sebelas

120 8 0
                                    

Siapa dia?

Bara melirik ke kanan dan ke kiri kebingungan.
Tidak mungkinkan, dirinyalah yang sedang orang ini ajak bicara?
Terlebih lagi, apa? Mas? Dia memanggilnya dengan sebutan itu?
Apa ia tak salah dengar?

Bara memperhatikan baik-baik sosok yang ada di hadapannya.
Ia sama sekali tak merasa mengenalinya, atau mungkin mereka pernah bertemu tapi Bara tak ingat?
Ya, mungkin saja.

Tapi dilihat dari perawakan mungilnya, sepertinya orang ini lebih muda darinya. Ia tak perlu berbasa-basi memakai bahasa formal.

"Lo ngomong sama gue?"

Sepertinya Bara salah bicara.
Karena orang itu kini terlihat sedikit tersentak. Sumpah, ia tak ada niat untuk membuatnya merasa terancam.

"I-ya, Mas."

Okay, mungkin orang ini adalah pegawai mini market depan dan berniat untuk menawarkan Bara produk yang sedang promo atau semacamnya.
Tapi dilihat dari manapun, orang yang ada di hadapannya tak terlihat seperti seorang pegawai mini market.
Bukan maksudnya untuk merendahkan, tapi sosok ini bahkan tak terlihat seperti manusia pada umumnya yang biasa ia lihat setiap hari.

Sumber cahaya taman yang cukup minim, memang membuatnya sedikit kesulitan untuk melihat sosok itu dengan jelas. Tapi justru karena itulah, sosok itu terlihat semakin tak nyata.
Wajahnya yang beradu dengan lampu kekuningan dan kilauan bulan di kelam malam, membuatnya terlihat menjadi seperti 'sesosok' dan bukan 'seseorang'.

Ia terlihat seperti sebuah robekan kanvas dari potret lukisan lama.

"Mas gak apa-apa?"

Bara yang sedari tadi mengamati perawakan sosok itu, kini sedikit terperanjat saat lamunannya dibuyarkan.
Bara merutuki dirinya sendiri dalam hati; ia pasti sudah sangat kelelahan sampai dengan tak sopannya, ia mengobservasi fisik seseorang.

"Maksud lo?"

Sepertinya Bara salah mengucapkan maksudnya lagi.
Nada bicaranya terdengar mengintimidasi. Terbukti sosok itu kini terlihat menjadi semakin tak nyaman.
Tapi Barapun tak tahu harus melakukan apa.

"Ehm... Muka Mas banyak lukanya. Kayanya kalau gak cepet-cepet diobatin, bakalan infeksi deh. Sebaiknya Mas ke rumah sakit buat mastiin, tapi buat sekarang..."

"... Saya obatin mau gak, Mas? Saya gak akan banyak tanya, kok. Kebetulan saya ada P3K."

Bara terdiam mematung.
Ini mimpi, kan?

Tunggu,
Apa ini efek dari benturan keras yang ia dapatkan, sehingga ia berhalusinasi melihat seseorang yang cukup peduli untuk menolongnya?
Ya, pasti itu.

Atau tunggu dulu,
Jangan-jangan tuhan mendengarkan doanya barusan.
Mungkin saat ini ia sedang sekarat, dan sosok yang ada di depannya ini adalah malaikat yang ia kirim untuk menjemputnya.
Ya, itu masuk akal.
Pantas saja sosok ini tak terlihat manusiawi.

"Mas..."

Bara kembali terhenyak dari khayalannya.
Entah apa yang merasukinnya saat ini, tapi tubuhnya seolah tak bisa berfungsi secara normal.
Badannya kaku dan bibirnya kelu.
Seolah-olah ia baru saja terhipnotis.

Dengan samar-samar, ia hanya bisa
menganggukkan kepalanya.

Bara menekuk wajahnya karena tak berani untuk kembali menatap sosok itu. Tapi Bara masih bisa melihat semua gerak-geriknya. Ia mengambil spot kosong di sebelahnya, lalu membuka sebuah kotak obat.
Bara bahkan tak memperhatikan kehadiran kotak itu sedari tadi.

"Ehm, Mas. Lukanya cuci dulu, ya? Biar bersih dulu dari bakteri."

Bara bisa mendengar ucapan sosok itu dengan baik. Tapi raganya masih tetap terbujur kaku untuk bertindak.
Maksudnya, apa sosok itu akan membersihkan lukanya untuk dirinya, atau ia harus melakukannya sendiri?

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang