tiga satu

60 5 0
                                    

Kana berjalan sembari memegangi ujung ranselnya. Ini hari keduanya bersekolah di SMA Kenanga.
Rasa cemasnya sudah tak sebesar kemarin, tapi gelagat gugupnya masih tetap menghampiri.

Di perjalanan menuju kelas, ia
mendapati murid-murid baru kelas 10 yang masih mengenakan name tag dari karton. Kana teringat, acara orientasi siswa biasanya berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Senyum tipis ia kembangkan saat melihat interaksi yang beragam dari juniornya. Mulai dari canggung sampai antusias. Sepertinya menyenangkan untuk melewati MOS. Yang ia dengar kemarin dari Ryan, banyak sekali kegiatan seru yang sudah disiapkan oleh panitia.
Tak ada lagi sangkut pautnya MOS dengan kekerasan atau senioritas.

Saat kakinya baru beberapa langkah memasuki kelas, semua pasang mata sudah mulai tertuju kepadanya.
Bel masuk masih berbunyi beberapa menit lagi dan sepertinya guru pun belum akan hadir, bisa dilihat kini siswa-siswi kelasnya tengah bersantai. Ada yang duduk di meja, ada yang sedang sarapan, dan ada juga yang sibuk menulis catatan.

Kana meneguk ludahnya, ia memberanikan diri untuk tetap tangguh berjalan menuju tempat duduknya kemarin; ujung kelas.

Di bangku belakang itu, Lintang sedang mengobrol dengan beberapa murid yang lain. Dua perempuan dan dua laki-laki. Kana tak tahu siapa nama mereka, mengingat ia yang datang paling akhir dan tak sempat berkenalan.

"Eh, Kana, sini!"

Lintang memberi celah agar Kana bisa duduk di bangkunya.

Semua perhatian penghuni kelas masih setia terpaku kepada Kana.
Ia bahkan bisa melihat beberapa orang sedang berbisik.
Kana mencoba untuk tak menghiraukannya dan tersenyum tipis kepada Lintang sembari mengangguk.

Kana simpan ransel biru mudanya ke samping bangku. Tangannya sudah hendak meraih ponsel karena ia tak ingin menganggu aktivitas Lintang dan teman-temannya.
Ia tak ingin memberikan kesan 'sok dekat'.

Satu hal yang tak Kana sadari, orang-orang yang menatapnya dari gerbang sekolah sampai kelas, bukan sedang merendahkannya.

Tetapi mereka terpana melihat Kana.

"Lo artis, ya?"

Kana mendongakkan kepalanya.
Laki-laki berambut buzz cut dengan kumis tipis itu menatapnya lamat.
Tunggu, ia berbicara kepadanya?

Serasa memang pertanyaan itu terlontarkan untuknya, Kana menggeleng patah-patah.

"Serius? Ah, bohong lo ya. Masa sih ada orang biasa kaya lo. Lo lagi merakyat biar gak ketauan sama fans lo? Rahasia lo aman kok sama kita. Ngaku aja, gak apa-apa, kok!"

Kana masih mencerna pertanyaan bertubi-tubi yang ia dapatkan. Ia tak mengerti mengapa dirinya dikira seorang artis, ada selebriti yang mirip dengan wajahnya kah atau bagaimana?

Kana hendak membuka mulutnya dan menjawab, tetapi seorang perempuan dengan rambut panjang dan poni ala remaja jepang menggeplak kepala laki-laki itu dari belakang.

"Lu nanya nya biasa aja dong, sat. Dia jadi kaya lagi diintrogasi abis maling daleman!"

Sungut si perempuan itu yang hanya dibalas cebikan sebal dari sebelahnya.

"Eh tapi serius deh, lo artis ya? Kok gue gak pernah liat. Padahal gue up to date banget."

Perempuan itu malah kembali menanyakan hal yang sama.

"Yee, lu mah sama aja."

Seorang perempuan lain dengan rambut bondol melempar kulit kacang ke arahnya.

"Guys, udah ya jangan buang-buang sampah sembarang, hari ini gue disuruh piket."

Seorang laki-laki dengan kacamata kotak berusaha menghentikan aksi perempuan itu, tetapi protesnya malah diartikan sebagai undangan untuk mereka semakin mengerjainya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang