tiga delapan

53 6 0
                                    

Kana meraih dua bungkus mie instant ke dalam keranjangnya. Menimbun satu pack spidol berwarna yang sudah tersimpan sebelumnya.

Saat tengah mengerjakan tugasnya tadi, ia baru menyadari spidolnya yang lama ikut terbuang saat masih di Bandung. Tetapi beruntungnya ia ingat, super market di depan perumahannya menyediakan peralatan alat tulis.

Kana mengendap-ngendap saat tadi hendak pergi menuju tempat ini, pasti Arga akan mengintili dirinya jika ia tahu. Tadi Kana lihat, ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaanya. Karena itulah, Kana bisa berhasil kabur tanpa ketahuan.

Lagi pula ia hanya pergi ke depan perumahan, membeli alat tulis tak akan memakan waktu satu jam.

Kana menyerahkan benda yang ingin ia beli kepada kasir. Sekalian ia juga membeli dua bungkus makanan itu, untuk jaga-jaga jika Kana ketahuan oleh Arga. Ia bisa menyogoknya dengan mengajaknya makan malam bersama.

Pegawai dengan seragam kuning biru itu pun mengembalikan uang kecil, satu lembar bon, dan barangnya yang sudah terbalut oleh tas jinjing. Ia juga membawa tote bag miliknya, untuk mengurangi penggunaan kantung plastik.

Kana berucap terimakasih, lalu hendak berjalan pergi dari sana. Tetapi kini pandangannya terpaku pada sebuah bangku di taman yang gelap.

Pundaknya meringsut.

Kana rasanya ingin menghilang dari muka bumi setiap mengingat kejadian kemarin hari. Ia tak menyangka pertahanannya bisa roboh hanya karena satu kesamaan kecil. Kana pikir, ia sudah benar-benar melupakan kejadian
menyakitkan dimasa lalu. Tetapi nyatanya, bayang-bayang mereka masih menghantui.

Kana harus berterimakasih kepada Bara. Ia sudah menyelamatkannya. Tanpanya, ia tak tahu akan berakhir bagaimana di sana. Ia tak ingin, mengalami mental breakdown di tempat umum. Itu sangat menakutkan baginya. Ia tak ingin orang-orang mengetahui apa yang sudah terjadi kepadanya.
Ia... Ia tak sanggup untuk kembali dipandang sebelah mata.

Saat kemarin Leni, Wulan, Lintang, Izal, Dafa menjenguk dan menemaninya. Ia hanya memberikan alasan bahwa ia tiba-tiba merasa tak enak badan. Anemianya kambuh, maagnya kambuh, seperti itulah.

Tanpa disengaja, Kana kini sudah berjalan menuju bangku itu dan duduk di atasnya. Jemarinya meraba sisi kosong di sampingnya yang pernah diisi oleh seseorang.

Kana tak mengerti dengan Bara.
Satu hari ia bersikap acuh padanya.
Lalu dikemudian hari, ia yang paling mengerti dirinya.
Ia hanya tak paham, sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran si jangkung itu? Dan mengapa ia sadar bahwa saat itu Kana sedang dalam keadaan tak baik-baik saja, padahal orang-orang yang berada di dekatnya pun tidak menyadarinya.

Apa mungkin, Bara diam-diam memperhatikannya?

Akh, sudah-sudah. Kana, jangan mulai overthinking dan berpikir semakin jauh. Apapun alasannya, ia masih tetap bersyukur Bara peka dengan kondisinya dan bersikap sangat bijak untuk menghadapinya.

Bara tak memborbardirnya dengan pertanyaan yang membuatnya tak nyaman. Melainkan, ia memberikan Kana ruang untuk bernafas dan menenangkan diri.
Ditambah, Bara tak hanya mengantarnya ke tempat yang lebih aman. Ia mengelus tangannya untuk memberikan kehangatan.

Kana memekik dan mengacak rambutnya sendiri. Sangat memalukan sekali. Rasanya wajahnya memanas dalam seketika.

Mungkin perlakuan Bara kepadanya hanya datang dari kedermawanan. Ingat Kana, Bara memang orang yang baik dan suka membantu tanpa pandang bulu.
Ya, pasti karena itu.

Tapi lalu mengapa Bara saat itu terlihat menjauhinya? Sementara kemarin ia sudi untuk membantunya di hadapan publik.

Jika ia malu berteman dengannya, Bara bisa saja mengacuhkannya dan menjaga harga diri. Tapi, mengapa?...

Akh, Kana sudah tak kuat lagi untuk menduga-duga. Ia beranjak dari bangku itu dan hendak hengkang dari sana. Daripada ia membiarkan pikirannya semakin menjelajah kemana-mana, lebih baik ia pulang dan menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

'BRAK!!'

Langkah kaki Kana terhenti. Seperti ada suara benda besar yang jatuh. Secara perlahan, ia membalikkan tubuhnya.
Dan benar saja, ia melihat setitik cahaya yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya itu... adalah lampu kendaraan, dan tak lama sinar itu memudar dan padam.

Panik mulai menjalar, sepertinya ada orang yang baru saja kecelakaan.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari apa ada orang lain yang juga menyaksikan kejadian itu.
Tapi nihil, lingkungan di sekitarnya sudah sangat sepi.

Kana meremat ponselnya dan membuka aplikasi telepon—takutnya sang korban memerlukan penanganan medis. Dengan memberanikan diri, ia berlari menuju objek itu.

Saat mendekat, Kana bisa melihat butiran-butiran nasi yang berserakan. Sumber pencahayaan yang ia dapatkan hanya berasal dari benda pipih miliknya.

Tapi ada sesuatu yang aneh. Kana kini
sedikit menutup senter ponselnya.

Si pemilik kendaraan bukannya mengaduh atau bertingkah kesakitan, ia malah dengan terburu-buru membanting motornya ke semak-semak. Seperti sedang bersembunyi dari seseorang.

Apa Kana yakin, dia orang baik? Bagaimana jika ia adalah pencuri atau bahkan begal yang sedang dikejar-kejar masa?

Tanpa sadar, ia melangkah mundur merasa ragu.
Inisiatif dan spontanitas selalu berhasil membuatnya berada diposisi membahayakan seperti ini.

Tapi tunggu, bagaimana jika justru sosok inilah yang tengah dikejar-kejar begal? Karena itulah, ia malah sibuk bersembunyi?

Keduanya masuk akal.

Tapi lagi dan lagi, Kana tak mungkin meninggalkan sosok ini begitu saja tanpa kejelasan.

Kana menekan beberapa nomor di layar ponselnya, jika terjadi sesuatu, ia akan langsung tersambung dengan polisi.

Ia menelan ludahnya sekuat tenaga, lalu Kana kembali menyoroti sosok yang masih belum menyadari kehadirannya.

Matanya mengerjap, uratnya yang menegang kini merenggang.
Pundak lebar yang dibaluti jaket kulit hitam itu tentu tak asing baginya.

Tidak mungkin, tidak mungkin itu
dia, bukan?

Rasa takut memudar begitu saja, kakinya ia langkahkan semakin mendekat menuju pinggiran jalan yang dihiasi pepohonan dan semak-semak belukar.

"Bara..."

Dan nama itu terucap begitu saja dari bibirnya.
Diiringi dengan netranya yang membulat saat tubuh itu membalikkan diri dan menunjukkan wajah yang sudah mengusik hatinya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang