Chapter 53

11 4 10
                                    

Keesokan paginya, kabar mengenai kejadian nahas yang menimpa seorang model ternama Seong Hoseok dengan cepat beredar memenuhi seluruh media Jagad raya di mana dalam satu waktu, hal tersebut berhasil menuai opini dan menarik perhatian publik.

Tentu, tak terkecuali oleh pria yang kala itu dalam balutan baju santainya dengan segera menekan tombol off  pada remote kontrol yang dipegangnya ke arah TV. Lalu langsung beralih menyentuh salah satu bahu wanitanya di mana sosok tersebut tampak bergeming pias.

Rona pipinya yang semula terlihat cerah dan hidup mendadak memucat disertai dengan deru napas yang naik turun. Tahu benar, apa yang menyebabkan wanita yang begitu dia lindungi ini menjadi seperti sekarang. Tak luput akan kejadian yang tidak jauh berbeda dan telah berlalu dua tahun lalu. Membuat sosok tersebut mengeratkan tangannya dengan mata terpejam seolah menekan sesuatu di dalam sana.

Entah bagaimana harus menjelaskannya. Yang pasti, pria ini begitu paham akan apa yang tertangkap oleh kedua netranya. Bahkan permukaan pelipis wanitanya, sama sekali tiada lolos dari peluh dingin yang perlahan muncul. Seketika menciptakan desir kekhawatiran di sana.

“Hei ... kau baik-baik saja? Mau aku pastikan?”

Tentu, pria yang begitu pengertian ini, bahkan tanpa harus menjelaskan apa yang menjadi sumber kegelisahan sang wanita, dapat membaca secara tepat apa yang dirasakan oleh Heiran. Seolah ada satu jalur hubungan yang tak kasat mata itu. Namun, dapat dipahami, saling terkoneksi satu sama lain. Sampai-sampai, Heiran tidak tahu bagaimana sang pria dapat melakukan hal itu.
Akan tetapi, dengan lemah, tanpa adanya isyarat penolakan dari tawaran yang didengarnya pun Heiran menjawab.

“Maafkan aku Vin.”

Heiran menoleh. Mendapati ekspresi Vincente yang tampak teduh tanpa adanya rasa keberatan di sana. Sekaligus tatapannya yang hangat bak malaikat, sama sekali tidak ada penghakiman atau rasa tidak terima. Begitu pengertian tanpa adanya kekecewaan.
Sebelum beranjak dari duduknya, pria itu mengusap pelan kepala Heiran seraya mengecupnya sekilas. Meski samar, Vincente dapat merasakan bagaimana tubuh Heiran sedang bereaksi. Gemetar kecil kala mendengar kabar yang memang sangat menyentak itu. Tak terkecuali dirinya yang meski sesaat, pernah berinteraksi dengan sosok yang kini namanya menjadi perbincangan.

Terlebih, di samping itu, mengesampingkan akan urusan pribadi ketiganya, bayangan akan suara decitan keras antara aspal dan permukaan mobil hingga hantaman membentur tubuh yang sungguh masih tinggal di dalam memori, tentu Heiran menggigil, meremang dingin. Begitu jelas merasakan dinginnya air hujan yang membuatnya kuyup hingga denyut nyeri yang menyerang. Lalu berpusat pada satu titik di mana dalam sekejap, dunia Heiran mendadak runtuh hingga di waktu bersamaan, seolah tidak ada jalan yang lebih baik dan meringankan pundaknya, dengan rela wanitanya seolah ingin menetap dalam kegelapan.
Padahal, di sini, masih ada yang mengharapkan hidupnya untuk terus didengar embusan napas dan detak jantungnya. Walaupun, sungguh, takdir benar-benar mendorong wanitanya mencapai titik terendah. Di mana dengan segera, pandangan Heiran begitu sadarkan diri mengosong. Menyesali sesuatu yang sama sekali tidak bisa diungkapkan dan hanya terefleksikan melalui derai gerimis yang meluruh.

Sehingga, apa yang terlihat sekarang, sama sekali bukan hal baru bagi Vincente. Dan dengan lembut, Vincente mengiyakan.

“Aku akan menghubungi seseorang yang bisa menjelaskan ini.”

Di sisi lain, di lain tempat, di mana aroma khas cairan antiseptik yang menyengat tanpa sengaja terhirup menggelitiki kesadarannya yang beringsut kembali walau samar, pria yang entah sudah berapa jam terbaring di atas brankar pun memberikan pergerakan. Sontak dengan segera, seseorang yang terjaga semalaman pun dengan sigap menekan tombol interkom yang menghubungkan secara langsung ke ruang perawat. Hingga para dokter yang dalam kurun waktu delapan jam terus memantau kondisi pasiennya pun berhamburan. Hendak memastikan bagaimana kondisi sang pasien yang akhirnya siuman.

Walau selama menjalani pemeriksaan, tidak ditemukan adanya indikasi gagar otak ringan karena benturan. Hany luka kecil di bagian kening yang mengharuskannya mendapatkan perban di sana.

Sungguh bersyukur bahwa pria tersebut masih di bawah lindungan sang Maha Kuasa. Sehingga, yang menunggunya pun sedikit dapat bernapas lega.

Pria yang berusaha membuka kedua matanya pelan-pelan yang terasa berst pun hanya bersikap pasrah. Membiarkan dokter yang mengawasinya semalaman memeriksanya. Mulai dari menyenteri kedua matanya dengan senter kecil, hingga pemeriksaan detak jantung. Lalu setelah memastikan dengan begitu yakin, ucapan sang dokter pun memberikan ketenangan di sana.

“Syukurlah dia baik-baik saja. Sepertinya, benturan yang dia alami tidak menimbulkan luka yang cukup serius. Sehingga mungkin dalam waktu dekat, Tuan Seong diizinkan pulang.”
Melihat tampak samping visual seseorang yang dikenalnya, begitu para tenaga medis undur diri, pria itu pun berucap. Meski rasa pening di kepalanya masih belum menghilang. Akan tetapi, di lain pihak, meski samar, sosok yang berada di dalam ruang tersebut pun dapat mendengar. Turut menarik napas lega meski kejadian semalam sama sekali tiada bisa dihindari.

“Kau ... kenapa berada di sini?” tanyanya sangat heran. Cukup terkejut dengan kedatangan sosok ini yang sama sekali tiada dia duga. Semula, Hoseok berpikir yang menunggunya adalah Hyeri. Ternyata, seseorang yang eksistensinya benar-benar di luar dugaan.

Dengan menciptakan kedua lengkungan bulan sabit kembar begitu tersenyum, sosok ramah ini pun menjawab. Tidak heran akan ekspresi yang terlihat wajar itu.

“Bertanggung jawab akan kejadian semalam tentunya. Walau aku tidak menyangka, bahwa yang memotong jalurku secara tiba-tiba semalam adalah dirimu. Tapi syukurlah, kau baik-baik saja. Apa ada yang sakit selain kepalamu? Baguslah, tidak ada luka yang serius. Jadi aku tidak perlu khawatir.”

Tidak langsung menjawab, Hoseok menarik napas pelan seraya memejamkan mata. Bukan jawaban seperti itu yang ingin didengarnya. Walaupun, hal tersebut juga sedikit mengejutkannya.

“Bukan itu. Sejak kapan kau berada di sini? Bukankah kau harusnya berada di Korea Selatan? Mengapa berada di sini?”

“Memang apa yang aneh jika aku berada di sini? Memang hanya kau yang bisa berkeliling dunia dengan dalih pekerjaanmu? Bila aku menjawabnya dengan liburan, apa itu cukup lumrah didengar olehmu? Meski hal itu benar adanya.”

“Liburan ....” Hoseok mengangguk. “Cukup masuk akal.”

Hening. Mendadak ruangan tersebut menjadi sunyi sejenak. Meski seseorang tersebut mengerlingkan netranya. Merasa yakin akan hal lain. “Kau kemari karena urusan pekerjaan ... atau ... Im Heiran?”

Hoseok yang semula tidak terlalu memusatkan pikirannya untuk memikirkan sesuatu pun mendadak tersentak. Menangkap keanehan atas pertanyaan itu.

“Aku ingat benar, dua tahun ini kita sama sekali tiada bertegur sapa. Meski aku juga heran, mengapa kau tiba-tiba seolah lenyap tidak pernah menjawab telepon atau membalas pesanku. Dan aku juga tahu, kau hanya sebatas tahu nama itu. Tapi ... bagaimana bisa kau menyimpulkan demikian? Nama itu ... mengapa kau begitu yakin bahwa alasanku kemari adalah dirinya?”

Antara mengakui dan tidak mengakui, tentu di antara serentetan kalimat yang terdengar ambigu tersebut sama sekali tiada membuat seseorang selain Hoseok di dalam ruang itu lekas terkejut. Justru tenang dalam menanggapi.

“Karma sedang berjalan ya, Hoseok-ah? Ucapanku benar, kan? Kau begitu menyesal sekarang.”

Karena tak jauh dari sisinya, dalam satu tarikan, Hoseok dapat meraih salah satu kerah kemeja pria tersebut. Dan dengan tajam, meski denyut pening masih memberatkan kepalanya, Hoseok pun mengintimidasi. Benar-benar tidak suka dengan apa yang didengarnya.

“Apa maksudmu, berengsek?!”

Dengan ringan, di mana seulas senyum ramah turut mengembang, pria itu dengan santai turut menggenggam tangan yang mencengkeram kerahnya. Lalu menatap Hoseok dengan serius.

“Jadi aku benar, kan? Alasan kau kemari adalah Im Heiran.”
Dengan kasar, pria itu bersamaan seraya melepaskan cengkeraman tersebut. Tiada peduli dengan Hoseok yang masih menatapnya tajam. Meski selanjutnya, dengan satu tarikan napas, ekspresi pria itu kini terlihat begitu menyesal.

“Maafkan aku Hoseok-ah. Atas nama sepupuku, aku mewakilinya untuk meminta maaf padamu. Karena ... aku tidak tahu hal ini begitu penting bagimu atau tidak, tapi dengan menimbang bahwa kau pernah mengonfirmasi hubunganmu dengan Im Heiran, dan aku yakin ... sampai saat itu dia masih kekasihmu, jadi ... menurutku ... kau berhak mendengar ini.”

Sontak kerutan samar mengisi ruang kosong di tengah dahi Hoseok. Sama sekali tiada mengendur, ketegasan akan kemarahan yang tertahan pun terefleksi secara jelas. Sama sekali tiada memberikan pandangan ramah, Hoseok mendesak.

“Apa maksudmu, Jim? Apa yang kau sembunyikan dariku?!”
Ya, pria yang berada di dalam ruangan tersebut adalah Huang Jimin. Sosok yang begitu Hoseok andalkan selama mencari kebenaran akan kematian Vivian. Seraya menimbang, di mana di waktu bersamaan Jimin menarik napas dalam, akhirnya pria itu berucap dengan jujur.

“Aku minta maaf Hyung-ah. Aku juga tidak tahu bahwa kejadiannya akan menciptakan benang merah yang saling berkaitan. Meski tadinya aku tidak ingin mempercayainya, tapi ... aku yang kala itu sedang berlibur dan tinggal di rumah adik sepupuku, aku juga terkejut saat mengetahuinya. Bahwa sepupuku, Jecky ... yang menabrak Heiran malam itu tepat dua tahun lalu.”

Betapa dalam sekejap, Hoseok yang berusaha mencerna, merasa langit-langit rumah sakit di dalam sana runtuh menimpa dirinya. Di mana dalam sedetik, sensasi kelu mendadak memusat di ujung bibirnya. Berusaha menyatukan potongan kecil di dalam kepalanya menjadi satu kesatuan kejadian yang runut. Di mana situasinya, dalam hitungan detik, Hoseok yang masih mendengarkan seolah melihat kejadian yang menimpa wanitanya malam itu. Begitu runtut, seperti bayangan Hoseok seolah kembali dan berdiri di masa itu.

Nyeri, saat itu Hoseok merasa sesak.

“Tadinya aku tidak percaya bahwa dia menabrak orang. Dia meneleponku guna menyusulnya begitu dia menabrak Heiran lalu melarikannya ke rumah sakit. Tentu, Vincente juga berada di sana. Dan yang membuatku terkejut adalah ... apa yang diucapkan dokter saat itu. Bahwa Heiran mengalami keguguran karena kecelakaan nahas itu menyebabkan pendarahan yang cukup hebat. Sehingga, Heiran kehilangan bayinya. Meski aku ... juga mempertanyakan, apakah Heiran mengkhianatimu? Karena, saat melihat Vincente, bagaimana pucat dan frustrasinya pria itu saat mendengarnya, aku berpikir bayi itu miliknya. Hanya seorang ayah yang akan benar-benar berlutut begitu mengetahui bayinya tiada.”

Saat itu Hoseok yang terbaring hanya memejamkan mata seraya menutupi wajahnya dengan sebelah lengannya. Menyimpulkan satu hal bahwa Jimin benra-benar tidak mengetahui apa pun. Sama sekali setelahnya Hoseok tidak menjawab dan bergeming. Meski tidak mempermasalahkan pernyataan seseorang yang meragukan wanitanya. Namun, Hoseok begitu yakin satu hal. Satu hal yang seketika itu benar-benar mencabut seluruh nyawanya.

***

Waktu itu, dua hari kemudian di mana malam begitu larut, sosok itu hanya mengawasi dari tempatnya berdiri dalam diam. Mengamati setiap pergerakan seseorang yang kali ini tampak menikmati hidupnya. Tidak ada kekangan atau pun tekanan.
Entah apa yang mendorongnya hingga datang kemari. Yang jelas, begitu dirinya dinyatakan dalam kondisi baik dan diizinkan keluar dari rumah sakit, pria itu tanpa menunda waktu pun mencari cara untuk segera menemui Heiran. Menuntut penjelasan, meski tanpa harus bertanya, mungkin dia sudah tahu akan jawabannya.

Seketika, pria itu tersenyum miris. Setiap kali mengingatnya, hanya ada tamparan keras yang memukul hatinya. Terus menghunus tiada henti bak ribuan jarum.

Hanya saja, untuk kali ini, dia hanya ingin diyakinkan bahwa mungkin praduganya salah. Walaupun, keyakinannya mengenai satu hal begitu kuat dan memang berbanding terbalik dengan penyangkalan yang sifatnya sama sekali tidak ada. Begitu yakin bahwa Heiran sama sekali tiada pernah mengkhianatinya.

Begitu melihat sang wanita tampak beristirahat seraya berpikir dan memberi jeda, pria itu pun memberanikan diri beranjak dari tempatnya. Ingin melihat lebih dekat apa yang sedang dikerjakan oleh sosok yang wanitanya. Ya, sampai kapan pun pria ini sama sekali tidak pernah menganggap hubungan keduanya berubah. Walau apa yang teringat, benar-benar melukai perasaannya.

Lain dengan Heiran yang begitu peka dan seketika itu menoleh begitu mendengar suara langkah kaki berat mendekat di mana hanya ada dirinya dalam ruang tersebut. Sehingga, suara sekecil apa pun tetap akan menarik perhatian. Namun, yang hadir justru membuatnya bergeming. Tidak menduga bahwa pria ini masih begitu gigih.

“Kau, mau apa kemari?” suara Heiran terdengar datar dan dingin. Sama sekali tidak ada antusias menyambut atau apa pun. Layaknya tuan rumah yang menjamu tamunya.

Tidak menghiraukan bagaimana sikap Heiran yang begitu ketus. Dirinya hanya terfokus pada manekin yang kini menjadi pajangan dari rancangan Heiran yang belum sepenuhnya jadi.

“Jadi benar ... ternyata kau begitu mencintai Fashion. Aku sama sekali tidak ingin mengganggumu,” ucapnya tenang. Walau sejujurnya di dalam sana di waktu yang sama ada hal yang memberontak. Mendorong keluar dan menuntut kebenaran. Hanya saja, bagaimana pun dia harus bisa mengendalikannya. Meski hatinya terus bergemuruh tak sabar.

Lalu kembali memandang rancangan gaun yang dibuat Heiran, begitu tertarik. Menilik setiap detailnya menggunakan ujung jari telunjuknya. Walau sesungguhnya, bukan ini tujuannya datang kemari.

Melihat sikap Hoseok yang seperti ini dan kunjungannya yang dirasa tiba-tiba, tentu Heiran merasa bingung. Sehingga wanita itu hanya terdiam, mengawasi apa sebenarnya tujuan pria tersebut datang kemari.

“Hanya saja,” lanjutnya, “maaf kala itu aku luput dengan pemberianmu sehingga orang lain mengenakannya.”

Ada sedikit nada penyesalan yang sama sekali tiada ditutup-tutupi di sana. Suatu ucapan yang begitu jujur.

Akan tetapi, tanpa menghiraukan hal tersebut dan enggan mengenang apa pun, dengan segera, Heiran yang tak mau berlama-lama terjebak dalam situasi tersebut dan mendengar lebih lanjut pun menandas.

“Aku sudah bilang, kan? Mari kita akhiri ini! Jadi kau tidak berhak menemuiku lagi!” tukas Heiran sinis.

Sedingin dan seangkuh yang dia bisa. Walaupun, dua hari lalu, Heiran juga mengakui ada kalanya sisi lemahnya muncul dan alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena Hoseok. Akan tetapi, kali ini, tidak ingin terlena seperti masa lalu di mana pikirannya masih begitu naif dengan pemahaman cinta yang begitu dangkal dan polos, Heiran begitu apik memainkan perannya. Seolah sama sekali tiada terganggu akan kunjungan tersebut. Meski kehadirannya, sama sekali dan secara jujur Heiran tidak mengharapkannya.

Bukannya menyingkir, Hoseok yang masih dalam pertahanan dirinya justru tersenyum. Meski setelahnya, senyuman itu perlahan sirna dan tergantikan oleh tatapan serius yang begitu menuntut. Membuat Heiran menyadari perubahan atmosfer yang begitu kentara tersebut seketika.

Refleks, tanpa sadar Heiran menarik satu langkah mundur. Betapa kali ini, Hoseok dengan tatapan penuh artinya tampak menjatuhkan atensi penuh. Meski setelahnya, apa yang terjadi, Heiran benar-benar dibuat merosot.

Sedangkan sang pria, dirinya hanya mengikuti nalurinya dan turut mengambil langkah yang berkebalikan dengan Heiran. Sehingga beberapa menit kemudian, begitu Hoseok berhasil menyudutkannya ke dinding dan Heiran merasa langkahnya telah habis, pria itu pun tak sanggup menahan apa pun. Dengan segera mencecar kebenaran dari Heiran dengan tetap menahan diri. Meski sejujurnya, sejak beberapa hari lalu hatinya terus tergerus. Dikikis pelan-pelan hingga Hoseok merasa frustrasi.

“Menyingkir? Apa itu jujur dari perasaanmu?”

Lagi, Hoseok berusaha mencari celah tipis yang sanggup menggoyahkan Heiran dan menjadikannya sebuah harapan kecil. Akan tetapi, yang terjadi tidak demikian. Heiran yang merasa tak nyaman dan aman akan situasinya pun hendak beranjak pergi. Namun, kedua lengan Hoseok telah menahannya di kedua sisi kepala dengan segera. Menjadikan dinding di belakang Heiran sebagai pendukung. Terlebih tatapan menusuknya, sungguh, Heiran berhasil dibuat tepaku tiada berkutik tanpa bisa bergeser seinci pun. Betapa ucapan selanjutnya benar-benar membuat Heiran membeku.

“Aku ingat benar kejadian malam itu Heiran-ie. Di saat kau memohon, aku melepaskannya di dalam dirimu. Mau sampai kapan kau menghindariku dan menyembunyikan kebenaran dariku?! Bagaimana bisa kau menyembunyikan kehamilanmu dariku?!”

Hoseok menekankan suaranya sedikit tinggi, akan tetapi tidak menarik perhatian dan berusaha meredam. Walaupun, kondisi galeri pada malam itu benar-benar sepi. Begitu tegas sampai-sampai Heiran dibuat sulit bernapas. Deru napas Hoseok yang memburu karena dikuasai oleh kemarahan menerpa wajah Heiran. Dan masih mendapati tatapan tajam Hoseok, Heiran membisu.

“Meski kau berusaha menepisnya, aku tahu benar bagaimana dirimu! Katakan, di mana anak kita, Heiran-ie? Di mana anakku?!”

Heiran yang meremang terdiam membeku mendapati sorot mata yang penuh intimidasi tersebut tiada bersuara. Kedua netranya yang perlahan berkabut bergetar samar. Hingga detik berikutnya, hanya air mata yang lolos begitu saja tanpa bisa dibendung. Setelahnya Heiran memejamkan mata. Menjadikan dinding di belakangnya sebagai tumpuan.

Perih, betapa dalam sekejap, Hoseok secara paksa membuat Heiran merasakan denyut nyeri itu kembali. Tentu, kejadian nahas pada malam itu benar-benar meninggalkan luka yang membekas. Meski waktu telah bergulir selama dua tahun, tapi bagaimana rasa itu ditinggalkan, segalanya masih terkenang sempurna bak embun pagi.

Di kala Heiran nyaris merosot, Hoseok menahannya. Memeluk wanita tersebut dengan erat. Meski tidak bisa memberikan penenangan, dan meski bagi Hoseok sendiri dirinya tidak bisa dikatakan baik-baik saja, Hoseok tetap mencoba. Mendekap erat Heiran sembari meyakinkan dirinya.

“It’s ok. Gwenchana. Ini bukan salahmu. Ini sepenuhnya salahku. Apa kau sakit, hm? Aku minta maaf Heiran-ie.”

Tubuh Heiran bergetar hebat, hingga isak tangisnya pun pecah. Terlebih bagaimana Hoseok memperlakukannya saat ini, tentu, pertahanan yang sudah dia bangun selama ini pun seketika runtuh di mana sedikit pun Heiran tidak bisa menyembunyikan lukanya begitu saja. Justru semakin menumpahkannya tanpa peduli apa pun. Begitu terlena akan pelukan yang sesungguhnya begitu candu. Akan tetapi, sedikit pun Heiran tiada pernah melupakan kekecewaannya terhadap Hoseok.

Di saat itu, Hoseok yang merasa bertanggung jawab atas perbuatannya di masa lalu semakin mendekap Heiran. Meraih tubuh rapuh itu agar tidak semakin hancur. Benar-benar menyalahkan dirinya sendiri yang begitu egois. Seolah hanya dari bagaimana Heiran merespons, Hoseok tahu segalanya dan mengerti apa yang dirasakan satu sama lain tanpa harus bicara.

Ya, di antara rasa sakit itu, meski begitu pilu di mana hatinya benar-benar seperti diremas dalam satu genggaman, di waktu bersamaan, Hoseok juga merasa lega. Firasatnya akan kegusaran yang dia rasakan selama ini ternyata benar.


























it's hurt when u loss something,
It is not about thing, but a child.

😭😭😭😭
Gimna rasanya, 2H, are u ok?
Both of you.

Btw...
Thanks udah mampir...
Jangan lupa voment yag😘😘😘

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang