enam sembilan

20 4 1
                                    

Bara menyalakan sebatang rokok yang berada di antara bibirnya dengan pemantik. Asap kelabu ia hembuskan ke langit malam setelah rasa pahit mulai terasa. Layaknya malam minggu seperti biasa, Bara ditemani oleh gandrungan suara dari para sahabat.

Keadaan warung Pak Slamet sedari sore tak diberikan jeda dengan sunyi. Para anggota Blue Raven sudah mengisi absen sejak langit masih menjingga. Pak Slamet pun tak hentinya menyajikan makanan hangat di atas meja. Tetapi tak lama setelah itu, semua nampan akan kembali habis tak bersisa.

Asep yang sedari tadi sibuk bercanda gurau dengan Padli dan Wildan, kini mulai mengalihkan perhatiannya kepada Bara. Sosok yang berada di sampingnya itu masih tetap saja termenung sembari sesekali menatap ponselnya.

Sebenarnya ada yang ingin Asep tanyakan semenjak beberapa hari yang lalu, tetapi ia masih mencari waktu yang tepat untuk mengutarakannya.

"Bar, gimana?"

Bara yang tengah melamun, kembali tersadarkan dan menolehkan kepalanya kepada Asep.

"Apaan?"

Asep menaikkan sebelah ujung bibirnya.
"Gimana?"

Bara menukikkan alisnya kebingungan. Apakah sedari tadi Asep mengajaknya berbicara tetapi ia tak memperhatikannya?

"Apaan gimana?"

Laki-laki yang tengah melontarkan pertanyaan itu, kini menghela nafasnya. Ia meraih pisang aroma dari dalam nampan dan melahapnya terlebih dahulu.

Bara sangat tidak peka, pikirnya.

"Gimana waktu kemaren? Lo jadi ketemuan sama Lisa?"

Bara memincingkan matanya. Ia semakin tak mengerti arah pembicaraan Asep. Sejak kapan ia berniat untuk bertemu dengan Lisa?

"Enggak, emangnya gue ada bilang mau ketemu sama dia?"

Sekarang giliran Asep yang dibuat merengut.

Tunggu. Apakah dirinya yang salah membaca situasi?

"Loh, waktu kemaren kan lo nanya-nanya terus sama gue kalau Osis udah pulang atau belum. Gue sampe dimarahin sama Jejes gara-gara chat dia mulu. Gue kira lo nanya soal itu karena mau ngajak Lisa pulang bareng."

Bara mengerjapkan matanya.
Kenapa Asep bisa berpikir sampai kesana?

"Enggak, ah. Gue nanya bukan karena itu."

Asep meluruhkan pundaknya. Ternyata ia salah menduga selama ini.

"Terus, lo ngapaian nanya soal itu sama gue?"

Bara berdeham sembari memalingkan wajahnya. Apa mungkin ia harus jujur?

"Harus banget gue bilang sama lo?"

Asep mendecak kesal, lalu sedikit mendorong pundak teman jangkungnya itu.

"Lo udah buat gue dijutekkin sama Jejes. Seenggaknya bilang kek alesannya."

Bara mendelik tak senang. Tak tahu berterima kasih sekali orang ini, padahal ia sudah rela mengekori Asep dan Jejes, demi membuat sepasang sejoli itu rujuk kembali.

"Gue waktu itu mau... K-ketemu sama Kana."

Asep termenung untuk sejenak.

"Kenapa?"

Bara mendecak dan membawa pemantik yang ia simpan dari atas meja.

"Banyak tanya lu."
Ia beranjak dari duduknya dan mulai berjalan menuju bangku kecil di dekat pohon. Tempat yang selalu ia gunakan saat teman-temannya berbicara terlalu bising.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang