sepuluh

119 10 0
                                    

Bara mencoba mengatur nafasnya terlebih dahulu. Keringat dan darah kini sudah bercampur menjadi satu.

Ia mengendap-ngendap berjalan melewati rumah-rumah tetangganya. Takut-takut mereka melihat dirinya yang sedang babak belur. Ia tak peduli apa omongan orang-orang.
Tapi ia tak mau jika Mpok Lela sampai mendengarnya.
Sudah cukup ia membuat sosok itu khawatir setiap harinya.

Sekarang Bara sudah sampai di depan rumahnya. Tapi rasa enggan kini menusuk rongga kulitnya. Ia menyadari sesuatu yang berbeda saat terakhir kali ia meninggalkannya.

Lampu rumahnya menyala.
Berarti manusia itu sudah kembali pulang.

Bara menghembuskan nafasnya jengah.

Persetan apa yang akan ia katakan.

Dengan cepat, Bara berjalan membuka pintu rumahnya.
Dan betul saja, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Bapaknya yang sedang duduk di sofa ruang utama.
Sebuah kue dan beberapa makanan tertata rapih di atas meja.

Mendengar suara pintu yang terbuka,
Wahyu mendongakkan kepalanya untuk melihat sosok yang sedari tadi ia tunggu.
Wajah yang awalnya berseri, kini berangsur memudar menjadi terkejut dan memudar kembali menjadi amarah.

"Abis ngapain lo?"

Langkah Bara terhenti untuk sejenak dan balik menatap Wahyu dingin.

"Apa peduli lo?"

Wahyu mengeluarkan tawa tak percayanya, lalu kembali menatap Bara nyalang.

"Mau sampe kapan lo pulang babak belur kaya gini? Mau sampe kapan lo pulang malem setiap hari? Lu masih ingetkan, lu punya rumah?"

Bara berdecih mendengarkan seribu pertanyaan dari Bapaknya.

"Rumah? Sejak kapan gue punya itu?
Tapi tunggu, bukannya gue yang harusnya nanya, ya? Lu masih ingetkan lu punya rumah? Sampe kapan lu mau nginep di rumah pacar-pacar lo itu?"

Wahyu beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Bara.
Matanya kini sudah memerah penuh murka.

"Kenapa? Gak bisa jawab? Kalau soal jawaban yang lo tanyain, gue rasa lo udah tau. Apapun yang lo liat dihadapan lo sekarang adalah hasil karya dari semua hal yang udah lo perbuat.
Gimana rasanya, ngehancurin anak lo sendiri?"

'PLAKK!'

Bara benci ini.
Bara berpikir ia akan dipukul atau ditendang sekalian.
Bara paling benci ditampar.
Rasanya sangat memalukan.
Mau tak mau, suka tak suka, ia akan merasakan matanya yang memanas dan hatinya yang menjadi perih.

Semua pukulan yang tadi ia dapatkan tak ada apa-apanya dengan satu tamparan ini.

Bara membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari rumah itu.

Sementara Wahyu hanya diam mematung di tempat asalnya.
Secara perlahan, kakinya beringsut melemah dan ia terjatuh ke lantai.
Tangisannya sudah tak terbendung lagi.

Bukan ini yang ia rencanakan.
Bukan ini yang ia ingin lakukan.

Wahyu menatap kue ulang tahun yang berada di atas meja nanar.
Ia berencana untuk merayakan ulang tahun ketujuh belas Bara yang tak sempat mereka rayakan beberapa bulan lalu.

Ia ingin memperbaiki semuanya.

Ditempat lain, Bara berjalan dengan penuh hentakan.
Semua nyeri di wajahnya sirna dimakan oleh rasa benci.
Tangannya mengepal hebat hingga memerah.
Entah kemana ia akan pergi, ia sepenuhnya memberikan alam bawah sadarnya kendali.

Inilah yang selalu ia lakukan dengan Bapaknya setiap kali mereka beradu tatap. Bertengkar hebat atau tak berbicara sama sekali.

Bara kesal setengah mati.
Mengapa orang itu tak bisa berpikir secara rasional?
Walaupun bukan kenyataanya, tapi bagaimana jika semua luka yang ia dapatkan adalah murni perbuatan orang jahat.
Apakah hal yang pertama terbit dikepalanya hanya makian?
Tak adakah sedikit kecemasan atau kepedulian terhadapnya?

Lagi pula, siapa orang itu untuk memarahinya.
Manusia itu tak ada bedanya.
Munafik.

Langkah Bara terhenti saat ia menyadari tempat yang ia datangi.
Nafasnya yang memburu, kini semakin melambat dan bahkan sulit untuk didengar.
Kepalan tangannya mengendur dan terlepas.

Bara berada di taman ini.
Taman depan Komplek Estherial yang dahulu sering ia kunjungi bersama ibunya.

Pagi tadi saat bekerja, ia sengaja mengambil jalan lain agar tak melewati tempat ini. Tapi sepertinya, hati kecilnya tak bisa berbohong.
Ia rindu.

Bara membuang nafasnya lemah.
Ia kembali berjalan menuju salah satu bangku di sana.
Saat ia mendudukkan tubuhnya, semua luka yang ia dapatkan mulai terasa sakitnya.
Badannya terasa sangat pegal karena seharian bekerja, wajahnya terasa sangat pedih karena kulit yang terbuka, dan terlebih lagi, bekas tamparan yang rasanya tak perlu lagi dijelaskan.

Hawa malam menusuk pori-pori kulit Bara yang tak tertutup kain. Sedari pagi ia tak mengenakan pakaian panjang.
Bara tak bisa mengelak, ia sangat kedinginan.

Wajahnya mendongak menatap rembulan yang bercahaya di langit kelam.
Bagaimana ibunya di sana?
Apakah ia kedinginan sepertinya?
Bara harap tidak.
Semoga tuhan memberinya selimut yang hangat saat malam seperti ini.
Ia lebih berhak mendapatkannya.

"Bu... Bara kangen."

Bara tak pernah menitikkan air matanya semenjak Ibunya dikubur dengan tanah. Tak ada lagi tangan yang mengusap pundaknya saat ia kesulitan untuk menyampaikan perasaan, tak ada lagi pelukan yang menenangkannya saat ia merasa ketakutan.

Bapaknya selalu berkata untuk selalu kuat setiap saat.
Ibunya selalu berkata untuk tak apa menangis saat hati mengaduh sakit walau hanya sedikit.

Dan tak ada yang mengucapkan kata-kata itu lagi.

Bara memendam semua air mata dan keluh kesahnya.
Ia tak pernah dan tak akan pernah mengeluarkannya.
Biarkan ia bawa mati sampai ia dikubur dan akhirnya bisa bertemu kembali dengan ibunya.

Sampai disana, ia akan kembali meneteskan semua air matanya dalam dekapan sang ibu.

Bara yang tenggelam dalam lamunannya tak menyadari jika seseorang sedang memperhatikannya.

Sampai langkah demi langkah orang itu ambil dan akhirnya Bara mulai tersadar dan melihat sepasang kaki.

Ia dongakkan kepalanya untuk melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

"Permisi, Mas."

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang