enam empat

57 4 0
                                    

Ryan menggeleng-gelengkan kepalanya mengikuti nada yang mengalun. Lagu Even flow milik Pearl Jam tengah dimainkan di dalam mobil berwarna silver yang ia kendarai. Bibirnya sedari tadi sibuk menyenandungkan lirik berbahasa inggris itu. Matanya masih terfokus kepada jalanan, walaupun jiwanya tengah melayang entah kemana.

Berbeda dengan wanita yang  mengenakan casual summer dress di sampingnya, ia sedari tadi masih tetap berkutat dengan ponsel dihadapannya.

Hari libur pun seperti bukan hari libur baginya.

Sharon masih harus mengurusi keperluan jurnalistik dan persiapan bagi para krunya untuk broadcast. Ia harus tetap stay on the line bahkan saat jadwalnya seharusnya dikosongkan.

Setelah dirasa semua pesan yang masuk telah ia tanggapi, Sharon mematikan ponselnya dan merebahkan kepalanya ke atas bantal kursi.
Matanya ia pejamkan sembari mendenguskan nafasnya lega.
Ia bisa bersantai sekarang.

Tetapi, rasanya sulit bagi dirinya untuk menikmati semilir angin saat telinganya digandrungi oleh suara ketukan ribut drum dan tarikan senar gitar elektrik.

"Yan, ganti dong lagunya. Dari tadi lagu kamu mulu. Celine Dion atau Mariah Carey gitu."

Ryan melirik kepada wanita itu untuk sejenak,
"Enggak, ah. Seleranya Bunda jadul semua."

Sharon mendelik dan menepuk pundak Ryan tak terima,
"Enak aja. Selera kamu juga jadul semua. Ini lagu keluar aja waktu Bunda masih ABG."

Ryan tertawa renyah, ia meraih sebungkus permen kopi dari dalam wadahnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Lagian kan Bunda sendiri yang mau Iyan anter. Jadi ya, lagunya harus gimana Iyan juga."

Sharon hanya bisa menyerah,
"Iya, deh, iya."

Kini ia menolehkan kepalanya sembari menelisik anak laki-lakinya dengan seksama.
"Lagian, Yan. Kamu kan jarang jalan-jalan sama Bunda. Setiap Bunda libur kamu nya yang enggak ada. Kalau enggak sama Osis, malah pergi main."

Ryan mengerucutkan bibirnya,
"Ya Bundanya sih, sibuk mulu. Aku juga sekarang kan tadinya udah janjian sama temen-temenku buat skate. Tapi Bunda malah ngedadak ngajak pergi."

Wanita paruh baya itu mengangkat tangannya dan mulai mengusap helaian rambut sang remaja. Memang benar adanya ucapan Ryan. Sudah meluangkan jam kosong sebanyak apapun, pekerjaannya masih tetap menuntut untuk meminta lebih banyak waktu.

Walaupun begitu, Sharon senang kedua anaknya bisa tumbuh dengan sangat bijaksana.
Si sulung perempuan sudah menjadi sarjana dan tengah menekuni pekerjaan impiannya.
Sementara si bungsu laki-laki sudah menemukan ketertarikannya dalam bidang yang ia temukan sendiri.

Ia beruntung memiliki mereka.

"Yaudah deh. Selesai anterin Bunda, kamu pergi main aja sama temen-temenmu. Nanti kalau Bunda sama Papa libur, kita rencanain buat jalan-jalan deh? Gimana? Ajak juga kakamu."

Senyuman pun terbit di wajah Ryan dalam seketika,
"Serius Bun?!"

Sharon mengangguk kecil masih dengan senyumannya.

Ryan mengangkat kepalan tangannya ke udara dengan rona wajah yang bahagia.
Ini yang ia sangat sayangi dari Bundanya. Wanita itu tak pernah sekalipun membuat anak-anaknya merasa kesepian. Walaupun ada kalanya ia sangat sibuk, tetapi Sharon selalu menyempatkan diri untuk setidaknya duduk bersama dan menanyakan kabar.

Lagi pula, sekarang Ryan sudah paham mengapa Sharon begitu teguh dalam menjalani tugasnya.
Ia tak hanya sebatas mencari lembaran uang untuk membiayai kebutuhan hidup, tetapi pekerjaannya memiliki pengaruh dalam kejernihan politik di negara ini. Agar kehidupan rakyat biasa pun bisa tetap sesejahtera mungkin.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang