Kana mencoba memakai kacamata kotak milik Dafa. Matanya memincing dan terbelalak, berusaha mencari perbedaan mencolok dari pemakaiannya.
"Min gue belum parah, kan?
Kana mengangguk, membuat rambut bergelombangnya terangkat keatas dan kebawah.
"Aishhh, lucu banget sih lo!"
Dafa mengusak surai halus jingga gelap itu gemas.Kana melepaskan kacamatanya dan kembali memasangnya di wajah sang pemilik dengan hati-hati.
Membuat yang mendapat perlakuan tersipu.Sementara Lintang hanya merengut sebal karena terpaksa meminjamkan bangkunya kepada Dafa. Sikap temannya itu pun berubah menjadi sok keren saat berinteraksi dengan Kana, jadi jijik sendiri dia tuh.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi belum ada satupun guru yang menampakkan wujudnya. Karena itulah, mereka berenam sekarang masih betah berceloteh ria di ujung kelas.
Hari ini, hari ketiga Kana bersekolah.
Mereka sibuk membicarakan hal tak jelas yang terlintas di kepala. Wulan memberikan gosip selebriti terbaru, mereka semua mendengarkan sembari sesekali melahap cemilan. Berbeda halnya dengan Izal yang fokus kepada layar ponselnya dan sesekali berteriak saat push rank.
"Kana!..."
Kana mengedarkan padangannya untuk mencari asal suara. Netranya terpaku kepada sosok yang sedang berdiri di ambang pintu. Laki-laki itu mengibaskan tangannya, memberi isyarat kepada Kana untuk segera mendatanginya.
Kana mengerutkan dahinya bingung, tapi ia tetap memutuskan untuk berjalan menghampirinya.
"Ada apa, Yan?"
Ryan tersenyum sembari menggaruk keningnya.
"Lo lagi sibuk, gak?"
Kana menggeleng kecil.
Ryan menelan salivanya terlebih dahulu. Lalu berkata,
"Mau ikut gue?"
Kana menatap Ryan penuh tanya.
"Kemana?"
"Ikut dulu aja, nanti lo liat sendiri."
Kana menoleh kebelakang untuk melihat keadaan teman-temannya.
Ah, teman-temannya. Ia memiliki teman sekarang.
Mereka ternyata sedang memandangi Kana balik, seperti ingin tahu apa yang sedang ia bicarakan dengan Ryan.
"Nanti kalau ada guru gimana?"
Ryan menghela nafasnya lembut. Ia mendekatkan wajahnya kepada Kana dan membisikkan sesuatu tepat di telinganya.
"Hari ini gak akan ada guru yang ngajar, jangan kasih tau anak-anak yang lain. Kalau lo mau ikut gue, kasih alesan ke temen-temen lo kalau ada guru yang manggil."
Kana mengerjapkan matanya kikuk saat jarak yang mengikis wajah mereka begitu sempit.
"Sayang banget kalau lo lewatin."
Ryan menatap Kana penuh harap, lalu kembali mengembangkan senyum ramahnya.
"Oke..."
Kana tak lagi mempertanyakan tujuan mereka lebih detail, ia cukup yakin Ryan tak akan macam-macam.
Kana berpamitan terlebih dahulu kepada teman-temannya dan berlalu dari kelas.Koridor sekolah diisi oleh beberapa murid yang terlalu bosan untuk berdiam diri di dalam ruangan. Ternyata bukan hanya kelas Kana yang tak dikunjungi guru sama sekali.
"Kok lo tau gak bakal ada guru?"
Ryan memasukkan lengannya kedalam saku celana.
"Gue dikasih bocoran sama ketua osis. Katanya guru-guru pada mau nonton di lapangan."
"Nonton di lapangan?"
Ryan menoleh ke samping, melirik sosok yang lebih pendek darinya.
"Hari ini ada demo ekskul. Sebenernya cuman anak-anak kelas 10 yang disuruh nonton di lapangan. Kelas 11 sama 12 gak dibolehin. Tapi karena gue denger semua kelas bakal jamkos full, jadi gue ajak lo."
Menyadari Kana yang masih tak mengerti maksudnya, Ryan kembali menjelaskan.
"Lo kan murid baru, belum pernah liat demo ekskul di sekolah ini. Gue rasa penting buat lo tonton, karena kan sekolah ini ngewajibin muridnya buat masuk setidaknya satu ekskul. Jadi nanti, lo bisa lebih gampang milih mau ikut yang mana. Sebenernya lo bisa aja sih, liat di sosial media sekolah kita. Tapi ya feelnya pasti beda ngeliat dari hp sama langsung."
Kana paham sekarang.
Ryan ternyata sangat pengertian, sampai-sampai ia memikirkan hal sekecil ini demi kemudahannya.Lapangan sudah dipenuhi oleh orang-orang, para murid kelas 10 telah duduk manis di atas spanduk yang disediakan. Kana juga bisa melihat beberapa murid yang berlalu lalang dengan make up dan kostum yang mencolok, sepertinya mereka sedang menyiapkan penampilan.
"Ayo, kita ke sana!"
Ryan tanpa sadar menggenggam tangan Kana dan menariknya menuju pojokkan lapangan.
Kana sedikit tersentak, tetapi ia berusaha menutupinya.Beberapa tatapan Kana dapatkan dari siswa-siswi yang mengenakan name tag serupa dengan milik Ryan saat sudah sampai disana. Ia baru menyadari, ternyata ini tempat berkumpulnya anggota osis untuk mengawasi situasi.
"Eh, Yan. Ini tempat kumpul osis, ya?"
Ryan mengangguk mengiyakan.
"Emangnya gak apa-apa ya gue disini? Nanti malah ganggu yang lain lagi."
Kana sedikit berbisik, takut ada salah satu dari mereka yang mendengarkan."Udah gak apa-apa, gue udah bilang kok sama mereka. Tenang aja, ok?"
Ryan memang sudah izin terlebih dahulu kepada anggota yang lain untuk mengajak seseorang. Mereka menyoraki dan menggoda Ryan, mengira anak itu akan membawa seseorang yang spesial. Mungkin tatapan terkejut itu mereka berikan kepada Kana, karena tak mengira ialah sosok yang Ryan bawa.
Ryan mengambil bangku kosong di belakangnya dan menyimpannya tepat di samping Kana.
"Duduk."
Kana mengernyit, lalu ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu.
"Lo duduk dimana?"
Pasalnya semua bangku yang tersedia sudah mendapatkan pemiliknya masing-masing."Ah gua gampang, udah duduk aja."
Sepintas dugaan muncul dalam benak Kana,
"Ini bangku lo, ya?"Ryan yang hanya diam saja, membuat Kana berpikir tebakannya tepat sasaran.
Ia segera menggeleng ribut dan melambaikan tangannya sebagai bentuk penolakkan."Gue gak mau duduk di bangku lo. Yang osis di sini kan lo, Yan. Pasti setelah ini masih banyak yang harus dikerjain, nanti lo malah pegel-pegel lagi. Enggak usah, gue bisa kok nonton sambil berdiri."
Ryan menghembuskan nafasnya, ia sudah mengira ini akan menjadi respon dari Kana.
"Justru karena kerjaan gue banyak, gue gak bisa duduk terus-terusan. Gue pasti bolak-balik kesana kemari, jadi mending ini bangkunya lo dudukkin aja dulu. Sekarang kan panas, lo kalau mau maksain berdiri nanti malah pingsan jadinya gimana? Entar malah ketauan kalau lo lagi gak ada di kelas."
Ucapan Ryan masuk akal, Kana juga tak ingin semakin menambah beban jika ia benar-benar tepar di lapangan. Terlebih lagi, Kana belum terbiasa berdiam diri di bawah matahari untuk waktu yang lama.
Tapi tetap saja rasa tak enak hati masih hinggap disana,
"Mau duduk sendiri di bangku ini atau mau gue pangku?"
Eh?
Kana terhenyak dari pergulatan batinnya. Ia mengedipkan matanya gugup.Ryan yang melihat itu tertawa sampai matanya menyipit,
"Gak mau, kan? Yaudah duduk. Jangan banyak mikir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...