enam belas

101 8 0
                                    

Bara sedang melakukan kegiatan rutinnya—berjemur setelah mandi di bawah sinar matahari.
Ia pejamkan matanya sembari membaringkan pundaknya ke kursi.

Ah, nikmatnya.

Wahyu sedang tak ada di rumah, jadi ia bebas untuk melakukan aktivitasnya dengan leluasa.
Setidaknya sampai jam 9 nanti—karena ia harus kembali melanjutkan pekerjaanya di salah satu rumah dalam komplek Estherial itu.

Senyumnya menyungging begitu saja saat mengingat orang itu—Kana.
Ia tak begitu pandai dalam bercengkrama dengan orang asing, tapi entah mengapa, berbincang dengan Kana mampu membuat semua kata di bibirnya mengalir begitu saja. Selain ramah, ia asik pula ternyata.

Jangan tanya mengenai Nanang.
Baru menginjakkan kaki beberapa langkah keluar dari rumah itu, tingkah petakilannya sudah kambuh dan mulai menggoda Bara mengenai kesalah pahamannya mengenai eksistensi Kana.

Lebih baik tak di ladeni saja, bisa cape sendiri dia.

Setelah merasa tubuhnya cukup kering, ia kembali bergegas ke kamar dan mengenakan pakaian monotonnya—singlet dan celana selutut hitam. Diaplikasikannya parfume dan disisirnya rambut.

Tak perlu berlama-lama bersiap, ia kembali berangkat untuk berkerja. Seperti kemarin, Nanang berjanji akan menemuinya dalam perjalanan.

"Si Padli gimana? Dia masih demam?"

Nanang mengusak rambut gondrongnya sembari menyesap sebatang rokok.

"Udah sembuh katanya, nanti senin dia udah bisa ikut sekolah. Lo bantu jagain dia, ya, kasian juga tu anak, jadi korban salah sasaran."

Semenjak terkena pukulan di kepalanya, Padli sempat demam untuk beberapa hari. Bukan sakit yang berat, hanya saja tetap mengkhawatirkan.
Nanang sebagai anggota tertua—dan bisa dibilang ketua, selalu berusaha menjaga seluruh anggota yang lain.
Pada akhirnya, mereka hanya anak-anak ingusan yang mencari perlindungan lain selain dari rumah.

"Kalo soal Ello, menurut lo, gimana? Apa dia masih harus tetep sembunyi?"

Nanang menghela nafasnya, memikirkan nasib bocah itu.

"Kayanya iya, keadaan udah makin runyam aja. Setelah kejadian kemarin, gue yakin Satria gak bakalan diem aja. Dia pasti bakal cari Ello kemanapun itu. Gue takut, dia bakal berakhir lebih mengenaskan dari temennya si bangsat itu. Kita harus cari bukti dulu, kalau Ello atau salah satu dari kita gak terlibat."

Bara mengangguk mengerti.
Ia tak menyangka permasalahannya akan menjadi sepanjang ini.

"Kak Argaa!! Buruan, ih, sini!"

Bara mendongakkan kepala saat mendengar suara yang tak lagi asing di telinganya.

"Iya bentar, Na. Ini pake sendal dulu."

Kana sedang memgambil beberapa pot bunga dari bagasi mobil. Tak lupa juga, ada satu paper bag penuh dengan benih dan pupuk.
Setelah proses pemakaian alas kaki yang memakan waktu seribu tahun lamanya, Arga menghampiri Kana dan membantunya membawa barang-barang itu.

Hari ini, Kana mengenakan kemeja puffy sleeves pendek berwarna oranye pastel, dungaree denim biru muda, dan sebuah topi rajut bundar yang melingkari kepalanya.
Cocok sekali untuk berkebun.
Dan sudah bisa ditebak, Arga masih mengenakan singlet biru tua dan celana basket—pakaian tidurnya semalam.

"Eyy, Bro, mau ngapain, nih?"

Nanang menyapa pemilik rumah itu yang bisa dibilang boss nya untuk saat ini.
Bara mengekor dari belakang.

"Ini, Bro, Nyokap sama Adek gue mau beres-beresin taman di belakang, sambil mau nanem tanaman baru juga katanya."

Nanang dan Arga sudah menjadi sangat akrab hanya dalam satu pertemuan. Usia yang sama membuat mereka menjadi lebih mudah untuk click dan bonding. Banyak hal yang bisa mereka bicarakan.

Kana yang sedari tadi menghadap ke dalam bagasi, baru menyadari kehadiran seseorang.
Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati dua tubuh yang berdiri tak jauh dibelakangnya.
Bara dan temannya.

"Haii!!"
Kana melambaikan tangannya sembari tersenyum ke arah Bara.
Sementara tangannya yang satu masih setia mengais sebuah pot.

Bara yang baru saja menerima sapaan, hanya tersenyum simpul.

"Hai.."
Cicitnya.

Nanang menyadari perubahan gestur Bara yang menjadi lebih sopan di depan Kana. Enggak ada judes-judesnya lagi.

"Hey, Dek, nama lo Kana, ya?"

Nanang mengintrupsi percakapan antara Bara dan Kana yang sebenarnya belum dimulai.
Kana yang merasa pertanyaan itu dilontarkan untuknya, hanya mengangguk polos.

Nanang tersenyum ramah sebelum berkata,
"Gue Nanang, temennya Bara. Gue mau ngucapin makasih, ya, karena udah bantu ngobatin temen gue waktu itu."

"Ahh, iya, gak apa-apa kok. Aku juga seneng udah bisa bantu."
Kana tertawa kecil sembari merapikan poninya.

"Adek lo lucu ya, Ga. Beda sama nih bocah satu, mirip harimau sumatera."

Bara mendelik keras, merasa Nanang sedang menyindirnya saat ini.
Arga hanya tersenyum kecil menanggapi, karena saat ini kepalanya sedang berpikir keras.
Mengobati? Kana mengobati orang ini? Kapan? Tunggu... Apa Bara-Bara ini yang saat itu mereka temui?

"Ehh, tapi walaupun ni orang mukanya mirip preman, dia lembut kok hatinya, Na. Buktinya kotak obat yang waktu itu lo kasih masih disimpen, loh, dipajang malah dikamarnya. Gue mau minta plesternya aja, katanya gak boleh, beli aja sendiri."

Bara tertawa kaku sembari menyikut pinggang Nanang, memberinya kode untuk berhenti bicara.

"Enggak, kok, Na. Dia emang suka bercanda orangnya."

Bara menepuk-nepuk pundak Nanang masih dengan senyum lebarnya yang ia paksakan. Nanang bisa merasakan rematan di pundaknya mulai mengeras—peringatan dari Bara agar ia berhenti bertingkah. Mau tak mau Nanang menutup mulutnya, anak ini kalau sudah menjadi galak, menakutkan juga.

Kana yang memang mengira itu hanya sebuah candaan belaka, ikut tertawa bersama mereka.

"Yaudahh, Kak Nanang sama Bara sarapan dulu, ya, udah disiapin tuh!"
Kana menunjuk kerumunan pekerja lain yang sedang melahap sarapan mereka.
Barapun mengangguk patuh dan segera menyeret Nanang, takut mulutnya semakin berbicara yang tidak-tidak.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang