tiga lima

57 5 0
                                    

Ryan mengambil sebungkus roti dan sebotol air mineral dari kotak konsumsi yang sudah disiapkan khusus untuk para anggota osis.

Ia berjalan menuruni tangga, menyusuri koridor, dan kembali ke lapangan. Matanya menangkap Kana yang masih duduk dengan pandangan yang begitu fokus dengan penampilan karate di depan sana.

"Nih."

Kana mendongak, Ryan baru kembali lagi setelah melewatkan penampilan dari Math club, pustakawan, dan english club.
Penglihatannya lalu terarah kepada dua buah benda yang sedang Ryan sodorkan.

"Eh, ini apa?"

"Buat lo lah,"

Kana menekuk bibirnya, ia senang mendapatkan perlakuan yang baik dari Ryan, tapi disaat yang bersamaan ia merasa semakin menambah bebannya. Apakah Ryan sebaik ini kepadanya karena tak enak hati kepada Bu Mira yang secara tak langsung 'menitipkannya'.

"Lo beli dari kantin?"

Ryan mengangguk walaupun kenyataannya ia berbohong. Ia tak memiliki waktu untuk pergi kesana. Roti dan air mineral ini adalah jatah konsumsinya. Kana pasti akan menolak mentah-mentah jika ia tahu.

Kana menghela nafas,
"Kok lo gak beli juga?"

"Gue udah makan kok, masih kenyang."

Kana menelisik mencari kebenaran, dan sepertinya ia tahu Ryan sedang berbohong saat ini.

"Yaudah kita makan berdua, kalau lo gak mau, gue juga gak mau makan."
Ancam Kana membuat pundak Ryan meringsut.

"Iya deh..."
Ia tak berani melawan, yang penting Kana makan dulu saja saat ini. Walaupun hanya duduk, tapi berdiam diri di tempat yang terik juga cukup melelahkan.
Ryan merobek roti itu menjadi dua bagian, ia memberikan Kana roti yang masih di dalam bungkusannya dan mengambil bagian yang sedikit lebih kecil untuk dirinya.

Kana mengucapkan terimakasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya kepada murid-murid senior yang sedang mempromosikan ekstrakulikuler mereka.

Ryan berjongkok di samping Kana, lalu ia melepaskan topi yang dikenakannya dan memasangnya keatas kepala Kana.

"Loh?"

"Udah, pake. Gue mau neduh di samping badan lo. Lebih adem."

Kana cemberut dan hanya menurut saja. Pada dasarnya memang tubuhnya lebih besar daripada ukuran topi, setidaknya Ryan bisa lebih bersantai sekarang.

Ekstrakulikuler lainnya sudah bergantian tampil, mencoba memikat murid-murid baru untuk bergabung dan ikut berpartisipasi. Kana sangat menyukai presentasi dari ekskul seni rupa, beberapa anggotanya memberikan penampilan memukau dengan keahlian menggambar dan melukis mereka. Tetapi ia juga menyukai presentasi dari english club, mereka memberikan pidato yang tak terdengar monoton dengan tema yang sangat menarik.

Dan saat ini, Kana tengah menonton penampilan dari ekskul theater.
Seorang pemeran wanita tengah berdialog dengan kostum medieval inspired dan make up maximalist.
Tak hanya sang pemeran utama, tetapi semua pemerannya menunjukkan kemampuan sandi wara mereka yang luar biasa.
Kana terhanyut dalam suasana, ia begitu menikmati pertunjukkannya.

Ryan menyadari Kana yang enggan untuk mengedipkan matanya sedetik pun, seperti orang yang takut akan melewatkan sesuatu.

"Suka?"

Kana menoleh ke samping, tersentak saat fokusnya terganggu.

"Apanya?"

"Pertunjukkannya, apa lagi coba?"

Kana menggaruk lehernya dan terkekeh,
"Suka!"

Ryan menarik garis bibirnya saat Kana kembali menonton pertunjukkan di tengah lapangan. Sama halnya dengan Kana, tapi pertunjukkan yang sedang Ryan nikmati bukan berasal dari para pemeran theater, melainkan dari Kana.

Bibirnya yang tak pernah lelah untuk tersenyum, suara tawanya yang sesekali menggema merdu, cahaya matanya yang lebih cerah dari matahari di langit biru.

Lamunan Ryan terbuyarkan saat suara tepuk tangan menggelegar dari seluruh penjuru lapangan. Ia yang tak ingin ketahuan sedang memperhatikan Kana pun, ikut memeriahkan.

"Keren banget! Iya kan, Yan?"

Kana memang penggemar besar film dan pertunjukkan seni peran, ia selalu menyukai setiap aspek dari bagaimana cara mereka menyampaikan pesan. Ekspresi wajah, tutur kata, penataan kostum dan riasan, seting tempat dan production designnya.

Penampilan dari ekskul theater bernama 'Renatevie' ini melebihi ekspetasinya. Kana selalu tertarik dengan acting dan bercerita, entahlah mungkin ia akan memikirkan untuk ikut bergabung.

"Iya, bagus banget."
Ryan hanya menonton pertunjukkannya untuk 10 menit dan menonton Kana selama sisa waktunya.

Kana kini memberikan seluruh atensinya kepada Ryan, ia tatap sepasang mata itu lekat.

"Ryan, makasih ya..."

Ryan tertegun melihat pemandangan yang sedang ia saksikan.
Kana mengukir senyum yang tak pernah ia lihat. Bukan senyuman besar, bukan senyuman kecil. Tetapi senyum apa adanya. Tak ada kebohongan, tak ada paksaan, semuanya murni ketulusan. Netranya yang meneduh beriringan dengan matahari yang ikut tertutup awan.
Angin semilir memainkan rambutnya yang mencuat dari balik topi, bermain-main di permukaan wajah yang begitu rupawan.

Jantung Ryan berdetak lebih kencang saat ada sebuah rasa yang tumbuh dari pelupuk hatinya, sebuah rasa yang ia tahu jelas itu apa.

"Mari sambut penampilan selanjutnya dari ekstrakulikuler seni tari banggaan kita, Mawar Putih!"

Secara spontan, Kana memutuskan kontak mata mereka. Pandangannya kini otomatis bertaut kepada
sekumpulan perempuan yang sedang berjalan ke tengah lapangan.

Perempuan itu?... Kekasih Bara, bukan?

Perempuan itu mengenakan kostum berwarna hijau emerald dan mahkota di atas kepalanya. Kaki jenjang dan rambut hitam panjang menjadi perpaduan yang begitu sempurna, menambahkan kesan putri kerajaan kepada sang empu.

Tubuh gemulainya ia lekukkan begitu anggun, tangan lentiknya menari-nari seperti sedang bermain dengan udara.

Kana secara tak sadar memilin ujung seragamnya, tentu saja Bara menyukai sosok perempuan ini. Ia begitu cantik. Rasanya setiap orang akan menaruh hati kepadanya. Ia cocok dengan Bara. Sangatlah cocok.

Kana tak mengerti mengapa ia masih begitu sedih mengenai kejadian kemarin. Seharusnya Kana sudah terbiasa untuk mendapatkan perlakuan seperti itu.

Hanya saja, ia tak menyangka akan mendapatkannya dari Bara.

Tapi sekarang ia sudah mendapatkan teman, itu sudah lebih dari cukup baginya. Kehilangan satu orang yang memutuskan untuk menjauhinya tak perlu ia ambil pusing.

Izal, Dafa, dan kini Ryan. Mereka sudah bersikap sangat baik kepadanya beberapa hari ini. Mereka sudah mengubah perspektifnya mengenai laki-laki untuk sekarang.
Bukankah, itu yang ia coba buktikan?
Bahwa tak semua dari mereka ingin menghancurkan dan menggerogoti jiwanya?

Kana menghela nafasnya gusar.

Tapi balik lagi, Kana rasa ia tak akan bisa kembali seterbuka ini kepada lingkungan sekitar, jika ia tak pernah bertemu dengan Bara. Bara yang pertama kali mengubah pandangannya tentang dunia luar, tak hanya mengenai laki-laki. Membuatnya berani untuk kembali berjelajah dan berusaha menemukan orang yang sama baiknya dengan Bara.

Tak seharusnya ia berprasangka buruk tentangnya begitu cepat. Mungkin kemarin hanya kesalah pahaman.
Tapi bahkan jika memang Bara sudah tak ingin bertegur sapa dengannya lagi, ia tak mengapa.

Kana masih akan tetap berterima kasih kepada Bara karena sudah menjadi pijakkan kecil baginya untuk kembali ke kehidupannya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang