sesederhana itu. Namun, Heiran menggelengkan kepalanya tak yakin. Kenyataannya, sosok tersebut, sosok yang sejak kemarin ia lihat dan tertambah dalam hatinya berhasil mengubah semestanya. Termasuk menginvasi seluruh ruang pikirannya sendiri. Sehingga Heiran merasa dalam ruang yang sepi di mana hanya ada dirinya sendiri pun, ia tetap merasa tidak leluasa. Padahal, pikirannya adalah ruang berpikir miliknya sendiri.
Saat itu, tanpa ingin membuat cemas, lagi-lagi Heiran tersenyum dengan penuh yakin kali ini.

“Terima kasih. Tapi kurasa ... tidak perlu. Aku hanya merasa lelah. Mungkin beristirahat yang cukup, akan membuatku merasa lebih baik.”

Padahal sudah satu minggu, tapi dampak yang diciptakan, sungguh Heiran tidak bisa menampik rasa kecewa yang tiba-tiba terus bergelayut tersebut. Mengikis perasaan tulusnya yang begitu rapuh.

Meski enggan, Aeri pada akhirnya menyerah, mengangguk paham. Tidak ingin memaksakan Heiran yang sudah seperti kakak kandungan sendiri. Sehingga ia mengangguk. Membiarkan Heiran tetap mendapatkan ruang privasinya dan memperoleh ketenangan. Tidak sadar, begitu kafe tersebut mengakhiri aktivitasnya, seseorang dari kejauhan tampak mengawasi. Sebelum pada akhirnya memilih berlalu pergi dan menghilang ke ujung jalan di tengah kegelapan di mana pencahayaan lampu kala itu tidak begitu baik.

***

“Bagaimana kabarmu?”

“Apa Oppa sudah makan?”

“Eoh, kapan kita akan bertemu lagi? Apa Oppa tidak merindukanku?”

Satu hal dari definisi rindu yang begitu sakit adalah, ketika rasa rindu itu berakhir menjadi sebuah duri dalam daging. Membekas, tanpa mampu untuk disalurkan. Bahkan untuk melepaskannya, rasa-rasanya, hanya membayangkannya saja, hal itu cukup sulit.
Meski jiwa masih menempati sebuah raga, bahkan bibir yang sanggup berucap kala itu pun tak akan pernah sanggup membangkitkan seseorang yang telah pergi. Tiada, di mana keduanya menempati ruang dimensi yang berbeda.

Benar. Pada akhirnya, pria tersebut terjebak dalam ruang rindu yang tak terbendung. Berakhir di sebuah labirin di mana hanya ada kegelapan yang tak satu pun bersedia memberikan petunjuk. Entah sudah berapa malam yang ia habiskan, untuk ke sekian kalinya, hanya ponsel yang merupakan benda mati tersebut yang sanggup menghiburnya.

Maksud hati ingin melupakan kenangan masa lalu yang begitu pahit. Namun, malam hari yang sebagian banyak orang begitu dinantikan setelah menjalani rutinitas yang menjemukan sehingga bisa beristirahat melepas penat sejenak, hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang begitu membenci malam.

Meski terbilang tidak penting dan tampak terlihat kurang kerjaan, pria tersebut dalam kesunyian hanya bisa tersenyum miris di saat hati terasa teriris. Perih. Begitu nyeri, sampai-sampai rasa rindu itu mampu menyekat tenggorokannya hingga menyempit. Tidak menyisakan ruang sedikit pun walau hanya untuk menghela napas.

Pria tersebut hanya bisa melampiaskannya sebagai bentuk pelarian dengan bantuan menggenggam benda tersebut begitu erat. Seolah menggantikan sebuah uluran tangan yang dulu terasa hangat dalam genggamannya. Akan tetapi miris, begitu kedua kelopak matanya terbuka sempurna, bayangan yang diciptakan saat kelopak mata itu tertutup pun pada akhirnya menguap.
Bekerja melebihi batas waktu pun tak cukup mampu menghalau rasa rindu itu dan menenggelamkannya. Sehingga sosok tersebut hanya bisa tertawa hambar. Betapa kali ini hatinya terasa mati rasa.

“Seharusnya tidak begini. Tidak dengan cara pergi seperti ini.”
Lirihnya bersamaan dengan seulas senyum getir yang seketika itu tercipta di salah satu sudut bibirnya. Di mana dalam kegelapan itu, sosok tersebut lebih memilih mengenang apa pun. Seolah ingin mengukir setiap ingatan agar tetap terpatri abadi.

Sengaja mengusap pelan permukaan benda pipih tersebut dengan ibu jarinya yang begitu ia membuka kunci layar pada ponsel tersebut, lookscreen akan wajah seseorang terlihat kembali di sana. Meski bukan senyuman. Namun, dari bagaimana wanitanya tampak berpose memeluk dirinya sendiri dengan lirikan penuh artinya, selalu berhasil membuat debar yang begitu intens dalam dirinya. Menciptakan vibrasi pada hatinya yang kini terasa hampa.

Sungguh, bila waktu bisa kembali berputar, ia ingin kembali ke masa di mana ia secara sadar pada akhirnya ingin menua bersamanya. Akan tetapi takdir yang berbalut emosi lebih cepat mengantarkan nyawa wanitanya hingga pada akhirnya menghilang. Hanya beberapa menit dan segalanya terasa menguap bagai kepulan asap yang akan menghilang begitu berbenturan dengan angin yang senantiasa melewati dirgantara.
Hanya ada ingatan di mana pria tersebut merosot di bawah kaki orang yang dicintainya. Mencabut setengah nyawanya yang berakhir dalam penyesalan.

Lagi, hanya ada kalimat tak berguna yang tiada hentinya selalu ia ucapkan di setiap embusan napasnya. “Mianhae, Chagiya.”
Di dalam keheningan di mana ia sengaja mematikan seluruh penerangan dalam ruangannya, tubuh itu perlahan bergetar. Kehilangan kendali atas sosok tegarnya diiringi isak tangis dalam kesunyian yang terdengar. Padahal lima tahun telah terlewat. Namun, selama itu, ia tidak bisa mengusir apa pun. Melupakan apa pun yang semakin waktu berjalan, kenangan itu semakin jelas terlihat. Kembali membelenggu dirinya dalam sebuah dekapan yang mampu menciptakan rasa sakit.

Saat itu deru napasnya serasa terputus. Pria itu hanya bisa menggeram dengan menekan suaranya agar redam. Betapa dadanya tiba-tiba saja terasa menyempit. Hingga pada akhirnya, tangisan yang sarat akan kepiluan kembali membuainya dalam satu malam lagi. Bertahan di tengah hati yang sejujurnya selama ini berusaha ia tekan.

***

“Sampai detik ini, aku masih belum bisa melupakanmu. Apa kau baik-baik saja di sana?”

Ruang yang hening itu hanya diisi oleh gumaman monolognya. Di sebuah krematorium, di mana di dalam diamnya, kedua netra berwarna gelapnya menyadari akan hari itu. Langit gelap yang memilukan kini telah tergantikan dengan sinar mentari yang tampak memucat.

Masih dalam posisinya berdiri, di hadapan sosok tersebut, pria tersebut berusaha menarik seulas senyum. Meski di dalam sana, denyut nyeri perlahan-lahan masih bergelayut manja. Menyisakan sesak yang pada akhirnya benar-benar menenggelamkannya dalam pesakitan.

Dengan kedua tangan yang ia sembunyikan di dalam saku celananya, pria tersebut berusaha tetap memberikan senyum terbaiknya. Tidak ingin, orang yang kini abunya telah tersimpan rapi dalam rak di sebuah krematorium turut bersedih hanya untuk menyaksikan kunjungannya kali ini.

“Aku harap kau merasa tenang di sana.”

Lagi, hanya senyum miris yang begitu rindu yang kali ini menghiasi wajahnya. Bahkan mau menutupi seperti apa pun, tatapan rindunya tak mampu terhalangi oleh apa pun. Hanya untuk menahan derai gerimisnya agar tidak meluruh, ia harus rela menjadikan bibir bawahnya sebagai korban gigitan dari gigi-giginya.

Lalu kembali mengajak foto yang menampilkan gambaran seseorang itu bicara. Di mana wajah ceria sang wanita tampak begitu damai dan bahagia.

Pria tersebut menghela napas panjang. Sebelum pada akhirnya melanjutkan dengan mempertahankan senyumnya. “Lima tahun ... hari ini tepat dengan hari kepergianmu. Kau tahu aku sama keras kepalanya denganmu, kan? Kematianmu ... sungguh aku tidak bisa menerima kepergianmu yang seperti ini. Harusnya kau menungguku. Memberitahuku apa yang membuatmu hingga begitu tertekan dan memilih jalan ini. Aku tidak akan menyalahkanmu yang tidak ingin bertahan. Tapi aku harap ... dengan melihat dan mengawasinya dari sana, aku ingin kau tetap merasa senang. Betapa dirinya mengingatkanku akan dirimu. Meski ada satu bagian yang tetap dalam hati aku menolaknya.”

Dengan mengulum bibirnya sekali, pria tersebut berusaha menata hatinya yang sudah tidak berbentuk. “Maafkan aku yang terlambat. Jika kau tidak mau memberitahuku, aku akan mencarinya sendiri. Nah ... lain kali aku akan mengunjungimu. Tapi kali ini jangan menungguku. Karena aku yakin, kau tahu kan alasannya? Aku mencintaimu, Vivian.”

Ya, pria itu sengaja mengucapkannya agar wanitanya tidak menunggu. Karena saat ia mengucapkan pada wanitanya untuk menunggu, yang terjadi berikutnya justru meloloskan seluruh tulang-tulang sekaligus persendiannya hingga remuk. Walaupun, ia sadar, hal itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.
Dengan senyum terbaiknya, pria itu meninggalkan tempat tersebut. Berjalan membelakangi sosok yang ia yakin senantiasa mengawasinya. Tanpa mampu, menghalau denyut nyeri yang terus hadir menyesaki dadanya.

***

Pening. Malam itu Heiran benar-benar merasakan kepalanya begitu sakit. Daya tahan tubuhnya pun seolah turut merosot drastis. Entah sudah berapa kali ia mengabaikan banyak pesan. Bahkan pesan dan panggilan dari Vincente, Heiran sungguh tidak menggubrisnya walau ia tahu.

Sungguh menyedihkan. Ironi, berada dalam kondisi patah hati sepihak seperti ini. Tidak menyangka, bahwa dampak yang ditimbulkan benar-benar membuat Heiran seolah kehilangan semangat hidupnya.

Padahal Heiran tahu, bahwa dunia yang mereka tinggali berbeda. Hoseok dengan kehidupan permodelannya yang kini begitu dikenal oleh publik. Sedangkan Heiran, hanya seorang barista kafe biasa yang sama sekali tidak bisa dibandingkan. Tidak memiliki pekerjaan yang bisa dipandang sebagai pusat sorotan khalayak ramai. Termasuk kehidupan pribadinya yang layak untuk disorot dan menjadi konsumsi publik.

Kala itu, seperti biasanya, Heiran tidak menaruh minat pada hal apa pun seusai bekerja. Hanya ada berdiam diri tanpa melakukan apa pun di dalam apartemennya. Selain sedang berada dalam mood yang tidak baik, Heiran juga terlalu lelah untuk melakukan aktivitas apa pun di tengah kondisinya yang benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

Kecewa, mungkin hal tersebut yang menjadi sumber masalah mengapa Heiran begitu lemah hari ini. Dan sialnya, sebelum perjalanan kemari, Heiran yang telah membeli obat pereda rasa nyeri di kepala benar-benar lupa untuk membawa obat yang dibelinya untuk turut serta bersamanya.

Mau tak mau, niat hati ingin langsung beristirahat setelah menyantap makan malamnya dan minum obat, justru kini di sinilah ia. Berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada dinding lift dan memanfaatkannya agar ia tidak merosot. Terkesan bahaya di saat kondisi tubuhnya yang melemah. Namun, Heiran tidak memiliki pilihan.

Bisa saja ia mengandalkan layanan pesan antar untuk membeli obat kembali. Akan tetapi terlalu sayang menumpuk banyak obat yang belum tentu sering ia gunakan. Mungkin bila hari itu Heiran tidak mengikuti insting dan rasa penasarannya, mungkin sosok tersebut masih terlihat sempurna di matanya, ya, paling tidak ia tidak mengetahui apa pun. Tapi bila begini, ia benar-benar ingin merasa amnesia saja. Walaupun pada akhirnya hal ini terdengar mustahil.

Di dalam lift, Heiran sembari memejamkan matanya. Berusaha mengatur jalurnya napas seraya menahan rasa sakit di kepala. Membiarkan ruang otomatis yang memiliki ruang terbatas itu turun membawanya. Sama sekali tidak memedulikan sekitar, meski dalam pejaman matanya, rungunya yang masih awas juga mendengar dentingan bunyi lift yang berhenti. Begitu yakin, bahwa lift yang dihuninya kini tidak bersifat pribadi lagi.
Bahkan bagaimana suara langkah kaki beberapa orang yang memasuki ruang tersebut terdengar, Heiran benar-benar mengabaikannya. Kepalanya terlalu pening walau hanya membuka mata. Sehingga ia hanya terfokus pada dirinya agar tidak jatuh.

Hingga saat Heiran begitu yakin elevator yang ia tumpangi benar-benar berhenti, barulah ia membuka mata. Menyambut bayangan pantulan pucat wajahnya dari atas sana yang seolah menatapnya di bawah sini. Tidak menyadari atau bahkan memikirkan apa pun, pikirannya terlalu kosong di saat kepalanya terasa berat.

Namun, saat pintu otomatis benda tersebut terbuka, suara blitz kamera yang beruntun dengan suara-suara berkerumun begitu mengusik rungunya yang kala itu, dengan malas, Heiran masih menatap langit-langit elevator. Akan tetapi begitu Heiran menjatuhkan fokus lurusnya, sumpah demi apa pun, penampilannya yang memucat kini tengah berhadapan langsung dengan wajah seseorang di mana satu tangannya sudah bertumpu pada dinding lift tepat di sisi kiri kepala Heiran.

Jarak yang tercipta kala itu pun hanya sejengkal. Sontak waktu kala itu seolah bergulir melambat, di mana kesadaran Heiran yang sejak tadi berusaha ia paksakan justru semakin berdenyut menusuk. Menambah bobot rasa sakitnya yang semakin tidak tertahankan. Akan tetapi, sorot mata itu, Heiran begitu mengenalinya walau berada dan tersembunyu di balik masker.

Tanpa sadar, bibir Heiran pun bergumam lirih. “Oppa.”
Sekilas, pria itu mengerlingkan pandangannya pada Heiran, di mana untuk sesaat netra keduanya saling terpaku, sebelum sebuah perintah begitu memekakkan telinga Heiran bersamaan dengan kesadarannya yang telah merosot. Meski samar, di tengah rasa sakit yang mendera dirinya, Heiran masih bisa mendengar suara berat pria tersebut.

“Tutup pintu liftnya segera!” Titah sang pria yang Heiran yakin hal tersebut ditujukan pada orang-orang yang bersama sosok ini.
Heiran yang merasakan tungkainya lemas, tak kuasa menahan berat tubuhnya lagi. Hingga sontak, Heiran pun merosot nyaris kepalanya membentur lantai elevator. Namun, orang tersebut berhasil menahan kepala Heiran sekaligus tubuh sang puan lebih dulu sehingga tubuh Heiran tidak menyentuh lantai lift.

Namun tetap saja, sosok yang mendekap Heiran kala itu turut panik. “Ya! Nona! Gwenchana?! Ya! Sadarlah!” sosok itu berusaha membangunkan wanita tersebut dengan menepuk pipi Heiran beberapa kali agar sadar. Akan tetapi setelahnya, tidak ada respons apa pun.

Kala itu Heiran benar-benar kehilangan kesadarannya. Entah karena rasa sakitnya, atau terkejut akan sosok yang berada di depannya dalam jarak sedekat itu. Tidak tahu, tidak satu pun di antara keduanya yang kini mudah dipahami.




























😃😃😃😃😃

Hua.... akhirnya bisa update lagi...
Gimana weekend kalian?
Tetep semangat yag.

Hehehe... kira kira siapa yag yang dilihat mbak Hei? Wah aku penasaran...
Sini tebak...
Kalo bner ku kash satu chpter 1🤣🤣🤣

See u next part🌻🌻🌻🌻

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang