Kana membuang nafasnya lega.
Melukis dinding ternyata semelelahkan ini.
Kakinya seperti sudah kesemutan karena bertahan pada pose yang sama untuk waktu yang lama.
Sementara tangannya sudah sangat pegal karena menahan getaran tubuhnya—jika ia bergerak, bisa-bisa lukisannya jadi tak rapi dan keluar dari pola.Ia runtuhkan pertahanan tubuhnya ke atas lantai begitu saja.
Akh, nikmatnya.
Lantai yang dingin memberikan sensasi tersendiri kepada tubuhnya yang kelelahan.
Walaupun ia tak berada di luar ruangan, tetapi hawa panas masih saja menemukan jalan untuk memasuki pori-porinya.Ini sudah hari ketiga.
Para pekerja masih sibuk mengecat di luar sana—sepertinya hanya tinggal menimpa. Waktu masih menunjukkan pukul satu.
Hari ini, Kana mengenakan vest rajut tanpa lengan berwarna aqua pudar dan celana panjang putih.Kana meraih sebuah permen loli yang masih terbungkus di atas lantai, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Speaker bluetooth miliknya tengah memainkan lagu fade into you dari mazzy star."I want to hold the hand inside you~"
Kana ikut menyenandungkan beberapa bait dari lagunya. Matanya masih lekat menatap langit-langit kamarnya. Sekarang ia baru menyadari ada sebuah pola yang terukir di atas sana.
Otaknya berjalan dengan damai sembari melihat arsitektur design itu, sampai ia mengingat sesuatu.Satu hari lagi.
Satu hari lagi, dan ia akan secara resmi bersekolah kembali.
Setelah setahun lebih mengejar pembelajaran dengan metode
homeschooling. Ia akan kembali mengenakan seragam dan bertemu orang-orang.Setelah drop out di kelas dua SMP dan menamatkan kelas akhirnya dengan mandiri, ia tak ada niatan untuk kembali memasuki sekolah formal. Bahkan, ia sempat meneruskan homeschool nya hingga kelas satu SMA.
Sampai, sesuatu merubah persepsinya tentang dunia.
Membuatnya merasa, ia siap untuk kembali keluar.Walaupun begitu, ia masih merasa cemas dengan apa yang akan terjadi.
Apa semua orang masih akan tetap bersikap sama?
Apa mereka akan memperlakukannya seperti dulu lagi?Kana tahu, berpikiran secara berlebihan hanya akan melukai dirinya sendiri. Ia hanya perlu mengingat, ia melakukan semua ini untuk dirinya sendiri.
Jika Kana tak akan mendapatkan teman, yasudah biarkan saja. Setelah apa yang ia alami, ia rasa ia jauh lebih sanggup untuk duduk sendiri di kantin dan melamun.
Toh, tujuannya bukan itu. Ia ingin mengejar pendidikannya lebih luas.
Pada akhirnya, ia tetap harus bersosialisasi dengan manusia. Jadi lebih baik, ia mencoba biasakan sedikit demi sedikit dari sekarang.Kana memang pernah menjadi sosok imajinatif dengan impian dan ekspetasi yang tinggi mengenai kehidupan. Tapi saat ini, saat semuanya sudah terjadi, ia cukup mengerti bahwa tak semua cerita manis di masa remaja perlu ia lalui.
Ia hanya perlu berangkat ke sekolah, belajar dengan baik, dan kembali pulang ke dalam pelukkan keluarganya.
Kana rasa sudah cukup.
Ia rasa, ia bisa bertahan jika hidupnya akan terus berulang seperti itu.
Ia rasa, ia bisa bertahan walaupun hanya mereka yang menjadi sumber kehangatannya.Rencana hidup yang indah, stabil, atau... Kesepian?
Kana terlelap dalam intrusive thoughts nya begitu dalam, musik yang ia mainkan juga masih mengalun indah, entah mengapa ia merasa sedikit mengantuk.
Sementara kini Bara sudah merampungkan pekerjaannya. Dan sepertinya, sekarang sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada rumah ini.
Elian sudah memanggil para pekerja untuk memasuki rumahnya.
Bara dan pekerja lainnya hanya mengekor sang pemilik tempat untuk memandu.
Ini pertama kalinya, Bara melihat isi dari rumah ini.
Ia tak mendapatkan perintah untuk mencat bagian dalam rumah ini sebelumnya. Walaupun banyak barang yang belum tertata rapi, tapi ia sudah bisa membayangkan bagaimana rumah ini akan terlihat nantinya.Ornamen-ornamen old timey yang memang bawaan dari rumah ini, sepertinya akan cocok dengan perkakas vintage yang dimiliki sang empu.
Ia serasa sedang berada di rumah peninggalan zaman belanda.
Setelah sampai di tengah rumah,
Elian membagikan satu persatu amplop putih dengan beberapa lembar kertas merah di dalamnya.
Tak lupa juga, para pekerja dibekali tas jinjing dengan beberapa lauk makanan yang cukup untuk dimakan oleh seluruh keluarga.Baik sekali keluarga ini, pikirnya.
"Terimakasih, ya, untuk kerja keras, nya Mas-Mas."
Elian dan Belinda mengucapkan rasa syukur mereka kepada orang-orang yang sudah mau membantu mereka mendekor rumah ini, para pekerja pun mengucapkan rasa syukur balik karena sang pemilik rumah sudah mau memberikan mereka pekerjaan.
Bara sedikit menengok ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu.
Tapi sosok yang dicari, tak menunjukkan wujudnya sama sekali.Saat hendak berjalan keluar dan berpamitan, Bara berpas-pasan dengan Arga yang sedang meninum soda kaleng.
Nanang yang juga berada di samping Bara, akhirnya menyapa teman barunya itu."Udah selesai nih, kerjaan lo, Nang?"
"Iyaa, nih, udah tamat. Enak bener si lu, tinggal di rumah keren kek gini."
Nanang dan Arga berbincang sebentar, sampai Bara memutuskan untuk mengintrupsi,
"Bang, Kana dimana, ya?"
Arga yang mendapatkan pertanyaan mendadak seperti itu menautkan alisnya.
Terutama ini dari Bara."Kayaknya di kamar, emang kenapa?"
Bara terdiam untuk sejenak, sebenarnya ia tak tahu mengapa ia menanyakan keberadaan orang itu.
"Ohh,, enggak kenapa-napa sih, Bang. Cuman dari pagi dia gak ada di luar, kirain dia bakal nanem nanem lagi."
Arga menggigit pipi dalamnya, ia terlihat sedang memutuskan sesuatu.
"Naik aja ke lantai atas kalau mau ketemu sama dia, kamarnya yang paling ujung. Tadi gue liat, pintunya gak ditutup."
Bara membatin bimbang.
Haruskah ia menemuinya? Tapi untuk apa juga? Ia tak ingin dikira lancang, pada akhirnya mereka berdua masih cukup asing untuk disebut teman.
Tapi, kemungkinan besar juga, Bara tak akan bertemu lagi dengannya.
Sebenarnya mungkin saja, karena mereka masih tinggal di satu wilayah yang sama. Hanya saja kasta mereka berbeda, jadi rasanya tak mungkin mereka akan kembali bertegur sapa.Lagi pula, Kana sudah begitu baik dan ramah kepadanya. Tidak ada salahnya, jika ia ingin berpamitan bukan?
"Yaudah, Bang. Gue permisi naik ke atas, ya."
Bara meninggalkan Nanang begitu saja dan berjalan menaiki tangga yang cukup lebar. Matanya berjelajah kesana kemari, kembali memperhatikan detail dari design rumah ini. Sampai atensinya terjatuh pada sebuah kamar di ujung ruangan.
Dan benar saja, pintunya tak ditutup.Ia berjalan dengan perlahan menuju kamar itu, samar-samar telinganya mendengar alunan lagu yang sedang diputar.
Baru kakinya sampai di ambang pintu, ia sudah dibuat takjub oleh sesuatu yang ada di hadapannya.
Lautan.
Lautan dengan langit keunguan dan burung yang berterbangan.
Ditambah, ada beberapa hiasan mutiara yang tertempel di dinding itu. Memberikan kesan seperti tembok itu memantulkan cahaya.Masih sibuk mengamati pemandangan indah, Bara akhirnya tersadar tujuannya ke ruangan ini.
Tangannya hendak mengetuk pintu putih kaca bergorden yang tak tertutup itu, sampai matanya menangkap seseorang yang tergeletak di atas lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...