dua enam

70 6 0
                                    

Bara dan Kana masih saling bertatapan untuk beberapa detik.
Sampai suara seseorang mengintrupsi.

"Kana, kamu duduk di kursi belakang itu, ya."

Bu Wiwin menunjuk bangku kosong di ujung kelas sebelah kiri, di seberang meja Bara.

"O-oh, iya Bu."

Kana memutus tautan mata itu dan berjalan perlahan menuju tempat yang tadi Wiwin maksud.

Tak bisa ia pungkiri, murid-murid yang lain masih menatapnya dari atas sampai bawah. Ia sedikit tak nyaman. Tapi apa boleh buat, mungkin itu pengalaman normal bagi murid baru.

"Hai, gue duduk disini, ya."

Kana memberanikan diri untuk berbicara terlebih dahulu kepada siswa perempuan yang akan menjadi teman sebangkunya itu.

Cewek dengan rambut yang diikat kuda itu tersenyum dan mengangguk.

"Ayo-ayo!"

Beruntung Kana duduk di bangku paling ujung dekat tembok, ia merasa lebih aman disana.

Wiwin mulai kembali membuka bibirnya dan berbicara mengenai pelajaran-pelajaran yang akan ia ajarkan sebagai guru ekonomi.
Ia juga membagikan jadwal pelajaran baru untuk kelas ini.

"Hai, nama gue Lintang. salken, ya!
Yang betah ya sebangku sama gue!"

Kana menoleh saat mendengar teman sebangkunya berbisik.

Lintang tersenyum sembari menyodorkan tangannya.
Dilihat dari dekat, perempuan itu memiliki kulit kuning langsat yang cantik. Lintang sedikit mengingatkan Kana kepada aktris Dian Sastro.

Kana membalas sodoran tangannya dan balik tersenyum,

"Kana. Salken juga, ya."

Kana menyukai aura yang dipancarkan oleh Lintang. Ia terlihat ramah dan bersahabat.
Semoga Kana bisa disambut baik juga oleh teman-temannya yang lain. Atau lebih tepatnya, semoga eksistensinya dihiraukan saja dan ia dibiarkan belajar dengan tenang. Ia tak berharap lebih.

Kana membuka buku barunya dan mulai mencatat poin-poin penting mengenai sistem pelajaran yang akan ia pelajari.

Sampai ia merasa ada seseorang yang terus memperhatikannya, ia menoleh ke seberang sana dan mendapati Bara yang masih setia memandanginya.

Bara segera membuang muka dan menggerakkan lengannya seperti sedang mencatat sesuatu; dia sebenarnya tak mendengarkan apa pun yang Bu Wiwin ucapkan.

Ia masih terlalu terkejut dengan fakta bahwa Kana benar-benar ada bersamanya saat ini.
Ternyata ia tak berhalusinasi tadi pagi.

Tapi mengapa bisa? Ia pikir, Kana akan bersekolah di sekolah unggulan yang mahal, melihat status keluarganya yang tentu saja sanggup.
Bukan berarti sekolah ini buruk atau semacamnya. Hanya saja dari sekian banyak sekolah, mengapa sekolah ini? Mengapa sekolahnya? Kebetulan yang aneh.

Total sudah tiga kali, ia bertemu dengan Kana tanpa disengaja.
Bara pikir, ia tak akan bertemu dengannya lagi setelah perpisahan mereka beberapa hari yang lalu.

Bel istirahat berbunyi diiringi oleh hembusan nafas lega dari murid-murid.
Ada rumor juga yang mengatakan bahwa mereka akan dipulangkan jam 10 nanti.

"Na, ayo mau ke kantin?"
Lintang merapikan buku-buku di atas meja dan memasukkannya ke dalam ransel kuning-mentega miliknya.

Kana berpikir sejenak, ia sudah membawa bekal yang tadi pagi Belinda berikan. Tapi ada perasaan menggelitik di dalam dirinya saat seseorang mengatakan kalimat itu lagi. Ia tak pernah mendapatkan ajakan untuk pergi ke kantin setelah bertahun-tahun lamanya.

Bara beranjak dari kursinya, ia menggerakkan tubuhnya ragu dengan pikiran yang masih menimbang-nimbangi sesuatu.

"Yo, Bar. Ke kantin!"

Wildan sudah siap sedari tadi untuk segera memberi makan cacing-cacing di perutnya.

Tapi saat perhatiannya dialihkan kepada sosok yang ia ajak bicara, Bara malah termangu sembari memandangi pojok seberang kelas.

Wildan menautkan alisnya, ia mengikuti arah pandang Bara.
Itu murid baru, kan? Ada apa?

"Hehh, ngelamun mulu lo. Ayo buruan, gue udah lapar brutal, nih!"

"Lo duluan aja."

Bara menolak ajakan Wildan tanpa meliriknya sama sekali.
Widan mendengus jengah dan tak lagi memedulikan temannya itu.
Urusan perutnya lebih penting.

Bara berusaha meyakinkan hatinya walaupun masih beradu dengan dilema, ia dengan kaku berjalan ke depan tetapi mundur kembali satu langkah.

Ia ingin menyapa Kana.
Atau mungkin mengajak Kana ke kantin? Entah lah, apa saja, ia hanya ingin berbasa-basi. Dibandingkan orang-orang disini, ia lebih dahulu mengenal Kana, bukan? Jadi mungkin suasanya tak akan canggung.

Bara tahu, ia tak pantas untuk berteman dengan Kana. Tapi kini keadaanya sudah berbeda, mereka akan lebih sering bertemu karena satu kelas. Tak ada salahnya kan, jika ia ingin membangun hubungan yang baik dengannya?

Bara memantapkan hatinya terlebih dahulu, lalu berjalan ke arahnya.

Kana hendak mengangguk dan mengiyakan ajakan Lintang,

"Ay—"

"Kana!"

Ucapannya terpotong, Kana mengedarkan pandangan saat namanya dipanggil oleh seseorang.

Sama halnya dengan Bara.

Aryan tengah berdiri di ambang pintu dan melambaikan tangannya.

Duh, bagaimana bisa Kana lupa?
Ia kan sudah dibuatkan janji untuk diajak berkeliling sekolah di waktu istirahat.

"Eum, duluan aja ya, Lin!"

Lintang mengangguk kikuk melihat situasi saat ini. Mengapa Ryan tiba-tiba datang ke kelas ini dan memanggil Kana? Apa mereka saling mengenal?

Lintang pun pamit kepada Kana dan berlalu bersama teman-temannya keluar kelas.

Kana teringat akan sesuatu, ia mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam ransel. Dari yang ia tangkap tadi pagi, Ryan adalah seorang anggota osis. Dan yang ia tahu juga, organisasi itu sedang sibuk-sibuknya mengurusi orientasasi siswa baru. Itu berarti, Ryan sekarang tengah mengorbankan waktu istirahatnya hanya untuk mengajaknya berkeliling sekolah. Ia merasa sangat tak enak. Sebaiknya Kana memberikan bekal ini untuknya sebagai ucapan terimakasih.

Kana berjalan menghampiri Ryan ke depan kelas.

"Yu! Mau sekarang aja?"

Kana mengangguk sembari tersenyum tipis.

"Yu!"

Mereka pergi meninggalkan kelas yang mulai menggema terbalut oleh sepi.

Meninggalkan Bara yang masih membisu di tempatnya berdiri.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang