Chapter 21

11 3 4
                                    

Heiran yang pada akhirnya entah sejak kapan mulai terbiasa dengan aktivitas barunya, kini dapat menyesuaikan dengan sendirinya. Menganggap bahwa Viona kini merupakan salah satu bagian dari hidup serta tanggung jawabnya.

Meski hubungan keduanya tidak bisa dibilang seperti seorang ibu dan anak. Namun, beberapa bulan semenjak ia menjadi kekasih Hoseok, Heiran lebih banyak menghabiskan waktu dengan Viona yang cukup dirasa menyenangkan. Sedikit mengingatkan dirinya akan kenangan masa lalu yang begitu manis.

Masa kanak-kanak, di mana segalanya terasa ringan tanpa beban. Teringat benar akan sosok ibunya yang selalu menyambutnya dengan pelukan hangat dan di saat rasa nostalgia itu muncul, tanpa diminta hatinya pun turut bergetar. Ya, walaupun untuk kali ini, tarafnya mungkin sedikit berbeda. Lebih terlihat seperti seorang teman atau seorang kakak.

Sama halnya dengan ikatan yang terjalin dengan sendirinya antara Heiran dan juga Aeri. Tidak terlalu jauh berbeda. Hanya usia saja yang membedakannya di mana Heiran benar-benar berusaha untuk masuk ke dalam kehidupan Viona.

Betapa untuk sejenak, ada kalanya Heiran pernah mendapati ekspresi Viona yang terlihat rindu akan sosok ibunya. Dan di saat gadis kecil itu mulai merasa sulit mengendalikan emosinya yang merasa kesepian di mana harapan kecil mungkin datang silih berganti dalam bentuk bayangan yang ingin dilihatnya, di situlah Heiran selalu memberikan pelukan hangat. Meyakinkan Viona bahwa sesungguhnya, orang yang ia cintai tidak benar-benar pernah meninggalkan mereka. Hanya berpindah tempat dalam mengawasi mereka dari atas sana.

Tentu semula ada sedikit pemberontakan kecil dari Viona untuk mengendalikan hati kecilnya yang rapuh dan polos. Namun, begitu Viona juga mengetahui akan nasib keduanya yang terbilang sama, barulah gadis kecil itu merasa tenang. Begitu mempercayai setiap ucapan Heiran yang terdengar menyejukkan. Tentu, tetap di dalam sana, Heiran juga masih mengakui ada pergolakan batin.

Ada masanya ia tidak bisa menghalau rasa rindu itu. Dan berakhir dengan dirinya yang hanya meringkuk tepat begitu mendekati hari peringatan kematian ibunya. Namun kali ini, hari ini Heiran tidak begitu mengerti. Ada sedikit perubahan tipis, akan tetapi selama itu Heiran berusaha mengenyahkannya. Entah apa yang ia rasakan, Heiran bahkan tidak mengetahui bentuk pastinya. Yang hatinya tahu, ada suatu kecemasan yang hadir tanpa diundang dan sanggup mencekat tenggorokannya hingga lidahnya terasa kelu.

Ragu. Heiran begitu gamang akan kekhawatiran yang dirinya sendiri tidak mengerti. Sehingga tanpa sadar, di saat Viona berlari mendekati Hoseok yang baru tiba siang hari itu, Heiran masih terdiam di tempat dengan lamunannya.

“Daddy!” seru Viona menghambur ke arah pelukan Hoseok.
Dan seketika itu, Heiran tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara Viona yang terdengar ceria seperti biasanya. Tetap berdiri di tempatnya mengawasi akan interaksi yang terjadi antara ayah angkat dan anak tersebut.

“Bagaimana keadaan Tuan Putri Daddy, hm? Apa kau bersikap baik hari ini?”

Dengan anggukan riang dan pasti, gadis kecil itu menjawab. “Hm. Viona tidak merasa kesepian lagi karena ada Bibi Heiran.”

Hoseok yang telah meraih Viona dalam dekapannya pun menimbang sejenak.

“Benarkah? Kau sungguh tidak menyusahkan Bibi Heiran?” ada nada tak percaya di sana.

Lain halnya akan yang dirasa Hoseok dan Viona. Entah mengapa, sesuatu baru saja terasa mengetuk pusat dada Heiran. Seketika itu  Heiran mengerutkan dahi. Menangkap sesuatu yang terdengar ganjal.

Mungkin harusnya ini terdengar biasa. Akan tetapi ada hal yang dirasa Heiran tidak demikian. Bagaimana baru saja Hoseok menyebutnya tidak seperti biasanya. Namun, tetap, Heiran pada akhirnya menampiknya. Karena mungkin ada kalanya secara refleks seseorang hanya mengulang kembali apa yang ia dengar. Terlebih dari ucapan anak kecil.

Heiran yang kala itu ingin menyampaikan keinginannya pun memilih diam dan menunggu giliran. Hingga Hoseok sendiri yang pada akhirnya membuat Viona meninggalkannya bersama Heiran begitu menerima anggukan dari Viona.

“Baguslah kalau begitu. Bisa tinggalkan Daddy sebentar? Ada hal yang ingin Daddy bicarakan dengan Bibi Heiran.”

Dengan begitu penurut dan sifat cerianya yang pengertian, Viona mengangguk dan tersenyum. Memilih mematuhi setiap ucapan Hoseok dan berlari menuju kamarnya. Sebelum pada akhirnya iris mata Heiran yang berwarna kecokelatan bertemu dengan sepasang netra Hoseok.

Awalnya Heiran begitu ragu. Namun, pada akhirnya ia mengucapkannya tatkala eksistensi Viona telah menghilang dari ruang tamu tersebut. Dengan meremas jari jemarinya, Heiran berusaha mengenyahkan kegugupan yang sedari tadi membuat degup jantungnya abnormal. Mengingat, hal ini adalah pertama kalinya Heiran meminta dengan kesadarannya. Bukan menunggu ajakan dari sang kekasih.

“Oppa, apa malam ini Oppa memiliki waktu untuk berkencan denganku? Sepertinya sudah seminggu ini ....” Heiran menjeda. Menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Entah mengapa, tatapan Hoseok kali ini, membuat keberaniannya sedikit menguap. Aneh. Terasa lain. Namun, bagaimana pun ia tetap berusaha menguasai hatinya yang masih bergemuruh. Ingin sekali mendapatkan waktu yang berkualitas di hari istimewanya.

“Oppa terlihat sibuk. Jadi ... bila Oppa tidak keberatan dan memiliki waktu, aku ingin ....”

Belum sempat Heiran menyelesaikan ucapannya, Hoseok sudah menyelanya dengan begitu santai. “Maaf, aku tidak bisa.”
Heiran yang refleks menunduk kala mendengar kalimat penolakan tersebut, pada akhirnya hanya bisa menerima pahitnya jawaban Hoseok. Padahal beberapa hari ini, ia telah membayangkan akan makan malam yang begitu istimewa di hari ulang tahunnya.

Namun, sepertinya Heiran harus mengurungkan niatnya. Bahkan bila diingat, hari ini pun Hoseok tidak memberikan ucapan selamat untuknya. Miris, tanpa Heiran sadari dalam diamnya ia seperti mengasihani dirinya sendiri. Sedikit memikirkan, mungkin ia harus tahu di mana tempatnya.

Hening, ada kesunyian sebentar yang tercipta dalam beberapa detik. Dan selama itu, Heiran menata hatinya agar tidak merasa buruk dan berusaha menampilkan senyumnya. Begitu merasa dirinya baik-baik saja, Heiran dengan binar matanya yang tampak ceria dan pengertian pun hanya bisa menjawab.

“Eo-eoh. Begitu ya? Baiklah, tidak apa-apa,” ucapnya lirih. Namun, masih cukup bisa didengar.

Hoseok yang sudah duduk di sofa dan berusaha mengistirahatkan tubuhnya hanya melanjutkan. Mengabaikan nada bicara Heiran yang sesungguhnya terdengar kecewa dengan mata terpejam. Sama sekali tidak melihat ekspresi Heiran yang kala itu telah menjatuhkan atensi padanya. Namun jujur, Hoseok melakukannya bukan tanpa alasan. Malam ini benar-benar ia memiliki acara sendiri dan bukan kebohongan yang dibuat-buat.

“Malam ini aku harus menghadiri sebuah undangan. Urusan pekerjaan. Jadi jangan berpikir macam-macam. Bukan tidak ingin. Namun memang, undangan ini sifatnya sangat penting karena berhubungan dengan karierku. Mungkin kita bisa berkencan di lain waktu.”

Saat itu Heiran menarik napas dalam. Berusaha memahami akan permohonan Hoseok yang memang terdengar datar.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang