Bara segera menghampiri Kana untuk memastikan kondisinya. Kata 'permisi' yang hendak disautkan ia acuhkan.
Bara kini sudah berjongkok, mengamati jika Kana pingsan atau semacamnya. Masalahnya, mengapa ia tergeletak di atas lantai sementara ranjang sudah terpasang rapi.
Mana mulutnya masih mengulum permen pula. Ia menarik permen loli itu keluar dari mulutnya terlebih dahulu, takut-takut ia malah tersedak."Kana!"
Bara mencoba untuk memanggil nama itu berulang kali, nadanya yang berawal pelan berubah menjadi sedikit naik. Tapi nihil, sang pemilik nama masih tetap terlelap di alam bawah sadarnya.
Karena usahanya tak membuahkan hasil, Bara pun memutuskan untuk mengguncangkan tubuhnya dengan bibir yang masih mengeluarkan nama Kana. Awalnya ia agak sedikit ragu untuk menyentuhnya, tapi yasudahlah, bisa jadi ini memang emergency.
Setelah beberapa saat, akhirnya Kana mulai membuka matanya. Ia mengerjapkan matanya yang serasa masih kabur. Karena sekarang ia melihat seseorang tengah berjongkok di sampingnya.
Kana mencoba untuk men adjust cahaya yang bisa netranya tangkap, dan berusaha meneliti sosok itu baik-baik.
Pada akhirnya, sebuah wajah yang ia kenali terlihat jelas."Bara kok ada di mimpi aku, sih? Bukannya tadi Gary Cooper, ya?"
Kana tertawa sembari menutup mulutnya. Ia meregangkan tubuhnya, lalu kembali menutup mata.Sepertinya, ia belum sadar bahwa Bara benar-benar ada di hadapannya.
"Na..."
Kana kembali membuka matanya saat mendengar suara husky memanggil namanya.
Ia termenung untuk sesaat, lalu terbangun dari tidurnya dengan begitu cepat hingga membuat Bara terkejut dan sedikit menjauh.Kana celingukkan memperhatikan sekitar, ia berada di kamarnya.
Jelas-jelas bukan latar tempat dimana ia berada tadi.
Lalu ia menoleh ke arah Bara yang sudah tersungkur ke atas lantai dengan tangan yang masih memegang permen Kana.Kana menggaruk kepalanya polos.
"Ohh, aku ketiduran, ya.."Bara menghembuskan nafasnya lega.
Syukurlah, ia kira Kana kenapa-napa tadi."Maaf gue tiba-tiba masuk kamar lo, tadi gue liat lo udah tergeletak aja di lantai. Gue kira lo pingsan atau semacamnya, nih permen lo."
Kana yang masih termangu, hanya bisa terkekeh menyadari kelakuannya sendiri. Ia mendekat ke arah Bara dan mengambil permen yang sudah menciut itu.
"Gue yang minta maaf udah bikin lo panik, gak sengaja tadi ketiduran, hehe."
Kana kembali memasukkan permen itu ke dalam mulutnya, sayang kalau dibuang.
"Lain kali kalau mau tidur itu ya di ranjang, jangan sambil ngemutin permen, kalau keselek gimana?"
Kana mengulum bibirnya saat menerima teguran, ia mengangguk saja seperti anak ayam yang dimarahi induknya.
Bara menggelengkan kepalanya melihat keteledoran Kana.
Kemudian matanya kembali menjelajahi isi ruangan ini."Lukisan lo?"
Kana mengangguk mengiyakan.
"Kayaknya waktu itu lo ngejek gue, ya. Bilang hasil cat gue bagus, sementara lo bisa ngelukis kaya gini."
Mereka berdua tertawa renyah.
"Oh, iya. Gue mau pamit, kerjaan gue udah selesai."
"Selesai?"
Kana sedikit sedih mendengarnya, apa ini terakhir kali mereka akan bertemu?Kana tersenyum mengerti dan beranjak dari duduknya.
"Yaudah, gue anter sampe depan, ya?"
Bara pun ikut berdiri dan berusaha menolak tawaran Kana,
"Ehh, gak usa—""Udah, ayo!"
Kana berjalan mendahului Bara tanpa mengindahkan penolakannya, mau tak mau ia pun hanya menurut dan ikut mengekor.
Saat menuruni tangga, mereka bertemu dengan Belinda dan Elian. Bara pun kembali berpamitan dengan mereka dan mengucapkan terimakasih atas hidangan yang mereka berikan.
Di luar sana, Nanang masih setia menunggu Bara yang sebenarnya ia sendiri tak tahu sedang melakukan apa.
Ternyata langit sudah menjadi jingga sempurna, Kana baru menyadari seberapa lama ia tadi terlelap.
"Jangan lanjut tidur lagi, udah maghrib. Nanti aja kalau udah malem."
Kana dan Bara kini berdiri berhadapan.
Kana melakukan pose 'hormat', mengisyaratkan ia akan menuruti anjuran Bara."Ati-ati ya, Bar. Lain kali, mampir lagi ke sini. Kak Nanang hati-hati juga!"
Kana menyauti Nanang yang berada tak jauh dari sana, Nanang pun membalas balik sautan Kana.
"Iyaa, gue duluan ya."
Bara mulai membalikkan tubuhnya berjalan menjauh dari Kana.
Tetapi ada satu hal yang menganggu pikirannya saat ini, lebih tepatnya sebuah pertanyaan.Haruskah ia meminta nomor ponsel Kana? Tapi untuk apa?
Tapi siapa tahu ia butuh bukan, jaga-jaga? Tapi jaga-jaga untuk apa? Tidak, sebaiknya jangan, ia tak ingin melewati batas sampai menganggu privasi Kana. Walaupun selama tiga hari ini mereka terbilang akrab, tetapi hubungan mereka hanya sebatas pekerja dan anak majikan.
Ya, jangan, Bara. Sudah, ayo pulang saja.Tapi sisi lain dari dirinya malah berontak dan berkata lain,
Ia merasa nyaman berbincang dengan Kana. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Kana memiliki pembawaannya sendiri yang membuat Bara merasa betah berbicara dengannya.Bara menoleh ke belakang dan hendak berbalik arah.
Tapi saat ia melihat Kana masih berdiri di halaman rumahnya, tersenyum, dan melambaikan tangannya kepada Bara.
Ia tak bisa berbuat apa-apa.Ada rasa dimana, Kana terlalu berbeda dengan dirinya. Mereka dari dunia yang berbeda. Kehidupan Kana yang dikelilingi oleh marmer mewah jelas tumpang tindih dengan kehidupannya yang dikelilingi oleh batu bata.
Ya, jangan.
Mungkin jika Kana sudi, mereka bisa saling menyapa jika bertemu di suatu tempat nanti. Tapi untuk berteman, ia tak pantas untuk Kana.
Nanang sudah berjalan berdampingan dengan Bara, sedari tadi ia sudah membicarakan suatu hal yang sama sekali tak Bara perhatikan.
Ia menghela nafas panjang dan berjalan kembali menuju rumahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...