empat tujuh

47 5 0
                                    

Bara mengaduk baksonya yang berkuah bening dengan kaku. Jujur, ia merasa sedikit canggung berada di antara orang-orang yang tak dekat dengannya. Teman-teman Kana—yang juga teman sekelasnya sedari tadi membicarakan sesuatu yang tak ia begitu pahami. Walaupun sebenarnya Bara tahu, mereka pun sama canggungnya karena memiliki tamu tak diundang.

"Bening aja, Bar? Gak mau pake saus atau kecap gitu?"
Celetukan Kana membuat Bara mengerjapkan matanya.

"Euh, iya ini mau, kok."
Bara mengambil botol dengan gambar cabai dan menuangkannya ke dalam mangkuk. Karena tingkah lakunya lebih seperti upaya untuk menutupi rasa gugup, botol saus itu mengeluarkan isinya melebihi dari yang ia perlukan.

Kana mendecak, Bara memang benar-benar seperti anak kecil saat makan.

Dengan cekatan, ia menyendok saus yang menggumpal dan memasukannya ke dalam mangkuk miliknya.

Bara yang melihat itu menaikkan satu alisnya. Kana yang menyadari perubahan ekspresi pada wajah Bara segera memberikan penjelasan,
"Sendok gue masih bersih kok, baru dipake buat ngaduk bumbu doang."

"Bukan itu Na, bakso lo bukannya udah dimasukkin saus, ya? Apa gak kebanyakan? Maaf ya gara-gara gue gak hati-hati malah jadi hambur gini."

Kana menggaruk pipinya, ia pikir Bara merasa keberatan karena kelakuannya barusan.

"Enggak kok, kalem aja. Gue emang suka makanan pedes, seberapapun levelnya pasti gua makan."

Kana tersenyum menenangkan, lalu ia menyiuk kuah baksonya yang memerah dan menelannya seperti bukan apa-apa.

Bara memperhatikan Kana yang asik melahap baksonya sebelum ikut melakukan hal yang sama.

Kana menyukai makanan pedas, ya?
...Catat.

"Lo suka pangsit goreng?"

Bara menganggukkan kepalanya kecil sebagai balasan.

"Karena tadi udah abis dan cuman nyisa satu, kita potong ya? Gimana? Pangsitnya gede, kok!"

"Eh, gak usah Na. Buat lo aja."

"Udah ah, kayak ke siapa aja. Makan nih."

Kana membelah pangsit goreng miliknya menjadi dua, lalu memberikan bagian yang lainnya kepada Bara.
Bara yang sudah jelas menolak karena tak enak hati, akhirnya hanya bisa menerima dengan patuh.

Walaupun sudut bibirnya kini sedikit menaik.
Kana bertingkah seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun, dan entah mengapa Bara nyaman dengan perlakuan itu.

Ada sesuatu mengenai Kana yang mengingatkannya dengan masa lalu.
Disaat semuanya masih baik-baik saja.

Mungkin semenjak saat ini, makan bersama Kana akan menjadi salah satu hal yang ia nantikan kedepannya.
Apapun makanannya akan tetap terasa spesial.

"Bro, emang lu beneran tetanggan ya sama Kana?"

Dafa menyenggol lengan Izal saat ia melontarkan pertanyaan seperti itu dengan cuma-cuma.
Parahnya kosakata yang Izal gunakan sangatlah santai, terlewat santai malah.

Semua orang tahu, Izal terkenal dengan sifatnya yang begitu lempeng. Tapi tidak dengan Bara juga, kan?!

Pakai embel-embel Bro segala lagi.

Bara berdeham, menetralkan sisa pedas yang berada di tenggorokannya sebelum menjawab.

"Bukan tetangga juga, sih. Rumah kita emang satu daerah. Gue pernah kerja di rumahnya Kana waktu dia baru pindah."

Kana menolehkan kepalanya kepada Bara. Ia tidak terlihat terganggu sama sekali menyampaikan fakta itu.
Kana membuang nafasnya lega, memang seharusnya tak ada yang harus dipermalukan dari status sosialnya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang