enam dua

44 4 0
                                    

Bara menegak air kopi yang sudah terasa hangat ke dalam tenggorokannya. Dedaunan yang berjatuhan sesekali terbawa terbang oleh angin sore. Suara percakapan antar para remaja menjadi musik latar di hari yang menenangkan.

"Bar, lu kagak mau makan?"
Wildan menyuapkan sesendok lauk dari atas piring plastik.

Bara menggelengkan kepalanya,
"Kagak. Masih kenyang gue."

Padli memincingkan matanya. Seharian bersama dengan laki-laki itu, ia tak ingat kapan Bara menyempatkan waktu untuk mengisi lambungnya,
"Lo kapan makannya, dah? Bukannya dari pagi lo udah kumpul ama kita-kita?"

"Tadi subuh."

Wildan menolehkan kepalanya kilat,
"Plis dah Bar, itu mah bukan makan! Itu sarapan! Bedain lah. Sok jagoan banget lu. Gausah diet-diet!"

Bara menukikkan alisnya,
"Siapa juga yang diet!?"

Memang sudah menjadi kebiasaan Bara untuk hanya makan saat tubuhnya tak lagi berfungsi dengan normal. Jika ia masih sanggup untuk berjalan, ia tak akan menyuapkan apapun ke dalam mulutnya. Bagi Bara, makan bukanlah sebuah perkara menikmati rasa. Makan hanyalah persoalan bertahan hidup.

Tetapi, beberapa hari ini pedoman itu tak lagi selalu berlaku. Entah mengapa, walaupun tubuhnya masih sekuat baja, Bara tetap memutuskan untuk memesan makanan di kantin saat sosok dengan rambut merah kecoklatan itu menawarinya.

Memasukkan sebutir nasi ke dalam bibirnya tak selalu mudah untuk dilakukan. Pikirannya terkadang terlalu berkabut hanya untuk bisa menghabiskan sepiring lauk. Tapi saat bersama dengan Kana, perhatiannya langsung teralihkan dari semua pertimbangan.

Sedikit demi sedikit, Bara mulai kembali bisa merasakan bagaimana makanan seharusnya berasa.

Menatap Kana sembari menyantap makanan, memberikan bumbu tersendiri pada lidahnya.

"Tuh! Tuh, kan! Lu senyum-senyum sendiri! Cepet makan sana! Gue ngeri liatnya."

Bara berdehem salah tingkah dan membuang muka saat menyadari bibirnya yang sudah sedari tadi terangkat. Kana hobi sekali mampir kedalam pikirannya beberapa hari ini.

"Bener Bar kata si Kiwil. Buruan dah, Bapak teraktir. Lu sering maen disini, tapi jajan kopi doang."
Pak Slamet datang dari dalam warung sembari membawakan pesanan Nanang.

"Ah, Pak Slamet! Aye Wildan, bukan Kiwil!"
Wildan merengut tak senang mendengar namanya yang diplesetkan oleh pemilik basecamp Blue Raven itu. Semenjak ia pertama kali datang ke tempat ini, Pak Slamet tak pernah sekalipun memanggil namanya dengan benar.

"Iya dah iya serah lu! Ayo Bar, mau kagak? Ni Bapak ambilin dah ya!"

Bara tersenyum simpul,
"Gak usah Pak, aye emang lagi gak laper. Besok-besok deh ya, Bara pesen nasinya Pak Slamet, berbungkus-bungkus sekalian."

Pria tua dengan kacamata yang menggantung di antara hidungnya itu, hanya bisa berkecak pinggang menyerah.
"Yaudah Bar, tapi lu nanti waktu pulang langsung makan ye!"

Bara mengangguk tanda menyanggupi.

Semakin langit menjingga, semakin banyak pula laki-laki yang memarkirkan kendaraan beroda dua di halaman warung itu.
Mereka bersorak ria dan saling menyapa sebelum mendaratkan tubuh untuk melepaskan penat.

"Pak, Kopi lima ya!"

"Gorengannya Pak Slamet sekalian!"

"Pisang gorengnya jangan lupa, Pak!"

"Pak Slamet! Aye mau pesen makan dong! Pake telur balado ye!"

Riuhnya tawa menggelegar dari berbagai arah.
Obrolan beralih dari topik A sampai Z hanya dalam sekelibat.
Rasanya mereka tak pernah kehilangan hal untuk dibicarakan.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang