satu

780 27 0
                                    

Arkana terdiam dalam renung menatap dinding biru dihadapannya. Dinding yang sudah ia tatap bertahun-tahun lamanya. Warnanya sudah mengusam dan tak lagi secerah dulu. Sama seperti dirinya saat itu.

Secara lembut ia menyentuh tembok itu dan menari-narikan jarinya kesana kemari. Ia pejamkan matanya secara perlahan, membiarkan pikirannya berjelajah menuju masa lalu.

Serpihan kenangan bertaburan dan menusuk rongga di kepalanya.
Bayangan dirinya yang masih kecil bermain berlarian di kamar ini, bayangan teman-temannya yang tertawa kala ia menceritakan sebuah cerita di kamar ini, dan bayangan kedua orang tuanya yang menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur agar ia tak ketakutan tidur sendiri di kamar ini.
Lugu dan polos.
Ia rindu menjadi anak itu.

Kana mengalihkan perhatiannya menuju cermin yang masih tergantung. Ia mematut dirinya sendiri sejenak sebelum akan mengemasinya. Kana mengenakan kaos putih yang berukuran sangat pas dengan badan kecilnya, ia pula membaluti tubuhnya dengan jaket tipis putih senada, dan untuk kebawahannya ia mengenakan celena jeans sepaha berwarna biru muda.
Ia tampak sudah pulih. Setidaknya penampilannya berkata demikian.

Kana menghela nafasnya.
Rona matanya berubah menjadi sedikit sendu.
Ia mengusap halus pergelangan tangannya yang tertutup oleh gelang berwarna biru pudar.

"Percaya sama aku, Na. Kamu bakalan baik-baik aja."
Bisiknya lirih kepada dirinya sendiri.
Senyumannya mengembang secara perlahan.
Ia harus bisa mempercayai dirinya sendiri.

"Kana, udah selesai belum beresin barang-barangnya?"
Samar-samar terdengar suara Belinda dari lantai bawah.

"Sebentar Ma, dikit lagi."
Setelah menjawab pertanyaan Mamanya, ia kembali melakukan tugasnya. Untungnya, ia hanya perlu mengemasi beberapa buku dan cermin yang tadi masih terpajang. Kana memasukkan buku-buku novelnya kedalam kotak yang sudah ia persiapkan. Sementara untuk cermin itu, ia hanya perlu membungkusnya dengan koran dan memasukkanya ke dalam kotak lain.
Urusan setelahnya sudah ditanggung oleh pegawai dari jasa pindahan.

Setelah merasa semua barang-barangnya sudah dirapikan, ia mengangkat kotak yang berisikan buku-buku itu dan berjalan menuju ambang pintu.
Tetapi sebelum mengambil langkah terakhir, ia membalikkan tubuhnya.

Ia kembali menatap kamarnya dalam-dalam. Tempat yang menjadi saksi bisu semua suka dan duka yang Kana pernah lewati. Ujung bibirnya kembali tertarik ke atas.

"Makasih ya, udah jadi temen baikku. Semoga kamu juga bisa jadi tempat yang aman buat temen baru kamu."

Dengan begitu, ia melangkah keluar dari sana.

Kana bisa melihat kedua orang tuanya yang sedang berbicara dengan petugas jasa angkut barang dari lantai atas.
Sementara Argantara sedang membantu mengangkut barang-barangnya menuju truck box.

"Udah selesai, Na?"
Elian yang menyadari kehadiran anak bungsunya itu segera menghampiri Kana dan merangkulnya.
Ia tahu betul, keputusan untuk meninggalkan rumah ini adalah keputusan yang sulit untuk Kana. Walaupun ia sudah mendapatkan persetujuan dari Kana, tetapi tetap saja, langit-langit rumah ini adalah hal pertama yang ia lihat setiap kali ia membuka mata. Akan tetap ada rasa sulit untuk meninggalkannya.

Kana hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari ayahnya.

"Aku masukkin kotak ini ke dalem mobil dulu ya, Yah."

Kana berjalan keluar menuju pintu utama rumahnya. Halaman rumahnya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang sedang mengangkut furniture besar ke dalam alat transportasi itu. Beberapa tetangga juga sudah mulai berdatangan mengunjungi kediaman rumah Kana. Memberikan doa dan harapan agar mereka bisa memiliki jalan yang lebih baik di luar sana. Belinda dan Elian sudah membesarkan kedua anaknya di perumahan ini sejak mereka baru lahir, tentu saja ada tali persaudaraan diantara orang-orang yang tinggal bersebelahan dengan mereka.

Kana berjalan menuju mobil pribadi keluarganya. Kotak yang berisikan barang-barang ringan akan disimpan di bagasi mobilnya. Setelah menyimpan kotak berisikan buku-buku itu, ia kembali menutup pintu bagasinya. Tetapi, Kana masih belum melanjutkan langkah kakinya untuk kembali. Ada sesuatu yang menahannya untuk beranjak.

Matanya tertuju kepada sosok yang sedang berdiri mematung di halaman rumahnya. Kana tahu, sosok itu juga melihat dirinya. Pandangan mereka terkunci untuk beberapa saat, sampai sosok itu memalingkan wajahnya. Tersirat di dalam matanya, ada sesuatu yang ingin ia katakan.

"Na, gamau coba disapa?"
Bisik Arga lembut sembari mengusap pucuk kepala Kana.
Entah sejak kapan kakaknya itu sudah sampai disana dan memperhatikan mereka bedua, hanya saja Arga tahu betul, Kana tak mungkin bisa pergi tanpa mengucapkan sampai jumpa kepada sosok itu.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang