Kana memikirkan perkataan Arga untuk sejenak. Agak canggung rasanya untuk menyapanya kembali setelah sekian lama. Tapi bagaimanapun, pria itu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tak mungkin bisa melanjutkan kehidupannya dan memulai kisah yang baru, jika ia masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya.
Kana menghembuskan nafasnya dan berjalan menuju sosok itu.Kana menyunggingkan senyumnya sebelum berkata,
"Hey, Fin."Fino sedari tadi sadar Kana bertujuan untuk menyapanya, ia membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan Kana.
"Hey, Na."
Mereka terdiam untuk beberapa saat, sampai Fino memutuskan untuk memecahkan keheningan.
"Hari ini, kamu pindah kan?"
Kana mendongak menatap teman semasa kecilnya yang kini sudah jauh lebih tinggi darinya.
"Iya..."
Jawab Kana seadanya sembari memikirkan apa yang harus ia katakan selanjutnya.
"Hmm... Gimana sekolah SMA kamu?"
Kana tak tahu harus bertanya apa lagi untuk membuat suasana menjadi sedikit lebih santai. Yang jelas, ia masih ingin berbicara dengan Fino.
"Ya gitu sih, biasa aja. Pelajarannya makin susah, tapi seenggaknya, kegiatan di klub sepak bola makin seru. So i guess, its worth it."
Fino terkekeh kecil,
"Aku ada pertandingan minggu lalu, dan beruntungnya tim aku menang."
Kana menarik ujung bibirnya ke atas,
"Really? Congratulations. I mean, are we surprised though? They got you on their team. Of course you guys gonna bring the trophy home. You totally deserve it."
Senyum cerah terpajang di wajah Fino. Pujian-pujian dari Kana masih menjadi penghargaan terbaik yang pernah ia dapat. Ia teringat kepada masa lalu, dimana Kana akan selalu menyemangatinya di pinggir lapangan saat ia bermain. Dulu ia tak begitu lihai dalam mengoper bola, keahliannya kerap kali diragukan oleh orang-orang, tapi Kana selalu percaya kepada dirinya.
Mengingat semua itu, Fino hanya ingin mengutuk dirinya sendiri karena sudah mengecewakan Kana.
Ia merasa, ia sudah tak lagi pantas mendapatkannya.Tak ada kebohongan dalam ucapan Kana. Ia benar-benar bahagia mendengar temannya bisa mengejar impiannya di luar sana. Hanya saja, ia merasakan sengatan listrik dihatinya saat menyadari sesuatu.
Kana sudah tak lagi menjadi bagian dalam perjalanan hidup Fino. Kana sekarang hanyalah sosok yang pernah Fino kenal, sosok yang hanya bisa mendengar kabar tanpa menyaksikannya tumbuh dengan kedua mata.Mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Terkadang, dua orang yang saling berjanji untuk tak pernah pergi, harus meninggalkan satu sama lain pada akhirnya. Jalan mereka untuk bersama sudah terputus di ujung garis tangan. Mereka harus bisa menemukan garis takdir mereka yang baru.
Jika memang mereka ditakdirkan untuk saling berhubungan kembali, pasti akan ada jalannya suatu saat nanti. Tapi untuk saat ini, mereka harus menjalani kehidupannya masing-masing."Ohh iya, kamu masih inget sama Anton? Dia sekelas sama aku sekarang."
Anton? Tentu saja Kana mengingat anak itu. Dia adalah teman sekelas Kana dan Fino di Sekolah Dasar. Dulu Anton kerap kali menangis di kelas dan anehnya hanya Kana dan Fino yang bisa menenangkannya.
"No way?! Gimana kabar dia sekarang?"
"Kamu gak bakalan percaya, dia sekarang udah berubah jadi kece abis, Na. Cewe-cewe pada ngecengin dia, disebut-sebut pangeran sekolah lagi."
Fino tertawa sembari menceritakan bagaimana penampilan Anton sekarang. Kana yang mendengarkan hanya ikut tertawa geli sembari geleng-geleng kepala, ini Anton yang sering memaksanya untuk mengantarnya ke kamar mandi bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...