lima dua

50 4 0
                                    

Kana menyesap permen loli berwarna merah terang dengan pikiran yang sedikit menggantung.
Jemarinya sesekali menekan kuat kuku-kukunya hingga memutih pucat.

Ia tengah berjalan bersama kelima temannya menuju kelas setelah menghabiskan waktu istirhat di kantin. Walaupun sesekali ikut menimpali, Kana tak benar-benar ikut membaur dalam percakapan.

Saat ke kelas nanti, ia harus segera membawa pakaian olahraganya dan bergegas pergi ke toilet sebelum siswa lain di kelasnya berganti pakaian.
Sejujurnya, ia masih tak tahu bagaimana tubuhnya akan bereaksi jika akan mendapati situasi yang sama seperti saat itu. Tapi lebih baik meminimalisir kemungkinan, bukan?

Lagi pula, ia tak mau jika teman-temannya akan menyadari sesuatu yang janggal saat melihat sikapnya yang tiba-tiba berubah dalam keadaan yang sangat normal.

Sudah cukup orang-orang di masa lalu yang mengetahui seberapa rapuh dirinya. Ia tak ingin menunjukkan sisi itu kepada orang-orang baru di dalam hidupnya.

Saat sampai di depan kelas, Kana membuang terlebih dahulu tangkai permen yang gulanya sudah mengecil ke tempat sampah.
Tatapannya kini tertuju kepada meja di ujung kelas.
Teman sekelasnya sudah mulai berbondong-bondong kembali memasuki ruangan.

Kana berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin. Ia tak ingin terlihat terburu-buru seperti sedang dikejar oleh sesuatu.
Tetapi saat bel tanda jam pelajaran akan dimulai sudah berdering, Kana tanpa sadar mulai menambahkan kecepatan dalam setiap gerakkannya.

Kana mendahului Lintang yang berjalan di hadapannya dan segera berlari menuju bangkunya. Ia membuka resleting ransel dengan sekelibat dan mengeluarkan pakaian olahraganya yang tak lagi terlipat rapi.

Nafasnya sedikit memburu. Kana mengatupkan bibirnya untuk menyembunyikan deru paru-paru yang seakan sedang tenggelam di tengah kolam.

Dengan kilat, ia kembali menutup ranselnya dan hendak berbalik untuk segera hengkang dari sana.

Tetapi netranya menangkap sepasang sepatu saat pertama kali tubuhnya berbalik—yang tentunya bukan milik Lintang.

"Na..."

Kana secara perlahan menaikkan kepalanya untuk bertemu dengan pemilik sepatu itu.

"B-bar?... Ada apa?"

Bara menggigit bibir dalamnya, matanya mengerjap untuk beberapa saat. Ia terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi ada rasa ragu di dalamnya.

"Hm... Lo mau ganti baju ke toilet, ya?"

Kana menganggukkan kepalanya sangat samar. Raut bingung tercetak jelas di wajahnya.

"Kalo gitu... Mau bareng ke toiletnya? Gue juga mau ganti baju, hehe."

Kana mengalihkan perhatiannya kepada satu pasang pakaian olahraga yang Bara bawa di tangannya.

Secara perlahan, nafas Kana tak lagi menuntut. Rasa kalut yang membanjiri dadanya juga ikut surut dan mengalir entah kemana.

Ia kembali menatap Bara lekat-lekat.

"Itu juga kalo lo mau... Kalo enggak juga gak apa-apa, kok!"

Ini hanya sebuah kebetulan belaka.
Tidak mungkin... Bara sedang mencoba untuk membantunya, bukan?
Tapi bagaimana bisa? Kana bahkan tak pernah mengucapkan sepatah kata pun mengenai traumanya?
Bagaimana bisa, Bara dengan peka mencoba mencegah dirinya untuk kembali mengingat memori pahit itu?

Bagaimana bisa, ada seseorang sepertinya?

"Eum, Na?"

Bara kembali memanggil namanya saat tak kunjung mendapatkan jawaban. Apa ajakannya tadi terdengar menyinggung? Apa ada kata-kata yang ia salah ucapkan?

Bara memang berniat untuk berganti pakaian di kamar kecil. Ia tak memiliki maksud lain untuk mengajak Kana pergi bersama.
Ia masih tak begitu paham apa yang terjadi kepada Kana minggu lalu. Asumsi paling ringan yang ia pikirkan, adalah Kana yang tak nyaman berganti pakaian di tempat terbuka dan ramai.
Mungkin saat itu Kana tak ingin menganggu teman-temannya, seperti Dafa dan Izal untuk mengantarnya ke kamar kecil.

Dan inilah upaya Bara untuk mengeluarkan Kana dari situasi yang menganggunya.

Mungkin Kana akan merasa sedikit lebih tenang, jika ada seseorang yang menemaninya.

Kana menyadarkan dirinya sendiri dari lamunan singkat. Ia kembali menyunggingkan senyum terbaiknya.

"Ayo!"

Bara menghembuskan nafasnya lega saat mendapat respon dari Kana.

Kana dan Bara berjalan keluar dari kelas beriringan tanpa memberikan orang-orang penjelasan sedikitpun.

Mereka menyusuri koridor yang masih ramai dilalu lalangi oleh murid-murid kelas lain. Berbeda dari hari biasanya, cuaca tak terlihat begitu terik hari ini.
Langkah kaki mereka bersamaan dengan angin sepoi-sepoi yang ikut berlarian menggelitiki dedaunan.
Pantulan matahari dari lantai keramik membuat wajah mereka terlihat bersinar.

Mereka akhirnya sampai di ambang pintu dengan ruangan lembab itu.
Kana memasuki bilik kamar mandi sebelah ujung kanan, dan Bara memasuki bilik kamar mandi sebelah ujung kiri.

Berbeda dengan Bara yang langsung berganti pakaian, Kana mendudukkan tubuhnya terlebih dahulu di atas kloset.

Rambutnya ia singkap, pipinya ia cubit, bibirnya mulai bergumam tak jelas.

Mengapa wajahnya memanas saat ini?
Terutama, mengapa ia tak bisa berhenti tersenyum sedari tadi?!

Mungkin perbuatan Bara terlihat seperti hal kecil bagi orang lain.
Tetapi tidak bagi Kana.

Kana lupa bagaimana rasanya diperlakukan dengan begitu baik.
Dimengerti tanpa harus memelas untuk dikasihani.

Mungkin karena itu, Kana merasakan euphoria saat ini. Rasanya menyenangkan untuk memiliki seseorang yang bisa memahami.

Bara membuka pintu bilik kamar mandinya dengan tangan yang penuh oleh seragam putih abu-abunya.
Ia melirik sekilas ke ujung bilik sana, Kana masih belum keluar rupanya.

Ia berjalan menuju ambang pintu di luar ruangan dan menyandarkan tubuhnya kepada dinding berwarna kuning pudar.

Menunggu Kana di sebrang sana sembari memantau jika ada murid-murid lain yang berniat untuk bertingkah usil.

Tak lama, decitan pintu terdengar yang juga ikut menampilkan Kana dengan setelan olahraganya. Pakaian itu terlihat sangat pas dengan ukuran tubuhnya.
Pakaian yang berwarna muted membuat tubuh Kana semakin terlihat mencolok saat mengenakannya.

Kana berjalan menghampiri Bara yang sudah tak lagi bersantai seperti tadi.

"Yu, balik ke kelas!"

Bara menganggukkan kepalanya dan ikut berjalan berdampingan dengan Kana. Melewati tempat-tempat yang juga tadi mereka lalui.

"Bar..."

Seperti sebuah celosan yang tak direncanakan, nama itu keluar begitu saja dari bibir Kana.

"Iya, Na?"

Kana menoleh dan mendongakkan kepalanya. Memastikan mereka benar-benar saling berbagi pandang.

Senyum cerah yang selalu Kana tunjukkan sedikit mengendur dan berubah menjadi senyum ala kadarnya. Rona yang tulus dan tak dipaksakan.

"Makasih ya..."

Bara mengedipkan matanya beberapa kali. Ada jeda sejenak sampai ia membalas senyuman itu,

"Sama-sama."

Bara tak bertanya lebih lanjut mengenai alasan mengapa Kana berterimakasih.

Seperti ada kata yang tak terucap, tetapi bisa ia dengar dalam hati.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang