enam tujuh

50 4 2
                                    

Kana menggerakkan jemarinya kesana dan kemari di atas layar ponsel.
Setiap kali ada ide yang melintas, ia akan dengan cepat mengetiknya ke dalam aplikasi catatan.
Ia pula tengah membaca beberapa artikel sebagai sumber refrensi dan inspirasi.

Beberapa jam yang lalu, tepat setelah bel pulang berbunyi, para pengurus Osis diperintahkan untuk mengikuti rapat. Pertemuan itu berisi diskusi rancangan dan rencana peringatan hari kemerdekaan yang akan segera diselenggarakan. Semua anggota dipersilahkan untuk memberikan usulan mengenai lomba-lomba dan konsep yang akan dipakai.

Itulah yang Kana lakukan saat ini. Ia tengah sibuk memikirkan kegiatan apa saja yang sekiranya akan menarik untuk diadakan. Tak hanya lomba tradisional yang sudah ada sejak dulu, Kana berpikir untuk menambahkan lomba yang lebih modern agar semua siswa berkeinginan untuk ikut meramaikan.

Suasana halte bus saat ini terasa cukup sepi. Sedari tadi Kana hanya ditemani oleh suara hati dan bayangannya saja. Bus dengan rute yang biasa ia tumpangi pun belum kunjung datang juga. Mau tak mau, ia harus sabar menunggu.

Ryan sudah menawarkan Kana untuk pulang bersama, tetapi Kana dengan sigap menolak keras ajakannya. Minggu lalu—hari dimana mereka menghabiskan waktu bersama—Ryan sudah mengantarnya hingga depan rumah dengan selamat. Padahal saat itu langit telah petang, tetapi ia masih tetap saja bersikeras membawa Kana pulang.

Karena itulah, Kana tak ingin kembali merepotkan Ryan secara berturut-turut.

Tak ingin memaksa, Ryan hanya bisa mengangguk dan mengemasi barangnya. Padahal ia tak merasa dibebankan sama sekali. Justru, ia akan dengan senang hati melakukan semua itu untuk Kana.

Dafa, Leni, dan Lintang pun tak lah jauh berbeda. Saat mendengar bahwa ia akan pulang seorang diri, mereka dengan gesit menawarkan Kana untuk menemaninya di halte bus, setidaknya sampai angkutan umum yang Kana incar telah tiba.
Tetapi untuk yang kedua kalinya, Kana kembali menggeleng tak menerima.

Kana menyukai kondisinya saat ini. Sepertinya ia sudah mulai familiar dengan kota barunya. Walaupun entah mengapa, ia menjadi teringat akan masa-masa beratnya di Bandung. Dulu pun, ada kalanya ia bepergian seorang diri dengan beban di pundaknya.
Tetapi, situasinya yang lalu dan yang sekarang tak lah lagi sama.
Jauh berbeda.

Dulu, Kana akan pergi dan pulang seorang diri karena tak ada yang mau menemaninya.
Sekarang, Kana akan pergi dan pulang seorang diri karena itu sudah menjadi keputusannya.

TIN!

Kana dengan spontan mendongakkan kepalanya saat tiba-tiba suara klakson mengiang begitu saja pada indra pendengaran. Matanya tak perlu berjalajah lebih jauh untuk mencari tahu, karena seseorang sudah berada di hadapannya dengan raut yang mengisyaratkan bahwa ialah sang pelaku.

Kana mengerutkan dahinya kebingungan.
Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri laki-laki jangkung yang tengah tersenyum di atas motor hitamnya itu.

"Bara, lo belom pulang? Kok masih disini?"
Kana menolehkan kepalanya ke segala arah, siapa tahu saja ia menemukan alasan mengapa sosok itu kembali ke area ini. Padahal tadi Kana melihat kepergiannya saat kelas telah selesai.

Bara bergumam kecil sembari melipat bibirnya.

Bara sebenarnya tak berniat untuk langsung pulang. Saat sekolah dibubarkan, ia hendak menghampiri Kana untuk membicarakan sesuatu.
Tetapi sebelum niat itu terlaksana, Lintang sudah membawa Kana pergi dengan terburu-buru. Dari yang ia dengar, para pengurus Osis akan mengadakan pertemuan.

Karena itulah, ia memutuskan untuk mengikuti Wildan dan Padli saja ke rumah Asep. Tak ada acara penting, ketiga remaja itu sudah terbiasa berkunjung kesana saat tak ingin langsung menghadang menuju rumah masing-masing.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang