Bara mendorong motornya dibantu oleh Kana yang juga memberikan sedikit tenaga di bagian yang lain.
Tak perlu ditanya, Bara sudah beberapa kali menolak tawaran Kana untuk membantunya membawakan kendaraan roda dua yang tiba-tiba rusak ini. Tapi Kana tak menerima protes, ia tak bisa diam saja saat melihat Bara yang jelas-jelas sedang terluka untuk mendorong benda besar ini sendirian. Bahkan saat ini langkahnya sedikit tertatih.
Dan mengenai permintaan Kana untuk ikut dengan Bara ke rumahnya, ia memiliki alasan.
Kana bisa membantu Bara untuk mengobati lukanya. Dari penuturan Bara tadi, sepertinya orang tuanya sedang tak ada di rumah. Ia kemungkinan akan kesulitan untuk menangani cederanya seorang diri.Bara juga ingin sekali menolak permintaan Kana yang satu itu, ia hanya akan semakin merepotkan Kana.
Kata 'tak perlu' sudah berada di ujung lidahnya, tetapi sesuatu menghentikan Bara untuk mengutarakannya.Alih-alih menggeleng, ia malah mengangguk.
Bara kebingungan dengan sikapnya akhir-akhir ini, terutama saat dirinya sedang berada di sekitar Kana. Banyak sekali perilakunya yang tak bisa ia kendalikan.
Entahlah, mungkin Bara hanya masih tak percaya ada orang yang begitu peduli kepadanya. Karena itulah ia sangat kesulitan untuk berkata 'tidak' kepada Kana.
Ekor mata Bara menangkap hewan berbuntut yang tengah merebahkan dirinya di atas tanah. Ia sesekali menjilati tangan berbulunya, lalu membasuh kepalanya dengan air liur. Kucing berbulu kekekuningan itu tak menunjukkan raut bersalah sama sekali setelah hampir membuat Bara celaka.
Bara hanya bisa menghela nafasnya lelah, setidaknya kucing itu tidak ikut terluka.
Sorot matanya kini sedikit teralih kepada sosok yang mengenakan cardigan berwarna mocca dan celana bahan selutut di sampingnya.
Apa Kana sudah merasa lebih baik sekarang?
Perjalanan mereka tak dihiasi oleh suara percakapan. Walaupun ada sedikit kecanggungan, tapi nyatanya mereka tak merasa terintimidasi oleh kesunyian. Walaupun banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan, tetapi mereka memilih untuk menyampaikannya disaat waktu yang lebih tepat.
Kana sedari tadi mengikuti kemana Bara membawanya. Ia baru saja memasuki sebuah gang di dekat mini market yang tadi ia kunjungi. Mereka menyusuri beberapa belokkan dan melewati rumah-rumah yang berdempetan. Tak ada satu orang pun yang terlihat berkeliaran, mungkin karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.
Sepertinya keluarga Kana masih belum menyadari menghilangnya si bungsu.
Karena sampai saat ini, ponsel Kana masih belum membeludak dengan notifikasi.
Ia bisa bernafas dengan lega untuk sekarang. Semoga saja sampai nanti ia pulang pun, mereka masih belum mengetahui kepergiannya.Langkah Bara berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan cat yang sudah berubah menjadi kecoklatan karena dimakan waktu dan cuaca. Kana tak bisa menebak warna apa yang sebelumnya membaluti rumah ini.
"Ini rumah gue, gue parkirin dulu motornya, ya."
Kana mengangguk patuh dan melepaskan pegangannya, membiarkan yang lebih paham untuk melakukan sisa tugasnya.
Setelah memarkirkannya di teras rumah, Bara merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kunci. Ia memasukkannya ke dalam lubang kecil di bawah gagang pintu dan membuka kayu persegi panjang itu.
"A-ayo masuk..."
Kana sebenarnya tak mengerti mengapa ia dengan suka rela mengikuti Bara ke tempat tinggalnya pada malam hari seperti ini. Tapi intuisinya mengatakan, tak ada hal yang perlu ia cemaskan. Jika orangnya bukan Bara, Kana pasti tak akan mau melakukannya. Mengingat semua hal baik yang sudah Bara lakukan, terutama kemarin, ia sudah menyimpan kepercayaan lebih secara tak langsung kepadanya. Sekarang Kana yakin, ada alasan lain mengapa saat itu Bara bersikap dingin kepadanya.
Kana mengekori Bara dari belakang, membiarkan sang pemilik rumah untuk memandu.
Saat pertama kali masuk, ia langsung dipertemukan dengan beberapa sofa dan sebuah meja jati. Sepertinya tempat ini adalah ruang tamu di rumah Bara.
"Lo duduk dulu aja, gue mau ke kamar dulu."
Bara meminta izin untuk meninggalkan Kana. Ia tak membeberkan bahwa tujuannya memasuki kamar untuk berganti pakaian. Takut-takut, ia salah merangkai kata-kata dan membuat Kana menjadi tak nyaman lagi.
"Iya, sekalian bawain obatnya, ya!"
Bara dan Kana mengangguk pada saat yang bersamaan. Yang satu hengkang ke kamar dan yang satu mendaratkan tubuh ke atas sofa.
Tak lama, Bara kembali keluar dengan penampilan yang sudah berbeda. Ia mengenakan kaos hitam dan celana basket merah marun.
Tangan kanannya sibuk menggenggam sesuatu yang sebenarnya malu untuk ia tunjukkan.Netra Kana dengan cepat menangkap benda kotak yang tak asing baginya.
Ia tak bisa membendung senyumnya, bahkan ada sedikit kekehan kecil yang keluar dari bibir itu.Ternyata Bara benar-benar masih menyimpan kotak obat pemberiannya.
Bara yang menyadari Kana tengah memperhatikan benda di tangannya pun, hanya bisa menggaruk tengkuknya bersemu.
Apa Kana sekarang tengah memikirkan perkataan Nanang tentang dirinya yang pernah mendekap benda itu sampai tidur?
Aish, awas saja nanti saat ia bertemu lagi dengan Nanang.Setelah beberapa detik masih terpaku melihat barang persegi itu, pandangan Kana kini beralih kepada luka di betis Bara yang memerah.
"Ehh, sini-sini, gue liat dulu lukanya!"
Bara menuruti perintah Kana dan duduk di sebelahnya, tetapi ia masih cukup sadar untuk menjaga jarak demi kebaikan bersama.
Tapi sepertinya aksi Bara malah tak ada gunanya, karena kini Kana malah mengikis jarak yang ia berikan.Kana menarik betis Bara secara perlahan. Pupilnya fokus menelaah luka gesekkan itu. Jemarinya secara tak sengaja bersentuhan langsung dengan kulit Bara yang sedikit tertutupi oleh bulu halus.
Memberikan sensasi yang geli dan juga sengatan di saat yang bersamaan kepada si pemilik.
Kana masih mengamati dan berpikir apa yang harus ia lakukan sebagai penolongan pertama kepada Bara.
Ada beberapa bagian lukanya yang terlihat ditempeli oleh kotoran, kemungkinan dari tanah tempat ia terjatuh."Bar, lukanya cuci dulu, ya!"
Kana mendongak untuk memberikan Bara perintah.
Tetapi bukannya menurut, Bara justru malah balik menatap Kana dan terdiam untuk beberapa detik.Membuat Kana menjadi gugup dan kelimpungan sendiri. Tapi tak lama, ia tersadar akan sesuatu.
"Eh, maaf gue lupa! Gue gak apa-apa kan kalo gak sengaja nyentuh kulit lo?"
Kana menggigit lidahnya cemas, ia sangat ribut dengan consent orang lain kepada dirinya sampai lupa untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Bara terhenyak dari lamunan panjang, ia mengerjapkan matanya dan mengangguk kikuk.
"O-oke, gue ke kamar mandi dulu."
Bara kembali beranjak dari sofa dan segera bergegas untuk membasuh lukanya.
Bagus sekali Bara, mengapa ia malah melamun seperti orang bodoh.
Ia mengacak rambutnya frustasi.
Secara berkala, ia mengguyur sedikit demi sedikit air ke atas kulitnya yang lecet.Tapi raut wajahnya berbanding terbalik dengan rasa kesal yang ia rasakan kepada dirinya sendiri. Sudut bibir di wajah itu tertarik ke atas.
Entah mengapa ia malah bersemangat untuk diobati oleh Kana.
Rasa perih yang menjalar di kakinya terkalahkan oleh rasa aneh yang hinggap di dadanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...