lima

144 9 0
                                    

"Permisi, Mas."

Laki-laki yang sedari tadi menunduk itu, kini mengangkat kepalanya saat mendengar suara yang seperti ditujukan untuknya.

Sosok itu menatap Kana tepat di manik mata.
Kana kembali menelan air liurnya.
Mengapa ia terlihat begitu mengintimidasi?
Apa ia salah memanggilnya dengan embel-embel 'Mas'?
Karena kini Kana lihat dari dekat, sepertinya sosok itu terlihat masih muda. Hanya saja tubuhnya sebesar Arga, jadi ia kira, mungkin umur mereka tak terpaut jauh.

Melihat Kana yang sedari tadi malah mematung terdiam. Lelaki itu menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan, apa ia benar-benar berbicara kepadanya.

"Lo ngomong sama gue?"

Suara itu berhasil membuat lamunan Kana buyar. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan tersenyum kikuk.

"I-iya, Mas."

Kana mengulum bibirnya gugup, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Mas gak apa-apa?"

Sosok yang sedari tadi memasang wajah bingung, kini semakin bingung dibuatnya. Siapa orang ini? Kenapa ia tiba-tiba menanyakan keadaanya?
Ia perhatikan baik-baik, ia tak ingat pernah bertemu dengan manusia yang satu ini.

"Maksud lo?"

Kana kini merasa seperti penggangu.
Sepertinya, kehadirannya tak diterima begitu baik. Haruskah ia mengurungkan niat baiknya? Akh, tapi siapa sih yang tak akan kebingungan, jika ada seseorang tak dikenal yang tiba-tiba menanyakan keadaan mereka.
Setidaknya, Kana tak mau membuat sosok itu salah paham.

"Ehm... Muka Mas banyak lukanya. Kayanya kalau gak cepet-cepet diobatin, bakalan infeksi deh. Sebaiknya Mas ke rumah sakit buat mastiin, tapi buat sekarang..."

Kana menggigit bibir bawahnya.

"... Saya obatin mau gak, Mas? Saya gak akan banyak tanya, Kok. Kebetulan saya ada P3K."

Sekarang giliran sosok itu yang mematung dalam duduknya.
Apa ini efek dari pukulan keras yang ia dapatkan di kepalanya, sehingga ia berimajinasi melihat sosok asing yang kini berniat membantunya?
Apa jangan-jangan sekarang ia sedang sekarat dan sosok yang ada dihadapannya justru adalah malaikat yang akan mengantarnya menuju keabadian?

"Mas..."

Kana memastikan apa lelaki yang ada dihadapannya itu mendengarkan ucapannya. Jika menerima penolakan, Kana sudah siap untuk segera berlari dan merutuki dirinya karena malu.

Tapi alih-alih melihat wajahnya yang menjadi semakin tak bersahabat. Kana melihat sebuah perubahan disana, ia terlihat melemah dan melunturkan ekspresi tajamnya. Tatapan matanya kini menghalus.
Secara samar, ia menganggukkan kepalanya.

Kana bersyukur kepada tuhan saat ini.
Kejadian ini tak berakhir begitu memalukan.
Ia mendudukkan dirinya di sebelah sosok itu. Dengan lihai, ia membuka kotak P3Knya dan menyiapkan obat-obat yang ia rasa diperlukan.

Tapi tunggu, sepertinya luka-luka itu harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air. Kana memutar kepalanya, mencari sumber kehidupan itu.
Tak jauh dari bangku mereka, ia melihat sebuah wastafel yang biasa digunakan untuk cuci tangan.

"Ehm, Mas. Lukanya cuci dulu, ya? Biar bersih dulu dari bakteri."

Kana menunjuk wastafel putih itu.
Harap-harap cemas, apa sosok itu mau mendengarkan perintahnya.

Ia terdiam untuk sejenak.
Lalu akhirnya bangkit dan berjalan ke tempat yang tadi Kana arahkan.
Wajahnya ia tempatkan di bawah keran dan membasuhnya secara menyeluruh.
Setelah selesai, ia melangkahkan kakinya kembali dan duduk di sebelah Kana.

Tapi Kana perhatikan, sosok itu serasa sengaja menghindari kontak mata dengannya.

"Mas... Coba lihat sini."

Ia menolehkan kepalanya.
Tangan Kana menggenggam beberapa lembar kapas.

"Maaf ya Mas, saya pegang mukanya. Maaf juga kalau kerasa sedikit sakit."

Kana mengeringkan terlebih dahulu wajah orang itu dari air sebelum mulai mengobatinya.
Ia samar-samar mendengar rintihan saat menekan lukanya dengan kapas yang dilumuri cairan antiseptik.

Kana ingin sekali bertanya dari mana lelaki itu mendapatkan luka-luka ini.
Tapi kembali lagi, niatnya hanya untuk membantu. Ia tak ingin membuat sosok ini menjadi tidak nyaman.

Sepertinya pula, lebih baik ia tak tahu. Bagaimana jika sosok itu memberitahunya dan Kana tak menyukai jawabannya? Yang ada ia malah mendapatkan moral dilema.

"Maaf ya Mas, saya gak pinter-pinter banget ngobatin luka. Tapi kayanya lebam-lebam disini harus dikompres dulu. Buat lebih pastinya, coba Mas check aja di internet, takutnya saya salah."

Setelah dirasa cukup, Kana menutupi luka itu dengan kasa dan perekat.
Ia menangkup wajah sosok itu untuk memastikan perbannya tak kembali terbuka.

"Udah deh, selesai."

Kana tersenyum bangga melihat hasil jerih payahnya yang tak seberapa. Entah kenapa, ia hanya bahagia bisa membantu orang lain yang sekiranya sedang membutuhkan.

Tapi kini ia baru menyadari.
Jarak di antara mereka begitu dekat, sangat dekat.
Ditambah, sosok itu malah menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Kana segera menjauh dari tubuh lelaki itu. Mengapa ia bodoh sekali?
Rasanya baru tadi ia kesenangan, sekarang ia harus kembali menelan rasa malu.

Ia pun mengumandangkan tawa canggungnya.
Dengan gugup, Kana kembali merapikan kotak P3Knya.
Tapi tunggu, bagaimana jika orang ini tak memiliki uang untuk membeli obat dan mengganti perbannya?
Kana meremat kotak itu, berpikir kembali untuk memutuskan sesuatu.

"Bawa aja ini Mas, takutnya Mas gak ada waktu buat beli."

Kana menyodorkan kotak obat itu ke hadapannya. Ia tak ingin menyinggung orang itu, jika ia terang-terangan mengatakan alasannya. Lagi pula, ia masih bisa membeli kotak dan perlengkapan yang baru.

Sosok itu hanya menuruti perintahnya seakan terkena hipnotis.

"Ehmm... Kalau gitu, saya duluan ya Mas! Hati-hati ya di jalan pulang!"

Kana pun beranjak dari duduknya dan berniat untuk segera hengkang dari sana.
Sampai tak sengaja, ia mendengar sebuah suara samar-samar.

"...Makasih..."

Tanpa disadari, Kana menarik kedua ujung bibirnya. Ia kembali membalikkan tubuhnya untuk melihat sosok itu yang terakhir kali.

"Sama-sama, Dahh!!"
Kana tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya.

Setelah puas dengan aksi heroiknya, ia kembali berjalan menuju tempat Arga yang sedari tadi masih setia menunggu.

"Ada apa, sih?"
Arga terlihat sangat penasaran saat melihat adiknya yang senyum-senyum sendiri.
Sebenarnya Arga sedari tadi memperhatikan mereka, tapi Arga masih tak mengerti secara penuh apa yang terjadi.

"Mau tau aja atau mau tau banget?"

Kana menjingkrakkan kakinya sembari mempercepat jalan, meninggalkan Arga di bekakang sana.

"Ehh.. Kakak serius!"

Arga mencoba menyusul Kana untuk kembali meminta jawaban yang solid.
Tetapi Kana hanya tertawa dan kian menggodanya.

Sampai, ada sesuatu yang membuat langah kaki Kana melambat secara perlahan.

Kana kembali mengingat wajah yang ia lihat tadi, dan entah mengapa darahnya berdesir.

Untuk ketiga kalinya hari ini, ia merasakan bulu kuduknya berdiri.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang